ANTIKLIMAKS PERTEMUAN WTO DI ARGENTINA
Oleh REZA ZAKI (Desember 2017)
Pada tanggal 10-13 Desember 2017 dilaksanakan Konferensi Tingkat Menteri (KTM) XI World Trade Organization (WTO) di Buenos Aires, Argentina yang dihadiri oleh kurang lebih 4.000 peserta yang terdiri dari delegasi WTO, observer WTO, pengusaha, media, hingga NGO. Pertemuan ini membawa serangkaian isu-isu baru disamping isu-isu terdahulu salah satunya adalah isu public stockholding (ketahanan pangan).
Di KTM XI WTO kali ini ada yang berbeda. Pertemuan di Argentina ini tidak lepas dari sebuah rekomendasi besar empat tahun silam di Bali, Indonesia saat menjadi tuan rumah KTM IX. Saat itu Direktur Jenderal WTO yang baru saja terpilih yakni Roberto Azevedo dari Brazil duduk bersama dengan Chairman Gita Wirjawan yang pada saat itu menduduki posisi Menteri Perdagangan RI.
Pada KTM IX, WTO berhasil melahirkan keputusan besar pada isu public stockholding yang disebut sebagai Bali Package. Rekomendasi yang dikeluarkan adalah interim solution (solusi sementara) mengenai domestic support (subsidi domestik) untuk pertanian di Negara-negara anggota WTO. Solusi sementara itu mengatur tentang diperbolehkannya Negara anggota WTO khususnya Negara berkembang untuk bisa memberikan subsidi domestik pertanian mereka di atas de minimis 10 persen. Aturan ini disebut sebagai peace clause dimana tidak ada satu pun Negara anggota WTO yang bisa menggugat ke badan penyelesaian sengketa jika ada Negara anggota WTO yang memberikan subsidi domestik pertanian di atas 10 persen. Pada pertemuan di Bali saat itu juga merekomendasikan agar permanent solution (solusi permanen) dapat dicapai empat tahun kemudian yakni pada KTM XI yang jatuh di tahun ini.
Isu Ketahanan Pangan WTO dan Indonesia
Salah satu wujud dari dukungan WTO terhadap negara-negara berkembang ialah dengan mengakomodir persetujuan/perjanjian pada bidang pertanian yang bertujuan untuk melakukan reformasi kebijakan perdagangan di bidang pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi tersebut berisi komitmen-komitmen spesifik untuk mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor, dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin GATT yang kuat dan efektif. Persetujuan/perjanjian tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan berbeda (special & differential treatment) bagi negara-negara berkembang, termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk pertanian bagi negara-negara tersebut.
Di dalam Article 6, 7, 8, 9, 10, dan 12 Agreement on Agriculture (AoA) mengatur mengenai ketentuan subsidi domestik dan subsidi ekspor. Bahkan WTO mengatur secara tegas antisipasi penyalahgunaan bantuan pangan internasional dari Food Agriculture Organization (FAO) untuk kepentingan subsidi domestik maupun ekspor suatu negara yang menerima bantuan tersebut.
Sejauh ini pemerintah sangat sulit mengalokasikan subsidi pertanian untuk memperkokoh ketahanan dan keamanan pangan. Bulog tidak melakukan operasi pasar secara berarti untuk membantu petani ketika panen dengan harga di atas harga pasar dan menjualnya kepada konsumen dengan harga terjangkau. Bulog pun tidak memperoleh subsidi dari APBN untuk melakukan operasi pasar. APBN hanya mengalokasikan subsidi pangan, pupuk, dan benih yang nilainya dalam lima tahun terakhir sekitar Rp 30 triliun setahun, jauh lebih rendah ketimbang subsidi energi. Dalam Global Food Security Index 2012 yang diterbitkan Economist Intelligence Unit, Indonesia hanya menduduki urutan ke-64 dengan nilai 46,8 dari nilai tertinggi 100. Sebagai perbandingan, Malaysia di urutan ke-33, China ke-38, Thailand ke-45, Vietnam ke-55, dan Filipina ke-63 (Faisal Basri, 2013).
Usulan public stockholding disampaikan oleh kelompok G-33 pada bulan November 2012 dan dibahas dalam pertemuan pada bulan Januari dan Februari. Ini adalah bagian dari kelompok perlakuan khusus bagi negara berkembang untuk mendukung petani yang miskin. Indonesia adalah koordinator G-33. Kelompok ini memandang amandemen Perjanjian Pertanian untuk melonggarkan disiplin pada dukungan domestik, terutama pada dukungan harga terkait dengan public stockholding dan bantuan pangan, dalam rangka meningkatkan ketahanan pangan dan mendukung petani miskin
Keberatan utama negara berkembang umumnya dan Kelompok G-33 khususnya adalah subsidi yang diberikan saat ini harus diperhitungkan berdasarkan harga rata-rata tahun 1986-¬1988 (Putaran Uruguay) yang tak memperhitungkan kenaikan biaya transportasi, biaya produksi, inflasi, dan lainnya. Sebagai perbandingan, harga beras rata-rata dunia selama 1986-1988 adalah Rp390/kg, dan saat ini berada di kisaran Rp6.700-an/kg.
Bila pemerintah saat ini membeli dari petani dengan harga Rp 6.500, maka berdasarkan Perjanjian Pertanian yang ada, subsidi harga yang diberikan pemerintah mencapai Rp 6.110. Dengan perhitungan ini, ditambah subsidi untuk pupuk dan lainnya, Indonesia mencatatkan pemberian domestic support sebesar 8,3% pada 2009 dan 7,9% pada 2012, tidak jauh dari threshold 10% sesuai perjanjian, hal ini tentu sangat tidak realistis.
Lemahnya Diplomasi Indonesia
Kegagalan disepakatinya permanent solution (solusi permanen) pada isu public stockholding di KTM XI WTO diakibatkan oleh lemahnya Indonesia sebagai Koordinator G-33 untuk melakukan negosiasi dan diplomasi dengan 46 Negara berkembang serta Negara maju agar dapat membahas lebih serius proposal G-33 mengenai isu public stockholding.
Kegagalan ini sebenarnya mengulang kegagalan dari pertemuan KTM X WTO di Nairobi pada tahun 2015. Posisi Menteri Perdagangan RI Thomas Lembong dan Enggartiasto Lukita sama-sama gagal dalam memainkan aspirasi Negara berkembang yang bergantung pada sektor pertanian. Posisi Indonesia pada 2 KTM WTO terakhir hanya sekedar menjadi aktor yang abstain pada isu-isu krusial. Padahal, posisi Negara berkembang adalah populasi mayoritas anggota WTO yang saat ini total anggota WTO sudah berjumlah 164 negara anggota per 26 Juli 2016.
Justru isu e-commerce yang akhirnya disepakati pada KTM XI WTO di Argentina menjadi topik yang mampu mengubur dalam-dalam isu public stockholding yang sudah diperjuangkan sekian lama. Raut kekecewaan terpancar pula di delegasi anggota WTO lainnya akibat tidak disepakatinya rekomendasi permanent solution untuk menetapkan batas de minimis domestic support di angka 15 persen. (***)