BAI-HUA QI-FANG
Oleh: SHIDARTA (Desember 2017)
Belum lama ini BINUS University memperoleh peringkat pertama perguruan tinggi swasta di Indonesia berdasarkan pemeringkatan Quacquarelli Symonds (QS). Pemeringkatan ini muncul dalam versi QS Asia 2018. Prestasi ini terbilang luar biasa karena BINUS telah dinilai bersama-sama dengan 400 perguruan tinggi dari 17 negara di Asia. Di antara 400 perguruan tinggi itu hanya terdapat 23 perguruan tinggi, yang berasal dari Indonesia. Contoh berita di atas menarik untuk mengawali diskusi kita tentang pemeringkatan perguruan tinggi yang ramai tersaji akhir-akhir ini.
Pemeringkatan memang selalu menarik perhatian karena menawarkan semacam jalan pintas untuk [konon] menandai kualitas suatu perguruan tinggi. Masyarakat ingin mendapatkan informasi yang cepat tentang kualitas perguruan tinggi dan untuk itu lembaga-lembaga penyedia jasa pemeringkatan, mulai dari yang berskala lokal, nasional, regional, sampai internasional, tambah rajin pula merilis hasil pemeringkatan mereka, tentu lengkap dengan nomor urut dan skor. Di sisi lain, perguruan tinggi yang masuk di dalam daftar itu lalu mengangkatnya sebagai bagian dari strategi marketing.
Agar tidak disalahpahami, tentu tidak ada yang salah dengan kehadiran peringkat-peringkat perguruan tinggi, kendati tidak semua lembaga pemeringkat memiliki reputasi yang sama bagusnya. Salah satu contoh pemeringkatan yang bergengsi, dan kerap dijadikan acuan adalah Times Higher Education World University Rankings. Untuk seri tahun 2018, ada lima kelompok indikator yang dinilai dengan ketat, yakni: (1) teaching (the learning environment); (2) research (volume, income and reputation); (3) citations (research influence); (4) international outlook (staff, students and research); dan (5) industry income (knowledge transfer). Menarik di sini, bahwa pada indikator pertama disebutkan tentang suasana belajar-mengajar, yang mengambil jatah 30% dari keseluruhan penilaian. Ternyata aspek yang dinilai dari indikator pertama ini berkaitan dengan: (a) reputation survey: 15%, (b) staff-to-student ratio: 4.5%, (c) doctorate-to-bachelor’s ratio: 2.25%, (d) doctorates-awarded- to-academic-staff ratio: 6%, dan (e) institutional income: 2.25%. Sebagaimana layaknya survei, penelitian ini tidak menggunakan metode kualitatif. Oleh sebab itu, pemeringkatan seperti ini luput memotret suasana keseharian belajar-mengajar di perguruan-perguruan tinggi tersebut, seperti misalnya apakah dosen-dosen benar-benar telah menerapkan cara belajar-mengajar yang mencerahkan para mahasiswanya.
Saya ingat, hampir sepuluh tahun lalu saya pernah menulis cerita yang sama tentang lembaga pemeringkatan ini. Saya ingin berbagi kembali cerita tersebut dalam tulisan kali ini. Cerita diawali dari pertemuan saya dengan seorang guru besar dari India di sebuah konferensi internasional. Guru besar ini bercerita dengan bangga tentang demokrasi di negaranya (catatan: India selalu mendeklarasikan diri sebagai negara demokrasi kedua terbesar di dunia). Menurutnya, kehidupan demokrasi di negaranya membuat kampus-kampus di India berkembang menjadi sangat independen. ”Kalau Anda datang ke India, mungkin Anda tidak akan menjumpai gedung-gedung universitas kami yang luks. Tapi, cobalah Anda masuk ke ruang-ruang kuliah kami dan dengarkan betapa hidup suasana di dalamnya,” demikian ia berucap dengan nada sedikit sok pamer. Teman dari India ini mungkin benar. Terbukti, ia dan banyak peserta dari anak benua tersebut termasuk kategori peserta yang paling aktif bertanya atau berkomentar selama konferensi. Namun, benarkah ada korelasi yang signifikan antara keunggulan akademis sebuah perguruan tinggi dengan suasana kampus (baca: ruang-ruang kuliah) yang dinamis dalam tradisi demokrasi?
Saya ingin mengontraskannya dengan hasil pemeringkatan yang kita jadikan topik tulisan ini. Ada suatu fenomena menarik dari daftar perguruan tinggi yang dinobatkan sebagai perguruan-perguruan terbaik di kawasan Asia tahun 2018 menurut Times Higher Education. Perguruan tinggi Asia yang disebut-sebut 100 terbaik dunia, adalah National University of Singapore (urutan 22), Peking University (27), Tsinghua University (30), University of Hongkong (40), Hongkong University of Science and Technology (44), University of Tokyo (46), Nanyang Technology University of Singapore (52), Chinese University of Hongkong (58), Kyoto University dan Seoul University (sama-sama di urutan 74), dan Korea Advanced Institute of Science and Technology (95). Jadi, di luar empat negara ini (Singapura, Tiongkok, Jepang, dan Korea Selatan), tidak ada negara Asia lain yang masuk dalam kategori 100 perguruan tinggi terbaik dunia. Lalu, India bagaimana? Tidak juga masuk.
Uniknya, justru Tiongkok menempati posisi negara Asia terbanyak menyumbangkan universitas di daftar tersebut (catatan: Hongkong ikut dimasukkan dalam wilayah Tiongkok). Sementara itu, separuh dari daftar diborong oleh perguruan tinggi dari Eropa Barat dan Amerika Serikat. Munculnya universitas-universitas Tiongkok dalam daftar tersebut, menarik untuk dicermati. Jika dulu di negara kita (1978-1983), pada era Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (dulu disebut Menteri P&K) Daoed Joesoef pernah mengenal adanya konsep normalisasi kehidupan kampus dan badan koordinasi kemahasiswaan (NKK/BKK), maka kurang lebih kejadian serupa (bahkan dengan indoktrinasi sangat sadis) berlaku di Tiongkok pada tahun 1950-an. Skala keruntuhan dunia pendidikan di Tiongkok bahkan jauh lebih mengerikan lagi akibat berlangsungnya Revolusi Kebudayaan.
Demokrasi menurut standar Barat atau bahkan India, sepertinya masih ”jauh panggang dari api” untuk kondisi Negeri Tirai Bambu ini. Hal seperti ini bukan tidak disadari oleh para pemimpin Tiongkok. Berbagai eksperimen tentang demokrasi ala Tiongkok pernah dijalankan, termasuk kebijakan yang melibatkan dunia kampus. Sebagai contoh, pada musim semi tahun 1956, Pemimpin Besar Mao pernah menyerukan satu slogan yang disebut ”bai-hua qi-fang” kepada para intelektual Tiongkok. Slogan ini secara sederhana berarti, ”biarkan seratus bunga bermekaran”. Latar belakang slogan ini konon berangkat dari keprihatinan Mao melihat penduduk di Tiongkok yang tatkala itu sudah mencapai 600 juta jiwa dengan tingkat pendidikan dan kesejahteraan yang sangat rendah. Mayoritas penduduknya mengalami buta aksara. Slogan ”biarkan seratus bunga bermekaran” diajukan sebagai upaya membangkitkan rakyat Tiongkok dari keterpurukan dengan cara menemukan kreasi-kreasi baru. Setahun setelah slogan ini diluncurkan, Ketua Mao bahkan menganjurkan agar rakyat bebas mengritik pejabat pemerintah. ”Katakan apa yang ingin engkau katakan!” ajak Mao. Ajakan ini disambut luas. Beramai-ramai kaum intelektual yang masih tersisa saat itu mengajukan kritik habis-habisan kepada pemerintah. Mereka sekaligus ingin membuktikan bahwa demokrasi dalam komunisme bukanlah hal yang mustahil, bukan ibarat senyawa minyak dengan air.
Namun, rupanya Mao tidak benar-benar tulus dengan ajakannya. Para intelektual Tiongkok banyak yang terjebak ke dalam strategi kotor ini. Slogan dan ajakan Mao hanya sekadar perangkap untuk mengetahui siapa-siapa saja yang tunduk patuh di bawah bendera ideologinya, dan siapa-siapa yang berani mengusik keyakinannya. Barisan para pengritik yang sebagian besar beritikad baik ingin mengubah keadaan di negeri itu ujung-ujungnya justru dikecam sebagai ”orang-orang kanan” yang berarti harus dihabisi. Menurut catatan, ada lebih dari setengah juta kaum intelektual Tiongkok pada saat itu dihukum dengan cara dikirim ke kamp-kamp kerja paksa.
Kampanye ”seratus bunga bermekaran” berujung kepada semangat anti-kritik. Kampus-kampus segera saja menjadi bungkam seribu-basa. Bahkan, saat Mao menyuarakan konsep utopisnya berupa ”lompatan besar ke depan” pada awal tahun 1958, tidak ada satupun orang yang berani mengoreksinya. Hutan-hutan dibabat menjadi ladang pertanian kolektif, baja-baja kualitas rendahan diproduksi secara besar-besaran, dan semua itu dilakukan tanpa perhitungan matang, kecuali sekadar ingin menjilat dan menyenangkan hati Mao. Kampus-kampus berdiam diri dan kehilangan rohnya sebagai “centers of excellence”. Kesalahan ini harus dibayar mahal oleh rakyat Tiongkok, sehingga pada awal tahun 1960-an, Tiongkok dilanda kelaparan hebat.
Kehancuran pendidikan di Tiongkok makin menjadi-jadi setelah Mao menggagas Revolusi Kebudayaan pada tahun 1965. Satu tahun kemudian, para loyalis Mao yang disebut ”Pengawal Merah Mao” mengambil alih sekolah-sekolah. Para guru dihina dan dianiaya di depan umum. Dalam sebuah rapat raksasa di Tiananmen, Lin Biao, seorang tokoh politbiro yang tampil mewakili Mao, bahkan memerintahkan para peserta didik untuk beramai-ramai meninggalkan sekolah. Buku-buku dan benda-benda seni tradisional dibakar dalam jumlah besar. Perhatian terhadap pendidikan menjadi demikian merosot, sekalipun sistem sekolah dan universitas secara formal masih dipertahankan. Demikian bobrok sistem pendidikan di Tiongkok, sehingga mungkin belum pernah ada kejadian serupa di negeri manapun di dunia, bahwa seluruh mahasiswanya pada akhir tahun 1968 dinyatakan lulus secara massal tanpa perlu ujian. Sebagai ganjaran atas kelulusan tersebut, para mahasiswanya dikirim ramai-ramai ke desa-desa. Bukan untuk kuliah kerja nyata (KKN), melainkan untuk menjalani kerja paksa.
Cerita kelam di atas praktis baru terjadi sekitar 40 tahun lalu. Dan, sangat mengejutkan tatkala kita menemukan ada sedemikian banyak universitas negeri panda itu yang sekarang masuk dalam daftar perguruan tinggi terbaik dunia. Lalu, masihkah relevan pernyataan rekan dari India sebagaimana saya kutip pada awal tulisan ini? Boleh jadi, masih jika saja indikator pemeringkatan diubah atau ditambah. Soalnya, sekitar sepuluh tahun lalu, Times Higher Education masih mencatat ada dua perguruan tinggi dari India yang bisa masuk di dalam daftar (dan sekarang menghilang), yakni Indian Institute of Technology Bombay (Mumbai) dan Indian Institute of Technology Delhi.
Jadi, tesis pada awal tulisan ini bahwa variabel demokrasi berpengaruh pada tradisi pembelajaran yang baik, dan tradisi pembelajaran yang baik mendorong kelahiran perguruan tinggi yang baik, sekilas sepertinya tidak cukup relevan. Penekanan pada suasana kampus terkait interaksi pembelajaran di ruang-ruang kelas, tidak dipakai sebagai acuan penilaian. Indikator kepuasan mahasiswa atau lulusan, mungkin sedikit menjurus ke arah variabel dimaksud, tetapi tetap saja tidak cukup spesifik untuk mengukur kadar demokrasi dalam proses pembelajaran. Patut dicatat, bahwa apabila konteks Tiongkok ingin diangkat sebagai contoh eksepsional, maka peringkat Times Higher Education di atas justru banyak disumbangkan oleh institusi pendidikan tinggi di Hongkong, wilayah yang mewarisi tradisi belajar ala Inggris dan tidak terkena dampak Revolusi Kebudayaan Mao.
Saya tetap meyakini, bahwa tolok ukur kebanggaan mahasiswa dan alumni terhadap almamater mereka, selayaknya berawal dari apa yang mereka alami di ruang-ruang kuliah. Sebab, sering yang terjadi sebaliknya. Mahasiswa atau lulusan sebuah perguruan tinggi tetap merasa bangga setinggi langit terhadap almamaternya, sekalipun yang berkembang di sana, misalnya, bukanlah suasana pembelajaran, melainkan sekadar pengajaran (atau bahkan ”penghajaran” sebagaimana terungkap dari tradisi kekerasan para senior terhadap yunior mereka di beberapa perguruan tinggi di Indonesia).
Suasana pembelajaran yang demokratis (saya lebih senang menggantikannya dengan kata ”dinamis”), menurut hemat saya, memang merupakan faktor kunci dalam penciptaan atmosfer akademik di perguruan tinggi. Kampus yang baik adalah kampus yang dapat menciptakan tradisi belajar yang baik guna menunjang suasana pembelajaran yang dinamis. Inilah sesungguhnya yang dimaksud dengan iklim kampus yang kondusif. Hal ini juga sejalan dengan penegasan Jose Ortega Y Gasset, seorang penulis besar kelahiran Spanyol, yang menyebutkan tiga fungsi pembelajaran di universitas, yaitu sebagai: (1) the transmission of culture, (2) the teaching of the learned professions, dan (3) scientific research and the training of new scientists.
Iklim kampus yang kondusif tidak selalu terkait dengan kemewahan fasilitas fisik pendukung yang terlihat secara kasat-mata. Banyak perguruan tinggi terbaik di dunia yang tidak memiliki lahan parkir kendaraan roda empat seluas kampus-kampus di Indonesia, tetapi jangan ditanya tentang komitmen mereka, misalnya, pada pengembangan perpustakaan dan pemanfaatan teknologi informasi.
Pada zaman sekarang mungkin kita tidak lagi dapat bermimpi akan adanya suasana pembelajaran gaya Athena sebagaimana muncul dalam lukisan karya Raphael (lukisan ini menggambarkan tokoh-tokoh zaman antik seperti Plato dan Aristoteles tengah berdialog dengan para intelektual di pinggiran jalan Athena). Mahasiswa era sekarang boleh jadi lebih senang berdialog melalui dunia maya, menjangkau rekan diskusi dari berbagai belahan dunia. Jadi, jika kita berbicara tentang suasana kampus yang kondusif dewasa ini, maka kampus yang baik itu harus mampu memfasilitasi tuntutan seperti di atas. Alhasil, tolok ukur untuk menilai suasana pembelajaran tidak cukup sekadar berupa produk akhir yang dihasilkan, seperti berapa besar IPK di atas 3.00 atau berapa banyak karya ilmiah mahasiswa yang memenangkan lomba tertentu. Tolok ukur penilaian harus juga melingkupi proses saat pembelajaran berlangsung. Dalam era teknologi informasi saat ini, proses pembelajaran tidak lagi harus terkukung di dalam sekat ruang-ruang kelas.
Intinya, konsep paling mendasar tentang kampus yang kondusif sebagai tempat pembelajaran adalah kampus yang memberi akses yang seluas-luasnya bagi tumbuh kembangnya gagasan-gagasan baru dalam kehidupan akademik para mahasiswanya. Jika meminjam terminologi Mao, kampus ideal masa kini dan masa depan adalah kampus yang menjadi tempat persemaian ”seratus bunga bermekaran”. Kampus demikian merupakan wadah bagi lahirnya generasi yang siap menerima perubahan yang serba-cepat dewasa ini. Generasi tersebut adalah generasi yang mampu menjadi future investigators sebagaimana dikehendaki oleh Jose Ortega Y Gasset. Singkat kata, universitas pada abad ke-21 tidak layak lagi menjadi pabrik yang hanya menawarkan lulusannya satu gaya berpikir (school of thought) yang seragam.
Harus diakui, suasana kampus dengan tradisi pembelajaran seperti di atas masih perlu diperjuangkan di Indonesia. Embrio tradisi tersebut barangkali masih bisa dijumpai pada pembelajaran tingkat taman kanak-kanak, tatkala anak-anak yang masih polos tersebut berani secara bebas bertanya dan menjawab. Namun, keberanian ini mulai menyurut pada pembelajaran di tingkat sekolah dasar dan menengah. Alih-alih untuk diajarkan lebih berani berpendapat, mereka justru merasa lebih aman jika mengamini semua pandangan para guru.
Tradisi belajar monoton ini pada umumnya terbawa sampai ke bangku kuliah, yang pada gilirannya membuat banyak dosen ikut pula terbawa arus. Konsep sistem kredit semester akhirnya hanya dijalankan dengan bertumpu pada komponen acara tatap muka, sementara komponen kegiatan akademik terstruktur dan kegiatan akademik mandiri, tidak pernah dialokasikan secara proporsional. Acara tatap muka juga terpaksa dilangsungkan dengan metode pembelajaran sekenanya, mengingat beban mengajar yang dipikul dosen tersebut untuk satu semester itu saja sudah di atas 12 sks.
Saya kembali teringat kepada pernyataan rekan dosen dari India tadi. Dalam skala makro, klaim bahwa ada korelasi positif antara demokrasi dan tradisi pembelajaran, mungkin tetap ada kadar kebenarannya. Kendati ada benarnya, kita pun tidak berarti harus menunggu sampai Indonesia benar-benar menjadi negara demokrasi, mengingat hakikat demokrasi itu sendiri bukan hal sederhana untuk didefinisikan. Perubahan ke arah suasana pembelajaran yang lebih dinamis itu dapat berawal dari domain yang kecil, yakni dari diri masing-masing pengelola institusi dan pengampu mata kuliah. Modal utama dari setiap transmission of culture adalah keberanian bersikap dan berjiwa besar. Berani untuk mengkondisikan ”seratus bunga bermekaran” dalam ruang-ruang kelas kita. Berjiwa besar untuk menerima kemungkinan mahasiswa kita ternyata tahu lebih dulu atau lebih banyak daripada sang dosen. Dosen tidak dapat meminta para mahasiswanya berpikir kritis, misalnya, sementara dirinya sendiri tidak siap untuk dikritik. Jika dosen belum siap benar dengan itu semua, kasihan para mahasiswanya. Sebab, slogan ”bai-hua qi-fang” benar-benar hanya jebakan bagi mereka. (***)
Catatan: Sekelumit gagasan dalam tulisan ini pernah penulis angkat sebelumnya melalui artikel kecil di majalah internal sebuah PTS di Jakarta, sepuluh tahun lalu.