BINUS IKUT MENCERMATI KINERJA TAHUNAN KOMISI YUDISIAL 2017
Pada tanggal 20 Desember 2017, Komisi Yudisial Republik Indonesia mengadakan jumpa pers bertajuk Refleksi Akhir Tahun 2017. Jumpa pers ini menghadirkan wakil-wakil dari media cetak dan online, lembaga swadaya masyarakat, asosiasi profesi hukum, dan perguruan tinggi. BINUS adalah wakil dari perguruan tinggi yang sengaja diundang untuk hadir dalam acara ini, dan untuk itu Ketua Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS menyempatkan diri untuk memenuhi undangan ini.
Ketua Komisi Yudisial Prof. Dr. Aidul Fitriciada Azhari, S.H., M.Hum pada kesempatan itu menyampaikan program-program kerja yang sudah dijalankan oleh Komisi Yudisial. Ia mencatat ada sejumlah kemajuan, namun juga masih ada berbagai kendala, baik terkait dengan keterbatasan kewenangan Komisi Yudisial maupun berkenaan dengan hal-hal teknis dan operasional di lapangan. Tahun 2017 disadari oleh Komisi Yudisial sebagai tahun yang penuh gejolak di dunia peradilan kita, yakni munculnya kasus-kasus yang menarik perhatian publik, seperti kasus Jessica Kumala Wongso, Basuki Tjahaja Purnama, Buni Yani, dan Setya Novanto.
Ketua Jurusan Hukum Bisnis BINUS, Shidarta, yang diminta mengomentari laporan tersebut, secara khusus mencermati terlalu sedikitnya respons Komisi Yudisial jika dibandingkan dengan banyaknya laporan yang masuk. Selama satu tahun terakhir (Januari-November 2017) tercatat ada 1.375 laporan masyarakat yang masuk ke Komisi Yudisial. Laporan itu ternyata banyak yang tidak memenuhi kriteria, karena hanya 368 laporan saja yang akhirnya bisa diregistrasi. Ini berarti hanya 26,7%. Menurut Shidarta, hal ini bisa terjadi karena masyarakat yang menyampaikan laporan tidak cukup mengenal Komisi Yudisial dengan batas-batas kewenangannya. Untuk itu, seberapa sosialisasi dan edukasi publik sudah dilakukan terkait kewenangan Komisi Yudisial dan tata cara penyampaian permohonan, patut untuk dievaluasi lagi. Bahkan setelah diregistrasi, hanya 249 berkas yang bisa dilakukan analisis untuk memperoleh bukti-bukti yang menguatakan laporan tersebut. Dari 249 berkas itu kemudian diseleksi lagi, dan hanya 210 yang dibawa ke sidang panel, dengan keputusan sebanyak 70 laporan dinyatakan dapat ditindaklanjuti, dan sisanya 140 laporan tidak dapat ditindaklanjuti. Jika dinyatakan laporan dapat ditindaklanjuti, maka dilakukan pemeriksaan atau permintaan klarifikasi terhadap hakim terlapor. Pada tahun 2017 ini KY mengusulkan 58 orang untuk dijatuhkan sanksi, dan kemudian Mahkamah Agung merespons dengan menindaklanjuti sebanyak tujuh orang saja. Ada tiga hakim yang diberi teguran tertulis, dua hakim diberi pernyataan tidak puas secara tertulis, satu orang ditunda kenaikan pangkatnya selama setahun, dan satu orang ditindaklanjuti dengan menunggu putusan perkara pidananya.
Menurut Shidarta, ada statistik yang sangat menarik perhatian, yaitu jumlah 1.375 laporan yang diterima di hulu berbanding tujuh orang hakim yang akhirnya dijatuhi sanksi oleh Mahkamah Agung di hilir. Bagi mereka yang berkecimpung di lingkungan internal Komisi Yudisial, tentu sangat paham akan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh lembaga negara ini. Mereka juga mafhum bahwa luaran dari kinerja Komisi Yudisial tidak selalu berkaitan dengan penindakan, melainkan juga pemantauan, advokasi, pelatihan, publikasi, dan sebagainya. Namun, disparitas yang terlalu lebar itu mengilustrasikan jarak antara ekspektasi masyarakat yang mengajukan pelaporan di satu sisi dengan respons yang terlalu “minimalis” di sisi lain. Hal ini merupakan “pekerjaan rumah” yang perlu dicarikan jalan keluarnya karena pada gilirannya bakal mempengaruhi tingkat kredibilitas Komisi Yudisial di mata publik. Komisi Yudisial harus juga mencari program-program inovatif lain di masa depan, yang dapat menunjukkan kiprah konkret lembaga ini sesuai tugas pokok dan fungsi yang diembannya. (***)