MEMBEDAKAN DAN MEMPERJELAS MERGER & AKUISISI (M&A)
Oleh AGUS RIYANTO (Nopember 2017)
Salah satu strategi korporasi yang menjadi pilihan pelaku usaha adalah melakukan Merger & Akuisisi (M&A). Secara terminologi M&A seolah-olah tampak sama, tetapi sesungguhnya M&A memiliki arti yang memang berbeda. Kesalahpahaman menterjemahkan M&A disebabkan karena tumpang tindih dalam penggunannya, sehingga terjadi salah pengertian. Untuk itu, kejelasan tentang kedua terminologi tersebut menjadi penting untuk dijelaskan lebih dalam agar dapat membedakan dan memperjelas arti sesungguhnya. Selain itu, agar pemahamanan substansi M&A bisa lebih dipahami lebih baik agar tidak disalahartikan.
Merger (merger) berarti penggabungan, sementara akuisisi (acquisition) berarti pengambilalihan. Secara normatif penjelasan M&A diatur dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU-PT). Pasal 1 ayat (9) mengatur bahwa penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perseroan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perseroan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perseroan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perseroan yang menerima penggabungannya dan selanjutnya status badan hukum Perseroan yang akan menggabungkan diri berakhir karena hukum. Sementara, Pasal 1 ayat (11) mengatur pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk dapat mengambil alih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perseroan tersebut.
Dengan berpegang kepada ketentuan UU-PT di atas dapat ditarik beberapa penjelasan tentang M&A. Merger pada dasarnya adalah bergabung dan bersatu dua entitas perusahaan yang semula dua menjadi satu. Misalnya, Perusahaan A bergabung dengan Perusahaan B, maka status dari Perusahaan A yang menggabungkan diri menjadi bubar, sedangkan Perusahaan B yang telah menerima penggabungan tetap jalan terus (tetap ada). Masalah nama dapat memilih antara nama baru atau tetap menggunakan nama perusahaan A.
Salah satu contoh merger adalah bergabungnya Lippo Bank dan CIMB Niaga pada tahun 2008, dimana setelah dilakukannya proses penggabungan, Lippo Bank tidak melakukan operasi atau berhenti beroperasi sebagai entitas tersendiri dan menyatukan perusahaannya menjadi satu kesatuan dengan Bank CIMB Niaga. Dalam hal nama, penggunaan nama yang dipilih adalah nama Bank CIMB Niaga sebagai entitas bank yang baru. Sebagai konsekuensinya merger menjadi Bank CIMB Niaga, maka aktiva dan pasiva dari Lippo Bank yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Bank CIMB Niaga yang menerima penggabungan. Konsekwensi lainnya adalah status dari badan hukum Lippo Bank yang akan menggabungkan diri berakhir dengan sendirinya karena hukum dari penggabungan tersebut. Dengan demikian kepemilikan mayoritas saham di Lipo Bank melebur menjadi kepemilikannya Bank CIMB Niaga sebagai pemegang saham mayoritas yang baru di PT. Bank CIMB Niaga.
Berbeda halnya dengan penggabungan, dalam hal terjadi penggambilalihan, status badan hukum yang akan diambil alih (target) dan yang akan mengambil alih (Offeror) adalah tetap ada. Artinya, kedua perusahaan tersebut tidak mengalami seperti merger berupa tidak ada salah satunya, tetapi yang terjadi adalah berupa perbuatan hukum mengambil alih (take over) saham dari milik perusahaan yang diambil alih dan berakibat terjadinya perubahan dan beralihnya pengendalian (change of control) dari perusahaan yang diambil alih kepada pihak yang mengambil alih. Dengan demikian, maka akuisisi titik tekannya adalah kepada sahamnya saja yang diambil alih dan bukanlah badan hukumnya dengan membawa konsekuensi bahwa kontrol perusahaan yang diambilalih berpindah kepada perusahaan yang mengambil alih atau mengakuisisi.
Sebagai ilustrasi, perusahaan A salah satu pemegang sahamnya dimiliki Johan sebanyak 60 % dan sebanyak 40 % dimiliki oleh Budi. Dalam perjalannya, sahamnya Johan diambil alih (dijual) oleh atau kepada perusahaan B, maka yang terjadi sesungguhnya adalah akuisisi dengan konsekwensi pengendali baru dalam perusahaan A telah beralih dan berganti kepada perusahaan B sebagai pemegang saham barunya. Hal ini terjadi dengan kepemilikan saham mayoritas Aqua dikuasai oleh Tirto Utomo telah diambil oleh perusahaan Perancis Danone, maka semenjak itu pengendalian berubah kepada Danone sebagai pemilik mayoritas dalam PT. Aqua Golden Mississippi dengan pengambilalihan saham yang terjadi.
Dengan penjelasan di atas, terlihat secara jelas bahwa penggabungan (merger) dan pengambilalihan (akuisisi) memang tidak sama. Hal ini karena secara entitas aksi korporasi di antara keduanya tidak sama, namun demikian antara penggabungan dan pengambilalihan memiliki kemiripan yang terletak kepada berubahnya pengendalian dari yang satu (sebagai perusahaan menerima penggabungan atau diambil alih) kepada yang lainnya (sebagai perusahaan yang melakukan penggabungan atau yang akan mengambil alih). (***)