RANCANGAN KUHP DAN PERMASALAHANNYA
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (November 2017)
Pembahasan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) di Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah memasuki tahap akhir. Pembahasan saat ini telah mencapai 70%, bahkan Buku I RKUHP sudah diketok palu. Memang pembahasan masih menyisakan beberapa catatan yang akan dibahas ulang lagi karena belum mencapai sepakat, DPR rencananya akan mengesahkan RKUHP ini pada awal tahun 2018.
Memang keinginan untuk mengganti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan peninggalan Perintah Hindia Belanda dengan RKUHP yang merupakan produk hukum Bangsa Indonesia yang mengadung nilai-nilai Indonesia. Dimulai ketika tahun 1964 ketika draft awal RKUHP selesai dibuat oleh pemerintah, kemudian muncul draft-draft berikutnya yang telah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan telah dibahas dalam pembahasan antara Pemerintah dengan DPR. Baru pada DPR priode tahun 2014-2019 ini yang memiliki keinginan untuk menyelesaikan pembahasan RKUHP ini. Tentu kita bisa bernafas lega karena RKUHP yang selama puluhan tahun hanya sebatas draft kini akan direalisasikan. Akan tetapi nafas lega tersebut tidak benar-benar lega karena banyak pasal-pasal dalam RKUHP yang meninggalkan permasalahan.
Banyak permasalahan dalam RKUHP yang harus menjadi perhatian. Pada Buku I RKUHP terdapat beberapa permasalahan antara lain: 1. Apakah RKUHP akan menjadi rekodifikasi terbuka atau unifikasi hukum pidana; 2. Penerapan asas legalitas yang akan terjadi pertentangan dengan hukum yang hidup dalam masyarakat; 3. Bentuk pertanggungjawaban pidana korporasi; 4. Sistem pemidanaan yang dipergunakan; dan 5. Masih dipertahankannya pidana mati. Demikian Buku II RKUHP yang meninggalkan beberapa permasalahan, antara lain menyangkut: 1. Delik-delik kesusilaan; 2. Delik penyebaran komunisme, marxisme dan leninisme; dan 3. Delik penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden.
Apabila permasalahan tersebut tidak diatasi dalam masa sisa pembahasan, maka ketika RKUHP tersebut disahkan akan segera diajukan uji materi ke Mahakamah Konstitsui. Misalnya pada delik penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden, merupakan perumusan ulang hal yang telah diatur dalam KUHP dimana Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 013-022/PUU-IV/2006 telah menyatakan pasal-pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi dan tidak memiliki kekuatan mengikat. Dimasukannya pasal tersebut merupakan pelanggaran atas hak konstitusi warga negara.
Kemudian dalam delik-delik kesusilaan akan bertentangan dengan keadaan kehidupan di masyarakat yang berpotensi menyebabkan over criminalization. Misalnya kata-kata “pernikahan yang sah” dalam rumusan delik kesusilaan pada pasal 484, 488 RKUHP akan menimbulkan permasalahan. Pertama, dalam RKUHP tidak dijelaskan definisi ini maka Undang-Undang No. 1 Tahun 1971 tentang Perkawinan (UU Perkawinan). Memang dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, perkawinan yang sah apabila dilakukan berdasarkan masing-masing agama dan kepercayaan itu, akan tetapi faktanya banyak perkawinan yang dianggap tidak sah oleh negara dan tidak bisa dicatatkan karena agama leluhur atau kepercayaan atau keyakinan yang dianutnya tersebut tidak diakui oleh negara. Memang Mahkamah Konstitusi melalui putusannya No. 97/PUU-XIV/2016 telah menyatakan bahwa kata “agama” dalam Pasal 61 Ayat (1) dan Pasal 64 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan), bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak termasuk penganut aliran kepercayaan. Hal ini merupakan pengakuan atas aliran kepercayaan akan tetapi sampai saat ini belum ada peraturan pelaksaanan atas adanya putusan Mahkamah Konstitusi ini. Kemudian faktanya bagi masyarakat yang tinggal di luar wilayah perkotaan, pencatatan pernikahan kerap kali tidak dilakukan karena dalam pandangan masyarakat hal ini dipandang menyusahkan (memberatkan).
Memang iktikad baik dari anggota legislatif periode 2014-2019 untuk menyelesaikan pembahasan RKUHP. Dalam dua tahun mendatang merupakan tahun politik di mana anggota DPR akan fokus kepada pemilihan umum dan tidak ada legislasi turunan maksudnya apabila RKUHP tidak selesai dibahas dan disahkan pada periode ini maka harus dilakukan pembahasan ulang dari awal terhadap RKUHP ini oleh anggota DPR periode 2019-2024. Akan tetapi hendaknya pembuatan suatu produk legislasi harus dilakukan bukan atas terburu-buru tetapi juga harus membuat undang-undang yang berkualitas dan dapat diaplikasikan dengan baik, dan bukan menciptakan permasalahan baru. (***)