PROBLEMATIKA PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN OLEH MAHKAMAH AGUNG (MA) PASKA PUTUSAN MK TENTANG PEMERINTAH DAERAH
Oleh ERNA RATNANINGSIH (November 2017)
Otonomi daerah telah menyuburkan lahirnya berbagai kebijakan baru yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah. Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) secara resmi melansir ada sekitar 3.143 peraturan daerah (Perda) dan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) yang dibatalkan. Tujuan pembatalan Perda tersebut adalah untuk memperkuat daya saing bangsa di era kompetisi. Menteri Dalam Negari (Mendagri) Tjahjo Kumolo menyatakan bahwa Perda yang dibatalkan merupakan aturan yang dinilai menghambat pertumbuhan ekonomi daerah dan memperpanjang birokrasi, menghambat investasi dan kemudahan berusaha.[i] Namun, kewenangan Kemendagri melakukan pembatalan perda yang dimiliki Kemendagri telah hilang sejak adanya Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan Putusan MK di atas maka Kementerian dalam negeri tidak lagi memiliki kewenangan untuk menilai dan membatalkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota.
Implikasi dari putusan MK a quo maka mekanisme pembatalan Peraturan Daerah dilaksanakan melalui satu pintu yaitu Mahkamah Agung. Untuk itu, Mahakamah Agung harus mempersiapkan diri menerima lonjakan permohonan Judicial Review Peraturan Daerah serta menyiapkan perangkat yang ada. Berdasarkan permasalahan di atas, tulisan ini akan memaparkan mekanisme permohonan hak uji materil Peraturan Daerah dan mengakaji apakah mekanisme yang saat ini ada telah memadai untuk menguji Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Pusat dan atau peraturan perundang-undangan diatasnya.
Proses dan Tata Cara Pengujian Peraturan Perundang-undangan di MA
Proses dan tata cara pengujian peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung diatur melalui pasal 31A Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang-undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. Ketentuan tersebut di atas kemudian dilengkapi oleh Mahkamah Agung dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil.
Permohonan judicial review di Mahkamah Agung hanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu: (a) perorangan warga negara Indonesia; (b) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau (c) badan hukum publik atau badan hukum privat.[ii]
Permohonan uji materi sekurang-kurangnya harus memuat: (a) nama dan alamat pemohon; (b) uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelas bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan (c) hal-hal yang diminta untuk diputus. [iii] Berdasarkan ketentuan judicial review maka Pemerintah Pusat (Kemendagri) tidak dapat menjadi pemohon Judicial Review di Mahkamah Agung. Mengingat masih banyaknya Peraturan Daerah yang dinilai oleh Kemendagri masih “bermasalah” maka ketentuan hukum acara di MA harus dirubah dengan memperluas subyek hukum pemohon.
Usulan Perbaikan Hukum Acara Pengujian Peraturan Perundang-undangan di MA.
Pasca Putusan MK Nomor 137/PUU-XIII/2015 pengujian terhadap Peraturan Daerah tingkat Kabupaten/Kota hanya bisa diuji melalui pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung, maka Mahkamah Agung perlu segera menindaklanjuti Putusan tersebut dengan melakukan evaluasi menyeluruh terkait hukum acara persidangan, sumber daya manusia dan sarana prasarana penunjang. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung belum sepenuhnya mengadopsi prinsip-prinsip peradilan yang transparan, akuntabel, dan aksesebel. Oleh sebab itu, ada beberapa praktik beracara pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung yang masih membutuhkan perbaikan.
Pengujian oleh MA tidak Melalui Persidangan secara Terbuka
Proses pengujian oleh Mahkamah Agung berbeda dengan praktik pengujian di Mahkamah Konstitusi, ataupun persidangan perkara Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Proses pengujian oleh MA dilaksanakan secara tidak terbuka, sehingga Pemohon tidak mengetahui secara pasti tahapan dan proses pengujian yang sedang dilakukan oleh Mahkamah Agung. Tidak adanya gelar persidangan maka para pihak juga tidak dapat memberikan argumentasi untuk memperkuat permohonan, ataupun membantah permohonan, atau menghadirkan ahli atau saksi untuk diperdengarkan keterangannya. Dengan tidak digelarnya persidangan secara terbuka, maka pemohon tidak dapat memberikan argumentasi secara maksimal dan meyakinkan hakim tentang pentingnya permohonan pengujian tersebut.
Salah satu aspek penting yang harus dipertimbangkan oleh Mahkamah Agung sebagai bagian dari kekuasaan kehakiman adalah prinsip keterbukaan pengadilan (open court principle) sebagai salah satu prinsip utama dalam hukum acara. Menurut Beverly McLachin, ada dua nilai inti dari prinsip keterbukaan pengadilan. Pertama, pengadilan yang terbuka menjamin pemenuhan kebebasan individu dalam hal berpendapat dan untuk mengekpresikan pikiran dan sikapnya. Kedua, keterbukaan mendukung akuntabilitas pengadilan. Adanya jaminan atas hak publik untuk mengakses persidangan dan putusan pengadilan, maka publik dapat mengawasi proses pengambilan putusan sehingga mencegah hakim dari penyalahgunaan wewenang.[iv]
Sebagai wujud akuntabilitas dan penerapan prinsip keterbukaan pengadilan, maka Mahkamah Agung perlu membangun sistem dan mekanisme baru yang memungkinkan diselenggarakannya persidangan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang secara terbuka dan mudah diakses oleh publik.
Tidak ada Batas Waktu Proses Penyelesaian Perkara Pengujian
Mahkamah Agung berkewajiban memproses permohonan pengujian peraturan perundang-undangan paling lama 14 hari kerja sejak permohonan diterima. Akan tetapi hukum acaranya tidak membatasi waktu penyelesaian permohonan sampai dikeluarkannya putusan. Penentuan batas waktu menjadi penting karena putusan pada suatu aturan yang dianggap bertentangan dengan peraturan di atasnya membutuhkan kepastian.
Tidak jelasnya kepastian penyelesaian permohonan pengujian di Mahkamah Agung dapat mempengaruhi tingkat kepercayaan masyarkat kepada lembaga peradilan. Selain perlu membangun dan mengembangkan sistem acara pengujian peraturan perundang-undangan yang terbuka, Mahkamah Agung juga perlu memberikan kepastian waktu penyelesailan permohonan dan disertai dengan informasi dan akses yang mudah terhadap perkembangan proses pengujian.
Putusan MA tidak Bisa Langsung Berlaku
Putusan Mahkamah Agung yang membatalkan suatu ketentuan tidak langsung berlaku sejak putusan itu dibacakan, yang mana tercermin dari ketentuan dalam Perma yang mengatur hukum acara pengujian peraturan perundang-undangan. Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat, bahwa permohonan pengujian peraturan perundang-undangan beralasan oleh karena peraturan tersebut dinilai bertentangan dengan undang-undang atau peraturan di atasnya, maka Mahkamah mengabulkan permohonan tersebut. Dalam putusannya, Mahkamah Agung menyatakan peraturan perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah atau tidak berlaku untuk umum serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera mencabutnya.[v]
Mahkamah Agung mengirimkan salinan Putusan kepada para pihak, dan dalam waktu 90 hari setelah salinan Putusan dikirim kepada Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Namun, dalam praktik terkadang Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum peraturan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum.[vi]
Skema pelaksanaan putusan hasil pengujian peraturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung tidak menunjukkan asas kepastian, karena membutuhkan tindakan dari Pejabat lain. Putusan pengadilan seharusnya berlaku sejak diputuskan, dan mengikat para pihak sejak saat itu juga. Adanya jeda berlakunya Putusan Mahkamah Agung berpotensi menimbulkan penyalahgunaan wewenang oleh Pejabat yang terkait, dan mengurangi tingkat kepercayaan masyarakat kepada institusi peradilan.
Beban Biaya untuk Proses Pengujian
Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di Mahkamah Agung dibebani biaya,[vii] sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah). Pokok permasalahan yang diajukan permohonan ke Mahkamah Agung adalah peraturan perundang-undangan dan terkait dengan kebijakan pemerintah yang dibuat oleh penyelenggara negara, sehingga menjadi tidak relevan membebankan biaya perkara.
Adanya beban biaya juga tidak sejalan dengan prinsip penyelenggaraan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung. Peraturan Mahkamah Agung menyatakan, bahwa Majelis Hakim Agung memeriksa dan memutus permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dengan menerapkan kententuan hukum yang berlaku bagi perkara permohonan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai dengan asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan.[viii]
Penutup
Paska putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor 137/PUU-XIII/2015 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menghapuskan kewenangan Kementerian dalam negeri untuk membatalkan Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten/Kota, berimplikasi pada MA untuk mengadopsi prinsip-prinsip peradilan yang transparan, akuntabel, dan aksesibel. Dengan mengevaluasi Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 tentang Uji Materiil, sarana dan prasarana penunjan da mewujudkan, akuntabilitas dan penerapan prinsip keterbukaan pengadilan, Mahkamah Agung perlu membangun sistem dan mekanisme baru yang memungkinkan diselenggarakannya persidangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang secara terbuka dan mudah diakses oleh publik. Selain itu, Mahkamah Agung juga perlu melakukan review kembali Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011, khususnya yang terkait dengan perluasan subyek pemohon judicial review di MA karena menimbulkan masalah bagi MA dalam menjalankan fungsinya.
[i] Daftar Lengkap 3.143 Perda yang Dibatalkan Kemendagri, diakses melalui http://news.rakyatku.com/read/10073/2016/06/21/daftar-lengkap-3-143-perda-yang-dibatalkan-kemendagri, pada tanggal 10 Juni 2017
[ii] Pasal 31A ayat (2) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
[iii] Pasal 31A ayat (3) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas Undang No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung.
[iv] Dr. Imam Soebechi, SH, MH, Hak Uji Materiil, Sinar Grafika: Jakarta, 2015, hlm. 227.
[v] Pasal 6 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 tentang Uji Materiil.
[vi] Pasal 8 Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 tentang Uji Materiil
[vii] Pasal 2 ayat (4) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 tentang Uji Materiil
[viii] Pasal 5 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2011 tentang Uji Materiil