KETAHANAN DAN KEDAULATAN PANGAN INDONESIA
Oleh ERNI HERAWATI (November 2017)
Tanah adalah karunia Tuhan YME. Tanah dalam filosofi Bangsa Indonesia merupakan milik bersama Bangsa Indonesia yang harus dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Indonesia dikaruniai kekayaan alam yang begitu berlimpah oleh Tuhan YME. Negara kepulauan dengan daratan yang subur juga laut yang luas dengan potensi besar yang terkandung di dalamnya. Deretan gunung berapi yang melintasi pulau-pulau di Indonesia telah membuat tanah Indonesia dikaruniai kesuburan. Seharusnya dengan karakteristik seperti ini, tidak akan ditemui masyakat Indonesia yang menderita kelaparan. Ironisnya, beberapa tahun ke belakang masih sering kita temui berita tentang kelaparan dan kemiskinan.
Meskipun banyak pihak meragukan, pemerintah menyatakan pada awal 2017 lalu, bahwa Indonesia kembali mencapai swasembada beras. Sepanjang tahun 2016, Indonesia tidak melakukan impor beras, termasuk beras premium. Selama 2015-2016, pproduksi beras naik 8,3 juta ton atau setara dengan Rp 38,5 triliun. [1] Indonesia sempat swasembada pangan di tahun 1986 di bawah pemerintahan Presiden Suharto, namun kemudian posisi tersebut tidak bisa dicapai kembali. Terdapat banyak faktor mengapa swasembada pangan di Indonesia sulit dicapai. Utamanya adalah justru perubahan orientasi pemerintah yang tidak lagi mengutamakan pembangunan sektor agraris, namun lebih ke industri. Sehingga terjadi banyak alih fungsi lahan pertanian menjadi non pertanian. Landreform yang dicanangkan pada masa orde lama tidak dilanjutkan dan redistribusi tanah pertanian berhenti. Sektor pertanian tidak lagi menjadi daya tarik generasi muda untuk dijadikan sebagai profesi dan ladang untuk mendapatkan penghasilan, plus beralihnya mereka yang tadinya berprofesi sebagai petani untuk meninggalkan sawah mereka dan mencari ladang baru untuk mencari nafkah. Mereka yang terakhir ini harus berjuang cukup keras untuk bertahan hidup dengan bekerja pada bidang yang mereka tidak ahli di dalamnya. Tidak ada lagi kebijakan tanah untuk petani. Tidak ada tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.
Pada tahun 2009 diundangkan undang-undang tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan. Undang-Undang No. 41 Tahun 2009 ini dikeluarkan dengan didasari oleh adanya kesadaran bahwa Indonesia sebagai negara agraris perlu menjamin penyediaan lahan pertanian pangan secara berkelanjutan sebagai sumber pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan dengan mengedepankan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, dan kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan, kemajuan, dan kesatuan ekonomi nasional. Juga, makin meningkatnya pertambahan penduduk serta perkembangan ekonomi dan industri mengakibatkan terjadinya degradasi, alih fungsi, dan fragmentasi lahan pertanian pangan telah mengancam daya dukung wilayah secara nasional dalam menjaga kemandirian, ketahanan, dan kedaulatan pangan.
Dengan jumlah penduduk Indonesia sebesar 250 juta jiwa, tentu tidak mudah memastikan ketersediaan pangan. Oleh karenanya perlu diwujudkan ketahanan pangan secara berkelanjutan. Ketergantungan Indonesia terhadap impor beras, akan membuat posisi Indonesia menjadi tergantung pada negara penghasil beras. Posisi ini jelas tidak menguntungkan bagi Indonesia dalam bargaining dengan negara lain di dalam menjalankan politik luar negeri. Sehingga, harapan dicapainya ketahanan pangan Indonesia akan berdampak pada kedaulatan pangan Indonesia. (***)
[1] https://nasional.tempo.co/read/835391/indonesia-kembali-swasembada-beras