AMANKAH EKONOMI DI TAHUN 2018?
Oleh REZA ZAKI (November 2017)
Tidak terasa, kurang dari dua bulan lagi kita akan segera berganti kalender menjadi tahun 2018. Berkaca pada pengalaman krisis keuangan yang pernah melanda di tahun 1998 dan 2008, ada kekhawatiran pada tahun 2018, krisis akan terjadi kembali. Seberapa besar potensinya? Sebetulnya, definisi krisis keuangan sendiri juga belum terlalu jelas. Ada yang menggunakan tingkat pertumbuhan ekonomi (Produk Domestik Bruto atau PDB) sebagai indikator. Ada pula yang menggunakan nilai tukar mata uang, pertumbuhan instrumen investasi seperti saham dan obligasi sebagai acuan.
Resesi adalah tahapan sebelum suatu kondisi perekonomian masuk ke dalam krisis keuangan. Namun menariknya jika mengacu kepada indikator tersebut, sebenarnya pada tahun 2008, Indonesia masih belum bisa disebut krisis karena tingkat pertumbuhan PDB kuartal I hingga IV adalah 6,32 persen, 6,39 persen, 6,1 persen dan 5,2 persen. Walaupun angkanya menurun, tapi angkanya tetap positif. Hal ini berbeda dengan kondisi tahun 1998 yang mengalami pertumbuhan PDB -13,10 persen. Namun mengapa tahun 2008 dianggap mengalami krisis keuangan seperti halnya tahun 1998? Hal ini karena pada tahun 2008 kurs nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah dari posisi awal tahun di level Rp 9.050 ke Rp 12.400 atau melemah 37 persen.
Indeks Harga Saham Gabungan ( IHSG) yang merepresentasikan kinerja saham secara keseluruhan di Indonesia juga mengalami penurunan -50,64 persen. Kondisi serupa juga terjadi pada tahun 1998 dimana kurs Rp melemah hingga ke titik terendah 16.650 dari level Rp 5000an dan IHSG pada tahun tersebut turun -0,91 persen. Terdapat beberapa indikator lain yang bisa menjadi indikasi terjadinya krisisi ekonomi pada suatu tahun seperti tingkat inflasi, rasio kredit bermasalah bank, dan tingkat suku bunga. Inflasi yang tinggi, banyak kredit macet, dan suku bunga yang semakin tinggi agar masyarakat tidak memindahkan dananya ke luar negeri merupakan upaya untuk mengatasi krisis keuangan. Namun dari semua indikator tersebut, tampaknya yang menjadi perhatian masyarakat adalah kurs nilai tukar dan kinerja investasi. Karena jika dingat kembali, pada tahun 2015, Indonesia juga disebut sempat mengalami “krisis mini”. Kalaupun pada tahun 2018 terjadi penurunan IHSG, hal ini sifatnya kebetulan dan bukan karena siklus krisis 10 tahunan (Rudiyanto, 2017).
Sementara itu Bank Indonesia optimis bahwa kondisi ekonomi global yang membaik diiringi peningkatan ekspor dan investasi menjadi sinyal positif dalam mendukung pertumbuhan ekonomi tahun depan. Bank Indonesia (BI) memperkirakan, perekonomian di 2018 bisa tumbuh di kisaran 5,1-5,5%. Adapun untuk tahun ini, BI memprediksi pertumbuhan ekonomi akan berada di angka 5,1%, lebih rendah dibanding target pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Perubahan 2017 sebesar 5,2%.
Dalam jangka menengah, BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi pada periode 2019-2022 akan berada pada kisaran 5,8-6,2%. Faktor pendorongnya adalah dari sisi suplai yang lebih kuat dalam mengakomodasi permintaan. Semenrara inflasi akan terkendali dalam kisaran 3% plus minus 1% pada 2022. Sementara itu Center of Reform on Economics (CORE) memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia lebih baik pada 2018. Setidaknya, pertumbuhan ekonomi di 2018 akan mencapai 5,2 persen. Pertumbuhan ini didasari oleh isu perpajakan. Menurut CORE, kebijakan yang diterapkan selama ini belum optimal untuk meningkatkan rasio pajak, kecuali peningkatan penerimaan. Agenda pemerintah dalam hal pajak, seperti penetapan pajak untuk pendidikan, pajak buku, pajak kertas tidak akan mendorong pertumbuhan penerimaan negara. Salah satu contohnya lemahnya pemerintah dalam menyerap pajak berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 9 Tahun 2012 Tentang Jenis Dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada Kementerian Energi Dan Sumber Daya Mineral.
Oleh karena itu pengimbangan penyerapan pajak, hutang Negara, serta optimalisasi dari infrastruktur baru harus menemui keseimbangnanya dalam pengelolaan fiskal dan moneter di tahun ini. Apabila pemerintah mampu mengatasi itu semua, niscaya phobia krisis di tahun 2018 dapat dihindari. (***)