BITCOIN DALAM REGULASI HUKUM DI INDONESIA
Apakah Bitcoin itu bakal menggeser keberadaan mata uang resmi, sehingga membahayakan otoritas negara-negara berdaulat dalam mengelola alat pembayaran mereka? Pertanyaan ini sangat mengemuka dalam acara focus group discussion (FGD) yang menampilkan dua narasumber, yaitu Oscar Darmawan (founder dan CEO Bitcoin Indonesia) dan Shidarta (ketua Jurusan Hukum Bisnis BINUS). Mereka hadir memperkaya hasil penelitian regulasi Bitcoin yang dilakukan oleh dua dosen Hukum Bisnis BINUS, Dr. Bambang Pratama dan Abdul Rasyid, Ph.D. beserta tim riset mereka. Penelitian ini didanai oleh Bank Indonesia. FGD yang diadakan pada tanggal 22 November 2017 di BINUS Square Kemanggisan ini dihadiri oleh Deputi Direktur Departemen Hukum Bank Indonesia Amy Rachmi Budiati dan jajarannya, serta beberapa dosen BINUS.
Dalam paparannya Oscar Darmawan menjelaskan tentang Bitcoin sebagai mata uang digital yang makin populer akhir-akhir ini serta makin banyak dipakai dalam transaksi perdagangan. Mata uang ini tidak bisa dikontrol oleh otoritas negara manapun. Penulis buku “Bitcoin Trading for Z Generation” ini mengibaratkan Bitcoin seperti emas, hanya saja ia tidak berwujud sehingga dapat disimpan di komputer atau smartphone. Tidak ada otoritas bank sentral negara manapun yang menerbitkan Bitcoin, melainkan terbit secara otomatis berdasarkan algoritma matematis, sehingga tidak ada seorangpun atau satu negarapun dapat mempengaruhinya. Bitcoin tidak memiliki server pusat, melainkan terdesentralisasi dan terdistribusi ke berbagai server yang dijalankan oleh setiap pengguna yang terhubung ke dalam jaringan. Prinsip ini disebut peer-to-peer. Dengan jumlah Bitcoin sebanyak 21 juta, Bitcoin ini diperjualbelikan ke seluruh dunia. Bitcoin juga dapat sebagai alat pembayaran dan bisa dipecah hingga delapan angka desimal.
Persoalan muncul ketika dihubungkan dengan dimensi hukum. Dosen dan penulis buku “Hukum Perlindungan Konsumen Indonesia” Shidarta menyoroti aspek ini dalam presentasinya. Ia menyatakan dalam transaksi Bitcoin sulit untuk dilekatkan hukum perlindungan konsumen di dalamnya. Bitcoin memang dapat dicermati dari dua sisi, yakni sebagai komoditas yang diinvestasikan (seperti halnya emas) atau sebagai alat pembayaran dalam transaksi. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa konsumen yang dilindungi adalah konsumen akhir (end consumer). Jadi, investor bukanlah konsumen akhir.
Sekalipun demikian, Shidarta mencatat beberapa pengaturan tentang hukum benda dapat dilekatkan pada Bitcoin sebagai digital atau virtual currency ini. Ia termasuk benda tidak berwujud yang secara umum pengaturannya dapat tunduk pada hukum benda di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Uniknya, menurut Shidarta, Pasal 21 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang sudah mewajibkan agar rupiah digunakan dalam: (a) setiap transaksi yang mempunyai tujuan pembayaran; (b) penyelesaian kewajiban lainnya yang harus dipenuhi dengan uang; dan/atau (c) transaksi keuangan lainnya yang dilakukan di Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Namun, menarik bahwa ayat (2) dari pasal ini justru memberi pengecualian untuk: (a) transaksi tertentu dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara; (b) penerimaan atau pemberian hibah dari atau ke luar negeri; (c) transaksi perdagangan internasional; (d) simpanan di bank dalam bentuk valuta asing; atau (e) transaksi pembiayaan internasional. Artinya, dewasa ini pengguna Bitcoin yang melakukan transaksi pembayaran sangat mungkin tidak akan terkena aturan ini karena kebanyakan pembayarannya masih terhubung dengan vendor-vendor di luar wilayah Indonesia. Dengan demikian, keharusan menggunakan rupiah dapat dikecualikan, dengan dalih transaksi ini termasuk transaksi perdagangan internasional.
Bank Indonesia saat ini masih dalam tahap mempelajari apakah akan membuat regulasi atau tidak terkait fenomena Bitcoin ini. Namun, menurut pengamatan Shidarta, sikap Bank Indonesia tidak akan dapat menghentikan peredaran Bitcoin ini karena mekanisme bekerjanya memang tidak tunduk pada sistem hukum negara manapun. Sekalipun dilarang digunakan sebagai alat tukar, ia tetap saja dapat eksis karena diterima di vendor-vendor tertentu tanpa bisa dikontrol oleh negara.
Hasil penelitian dosen-dosen BINUS terkait Bitcoin ini akan menjadi masukan berharga bagi Bank Indonesia dalam mempertimbangkan langkah-langkah selanjutnya. Seperti dinyatakan oleh Oscar Darmawan, posisinya sebagai pionir dalam pengembangan ekosistem Bitcoin dan Blockchain di Indonesia tetap saja membutuhkan payung hukum. Ia ingin kiprahnya sebagai pelaku usaha di bidang ini tetap dapat berjalan sesuai dengan koridor hukum Indonesia. (***)