KEWENANGAN PEMERINTAH PUSAT DALAM MENGUJI PERATURAN DAERAH PASKA PUTUSAN MAHKAMAH KONTITUSI
Oleh ERNA RATNANINGSIH (Oktober 2017)
Tidak dapat dipungkiri bahwa sistem otonomi daerah saat ini mengandung paradoks di dalamnya. Pada satu sisi sistem otonomi daerah memberikan manfaat bagi proses percepatan pembangunan daerah, namun pada sisi lain sistem otonomi daerah berpotensi menimbulkan ketidakadilan dan pelanggaran terhadap hak konstitusional warga negara. Peraturan Daerah yang dikeluarkan di era otonomi cenderung menjauh dari norma-norma hak asasi manusia, dan mengeliminasi keadilan substansial dalam bingkai demokrasi.[i]
Sebelum adanya putusan Mahkamah Konstitusi, peraturan perundang-undangan terkait otonomi daerah di Indonesia mengenal dua mekanisme pengawasan terhadap Peraturan Daerah, yaitu pengawasan oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri, dan melalui persidangan di Mahkamah Agung. Pengawasan yang dilakukan oleh Pemerintah dapat dikategorikan sebagai executive review sedangkan pengawasan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung disebut judicial review.
Pemerintah Pusat dalam hal ini Menteri Dalam Negeri memperoleh kewenangan mengawasi Peraturan Daerah berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. Executive review terhadap Perda dilakukan secara berjenjang, yaitu Perda tingkat Kabupaten/Kota dilakukan oleh Gubernur sebagai wakil dari Pemerintah Pusat, dan Perda tingkat Propinsi di review oleh Pemerintah Pusat.[ii]
Sedangkan kewenangan Mahkamah Agung menguji Peraturan Daerah berdasarkan pada kedudukannya sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang dapat menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur, bahwa Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap Undang-Undang.[iii] Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian sebagaimana dimaksud ayat (2) huruf b dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.[iv]
Ketentuan tentang pengujian Peraturan Perundang-undangan di bawah undang-undang oleh Mahkamah Agung juga diatur kembali melalui Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang telah diubah beberapa kali, dan yang terakhir kali dibuah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2005 dan Undang-Undang No. 3 Tahun 2009. adapun ketentuan yang termuat pada Pasal 31 mengatur:
- Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang.
- Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
- Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan sebagaiman dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung pada Mahkamah Agung.
- Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Sedangkan ketentuan dalam pasal 31A mengatur tentang pihak-pihak yang dapat mengajukan pengujian, dan tatacara permohonan pengujian peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang. Mekanisme baik executive review oleh Pemerintah maupun judicial review oleh Mahkamah Agung dapat menghasilkan keputusan yang membatalkan suatu produk Peraturan Daerah. Dualisme pengujian atas Peraturan Daerah telah menjadi perhatian para ahli hukum karena dapat menimbulkan ketidakpstian, dan berpotensi menimbulkan problem hukum baru.
Dengan dihapuskannya kewenangan Gubernur sebagai wakil Pemerintah Pusat membatalkan Peraturan Daerah Tingkat Kabupaten/Kota melalui Putusan Mahkamah Kontitusi Nomor 137/Puu-Xiii/2005 Tentang Pemerintahan Daerah, maka secara otomatis proses pengujian Peraturan Daerah tingkat Kabupaten/Kota yang diduga bertentangan dengan undang-undang atau proses pembentukannya tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan dilakukan melalui satu pintu yaitu proses pengujian di Mahkamah Agung.
Dengan demikian pembatalan terhadap Peraturan Daerah tingkat Kabupaten/Kota yang tidak sejalan dengan kebijakan Pemerintah Pusat tidak bisa serta merta dibatalkan, kecuali setelah melalui proses pengujian di Mahkamah Agung. Tolak ukur atau dasar pengujiannya juga tidak bisa hanya berdasarkan pada kepentingan atau pendapat pemerintah pusat saja, tetapi apakah suatu produk Peraturan Daerah nyata-nyata bertentangan dengan peraturan diatasnya, yaitu undang-undang, Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden.
Ada beberapa strategi yang dapat dikembangkan oleh Pemerintah Pusat untuk mengawasi Peraturan Daerah di tingkat Kabupaten/Kota yang dinilai tidak sejalan dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Pertama, Pemerintah Pusat melakukan penguatan terhadap kewenangan dan kelembagaan dalam melakukan pengawasan terhadap rancangan Peraturan Daerah sebelum disahkan dan diundangkan (executive preview). Dengan demikian diharapkan dengan pengawasan preventif ini, Pemerintah Daerah tidak mengeluarkan Peraturan Daerah yang bertentangan dengan kebijakan Pemerintah Pusat. Kedua, Pemerintah dapat mendorong perorangan, kesatuan masyarakat hukum adat serta badan hukum publik atau badan hukum privat yang dirugikan akibat dari pelaksanaan Peraturan Daerah untuk mengajukan permohonan pembatalan ke Mahkamah Agung.
[i] M. Nur Sholikin, dkk, Laporan Kajian Implementasi Pengawasan Perda oleh Pemerintah dan Mahkamah Agung, Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, Jakarta: 2011.
[ii] Penjelasan Umum UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan, bahwa mengingat tanggungjawab akhir penyelenggaraan pemerintahan ada ditangan Presiden maka kewenangan untuk membatalkan Perda ada ditangan Presiden. Hal ini tidak efisien apabila Presiden yang langsung membatalkan Perda. Presiden melimpahkan kewenangan pembatalan Perda Propensi kepada Menteri sebagai Pembantu Presiden, dan melimpahkan pembatalan Perda Kabupaten/Kota kepada Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat di Daerah.
[iii] Pasal 20 ayat (2) huruf b UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
[iv] Pasal 20 ayat(3) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.