DISCLOSURE DALAM IKLAN PRODUK PANGAN
Oleh ERNI HERAWATI (Oktober 2017)
Seringkali kita mendengar bahwa makanan olahan pabrik tidak baik untuk kesehatan. Bahkan dalam mendukung program hidup sehat, banyak sekali anjuran yang kita terima bahwa terdapat banyak jenis makanan yang masuk dalam kategori tidak disarankan untuk dikonsumsi, seperti mi instan, minuman bersoda, susu kemasan, makanan olahan, dan masih banyak lagi. Padahal semua informasi tentang efek samping itu tidak pernah ada dalam kemasan makanan ataupun dalam iklan produk mereka. Dalam kemasan biasanya sudah ada kandungan angka kecukupan gizi masing-masing produk, namun dengan banyaknya informasi tentang dampak negatif atas konsumsi makanan, maka patut untuk dipertanyakan sejauh mana suatu produk makanan bisa mempunyai efek negatif dalam jangka panjang atau sejauh manakah informasi yang disampaikan dapat dipercayai kebenarannya. Konsumen sendirilah yang harus mencari informasi tersebut. Belum lagi jika kemudian penjualan tersebut diiringi dengan iklan yang persuasif, misalnya apakah benar jika seorang anak meminum susu tertentu, maka anak yang meminumnya akan menjadi cerdas seperti yang digambarkan dalam iklan?
Adalah kewajiban pemerintah untuk memastikan adanya keterbukaan (disclosure) atas suatu produk yang dijual kepada masyarakat. Keterbukaan ini tidak hanya informasi dalam hal berat bersih dan kandungan dalam suatu produk, tetapi juga menyangkut informasi dalam iklan yang disampaikan kepada masyarakat agar tidak menyesatkan. [1] Karena pada kenyataannya seringkali sulit membedakan antara “kebohongan” dengan “tidak menyampaikan informasi yang benar”.
Dalam A Code of Advertising Practice yang diatur oleh Advertising Standards Authority (self-regulatory agency) di Inggris menentukan tentang regulasi tentang kecurangan dalam iklan, yaitu bahwa iklan tidak boleh memuat pernyataan atau gambaran visual baik secara langsung maupun tidak langsung, tidak sengaja, pesan yang ambigu, ataupun klaim berlebih-lebihan yang bermaksud untuk memberi pengertian yang menyesatkan atas suatu produk kepada konsumen. Komite yang sama juga baru-baru ini mengeluarkan larangan penayangan iklan makanan yang mengandung kadar garam tinggi, lemak dan gula yang sering terkandung dalam permen, kentang goreng dan burger (khususnya produk fast food) selama jeda acara iklan di televisi. [2] Larangan ini dimaksudkan untuk melindungi anak-anak dari makanan yang dikategorikan tidak sehat. Daya tarik dari iklan ditakutkan akan mengakibatkan konsumsi produk makanan tersebut oleh anak-anak. Dampak dari konsumsi makanan dapat menimbulkan efek obesitas dan penyakit lainnya pada anak-anak.
Di Indonesia sendiri juga telah dilakukan dukungan atas pelarangan iklan susu formula bagi anak-anak usia 0 – 3 tahun sesuai dengan resolusi WHO pada Mei 2016. Terkait hal ini, sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif, bahwa untuk mendukung pemberian ASI eksklusif maka para ibu yang baru melahirkan diharuskan menolak pemberian susu formula, begitu juga produsen atau distributor susu formula bayi dilarang menghambat program ASI Eksklusif diantaranya biasa dilakukan dengan melalui pemberian contoh, penawaran dan penjualan langsung, memanfaatkan bantuan tenaga kesehatan, dan juga iklan. Namun demikian, tidak hanya susu formula saja yang memerlukan perhatian pemerintah, karena masih banyak iklan produk makanan yang perlu ditinjau lagi mengenai kesesatan informasi, dampak jangka panjang dan keterbukaan atas informasi kandungan makanan di dalam kemasan. (***)
REFERENSI:
[1] Anthony I. Ogus. (2004). Regulation: Legal Form and Economic Theory. Hart Publishing: Oxford and Portland, Oregon.
[2] https://m.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20161209140247-255-178505/iklan-dan-tokoh-kartun-junk-food-dilarang-di-inggris/