COMMUTER LINE: HUKUM UNTUK PERUBAHAN YANG LEBIH MANUSIAWI
Oleh ERNI HERAWATI (Oktober 2017)
Sebagai salah seorang yang “ditakdirkan” dekat dengan transportasi kereta listrik (dulu lebih akrab dikenal sebagai KRL atau Kereta Rel Listrik), tentunya dapat melihat perubahan signifikan yang terjadi pada pelayanan yang diberikan oleh salah satu anak perusahaan PT. Kereta Api Indonesia ini yaitu PT. KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) yang sekarang telah berganti nama menjadi PT. Kereta Commuter Indonesia.[1] Saat ini, setiap orang yang menumpang alat transportasi umum ini, tentu dapat dengan mudah menggambarkan pengalaman naik di dalamnya. Namun mungkin tidak semua orang ingat atau bahkan tidak pernah merasakan bagaimana rasanya naik KRL sebelum perusahaan kereta ini fokus untuk mengadakan perubahan yang signifikan.
Dulu, menjadi penumpang KRL penuh dengan “sensasi”. Naik KRL seperti naik pasar berjalan, semuanya ada, tidak hanya di dalam kereta, tetapi di luar kereta penuh dengan orang berjualan. Di dalam kereta, kita bisa menemui orang menjual buah-buahan yang sedang musim, ada apel, mangga, jeruk, salak, jambu, dll. Juga barang lain seperti buku, peniti, jepit rambut, kacang, bahkan minuman botol, semuanya wara-wiri di depan kita. Di dalam kereta kita juga bisa menikmati pengamen life music, dari yang hanya bermodal “kecrekan” sampai full band. Kita bisa menikmatinya sambil makan buah atau minum air botol kemasan. Beberapa diantara penumpang bebas membuang sampah kulit buah atau botol bekas minum dimana saja ia mau. Jangan kuatir, akan ada orang yang sigap untuk menyapu sampah tersebut, dan setelahnya tidak lupa ia meminta uang belas kasihan. Berbagai profesi tersebut menyatu di dalam KRL, yang semuanya menyasar penumpang KRL sebagai pasar mereka.
Dari penumpang sendiri cukup memiliki beragam cerita. Sebagian penumpang KRL telah saling mengenal dan tanpa sengaja membentuk komunitasnya sendiri. Ada arisan, janjian bareng, main kartu bareng di dalam kereta. Setiap gerbong memiliki beberapa grup penghuni tetap yang telah saling mengenal. Tidak semua penumpang membayar tiket kereta saat mereka masuk stasiun. Sebagian besar dari mereka terbiasa tidak membayar tiket, karena jarang sekali ada pemeriksaan tiket saat keluar stasiun. Sedangkan untuk masuk ke dalam wilayah stasiun, ada saja tempat masuk yang bisa mereka lewati untuk menghindari pemeriksaan tiket masuk oleh petugas. Penumpang yang naik cukup beragam, dari pengamen dan pengemis yang entah sudah berapa hari tidak mandi, pencopet, penumpang yang benar-benar tidak punya uang dan menumpang gratis, sampai penumpang yang berpakaian necis. Ada pula penjual buah yang hendak menjual buahnya di pasar. Mereka ini selalu menempati ruang-ruang depan pintu KRL yang sudah tidak bisa dibuka tutup otomatis, agar mereka bisa cepat keluar dan masuk KRL. Buah yang dibawanya tidak tanggung-tanggung banyaknya, bisa dua keranjang besar. Dalam keadaan KRL yang padat, seringkali ada penjual buah yang “tega” membawa buah durian. Alhasil saat berhenti di stasiun, banyak terdengar teriakan “aduh” dari orang yang saling mendorong keluar kereta. Lain dari itu, orang bebas merokok dimanapun, apakah di dalam stasiun ataupun di dalam kereta. Jika kita protes, maka kita akan dianggap menginginkan privilege dan mereka akan “menyarankan” sebaiknya kita naik taxi saja.
Dari segi sarana pendukung, maka hampir di setiap stasiun selalu ramai dengan kios jualan. Stasiun yang ramai orang turun naik, biasanya penuh dengan orang berjualan. Jika penumpang lapar, maka tidak perlu menunggu keluar stasiun karena di dalam stasiun tersedia warung cukup lengkap. Bahkan penumpang bisa berteriak dari dalam kereta untuk mendapatkan pelayanan jika kereta berhenti cukup lama. Jika ada informasi jadwal kereta, maka hampir dipastikan tidak ada penumpang yang melihatnya, dikarenakan informasi tersebut diragukan keakuratannya. Jika kereta lama tidak datang, jarang sekali informasi diberikan, sehingga stasiun akan penuh sesak dengan penumpang yang sudah tidak sabar. Apabila kereta datang dan penuh, maka sebagian penumpang memilih untuk naik di atap kereta. Meskipun sudah ada beberapa penumpang meninggal karena terjatuh atau terkena setrum, tetap saja jumlah penumpang di atap kereta ini tidak berkurang. Kondisi ini bukannya tidak dilakukan penindakan. Pihak manajemen KRL sudah melakukan usaha dengan menyemprot mereka dengan air, mengerahkan petugas untuk menyuruh mereka turun, menyediakan papan tampar, memasang duri-duri besi di atap, tetapi tetap saja tidak ada yang berubah.
Semua fenomena tersebut menunjukkan bahwa kereta listrik pada waktu itu hanya menjalanan fungsi saja untuk menangkut penumpang, selebihnya tidak ada. Tidak ada kata nyaman di kereta. Penumpang harus memiliki kewaspadaan yang tinggi karena maraknya pencopetan dalam kereta, menjadi sasaran pengamen dan pengemis, menjadi pasar dari penjual asongan yang ada di kereta.
Mengubah pola perilaku yang sudah melembaga demikian lama tentunya tidak mudah. Dibutuhkan tidak hanya niat yang serius, tetapi yang paling utama adalah kemauan dan strategi yang tepat untuk mengubah. Dalam melakukan perubahan sosial, biasanya yang paling menentang adalah pihak yang menjadi sasaran perubahan. Tentangan datang dari mereka yang tadinya bisa mendapatkan rejeki dari penumpang kereta, baik berjualan di dalam ataupun di luar stasiun dan kereta. Tidak sedikit ancaman dan intimidasi yang didapatkan petugas. Demikian juga saat membiasakan penumpang untuk tertib membeli dan mengembalikan tiket, banyak penumpang yang lari dan melempar tiket karena tidak terbiasa antri keluar dan masuk stasiun.
Saat ini, situasi sudah berbalik. Dari mulai masuk stasiun, masuk ke dalam kereta, dan sampai akhirnya keluar stasiun, maka penumpang seakan tidak henti-hentinya mendengar informasi dari petugas stasiun tentang tata tertib naik kereta. Informasi ini terus diulang-ulang hampir di setiap stasiun pemberhentian. Konsistensi penegakan aturan menjadi kunci utama. Tata tertib ini juga didukung dengan rambu-rambu yang berisi informasi yang sama di setiap gerbong kereta, yang sebagian besar berisi larangan, antara lain dilarang untuk : duduk di lantai, makan dan minum, membawa barang yang melebihi aturan volume karena akan mengganggu penumpang lain, membawa benda yang berbau tajam, membawa benda tajam, memprioitaskan lansia dan ibu hamil untuk duduk, dll. Logikanya, penumpang harus saling menghormati penumpang lain, karena memiliki hak yang sama. Aturan ini juga didukung dengan adanya petugas yang siap menegakkan aturan jika ada penumpang yang melanggar. Jika tidak dapat tempat duduk, jangan harap bisa duduk di lantai kereta lama-lama, karena sebentar lagi pasti akan ada petugas yang menegur. Di dalam stasiun juga ada petugas yang siap membantu penumpang jika ada kesulitan. Situasi dalam stasiun dan gerbong kereta ini seperti layaknya sebuah laboratorium sosial dalam penegakkan hukum. Di sini, agar hukum berhasil berlaku sebagai alat perubahan sosial, maka tidak hanya aturan saja yang perlu dibuat, tetapi diperlukan suatu sistem yang utuh dan menyeluruh yang mendukung terlaksananya perubahan sosial itu sendiri. Suatu perubahan yang memanusiakan manusia. (***)
REFERENSI: