MOTIF DAGANG SENJATA KOREA UTARA
Oleh REZA ZAKI (Oktober 2017)
Uji coba nuklir keenam yang dilakukan Korea Utara telah meningkatkan kekhawatiran dan ketegangan akan kemungkinan pecahnya perang di Semenanjung Korea. Globaltimes mengestimasi, untuk menembakkan satu rudal, setidaknya biaya operasional yang dikeluarkan mencapai US$ 38 ribu atau sekitar Rp 507 juta. Untuk rudal jarak menengah sejenis Tomahawk, The Economist melaporkan pemerintah Korut membutuhkan biaya US$ 1,5 juta. Institute of Science and International Security memperkirakan bahwa Korea Utara memiliki 13-30 senjata nuklir, dan bisa mencapai 50 unit pada 2020 nanti. Pengembangan teknologi nuklir Korea Utara sudah berlangsung sejak berakhirnya Perang Korea pada 1950. Korea Utara memiliki infrastruktur nuklir dasar atas bantuan Uni Soviet dan pada 1964 Soviet membantu Korea Utara mengembangkan reaktor nuklir pertamanya yang awalnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan penelitian, medis, serta industri.
Sekalipun kemudian, mereka mulai mengembangkan persenjataan dan memanggil pulang para ilmuwannya dari luar negeri. Pada 1970-an dan 1980-an, Korea Utara mulai mencari teknologi nuklir yang canggih dari Eropa, karena saat itu belum ada pengawalan informasi nuklir yang mencukupi, termasuk dengan mendatangi konferensi nuklir di Wina dan berbicara dengan ilmuwan Belgia yang merancang pabrik pemisahan plutonium. Dasar utama program senjata nuklir uranium Korea Utara bermula sejak 1990-an dengan bantuan dari Dr. A.Q. Khan, pionir program bom atom Pakistan. Khan diyakini membantu Korea Utara dalam mengatur transfer inti uranium secara diam-diam, mesin pengayaan dan data teknis ke Korea Utara dalam beberapa tahun.
Di samping itu ada sejumlah dukungan finansial dalam proyek persenjataan Korea Utara yang dipelopori oleh Cina sebagai Negara yang memiliki kepentingan cukup besar terhadap Sumber Daya Alam (SDA) di Korea Utara serta perdagangan ilegal yang dilakukan oleh Korea Utara di sejumlah Negara dari mulai kejahatan siber hingga penjualan obat-obat terlarang. Bahkan para pekerja dari Korea Utara yang bekerja di luar negeri juga turut berkontribusi dalam pendanaan proyek nuklir dan persenjataan di Korea Utara.
Di masa lalu, Paul Warburg, Pendiri Bank Sentral AS ketika itu yang juga merupakan pemilik dari General Motors, IG Farben, dan Standard Oil. Pada dasawarsa 30-an dia memberikan bantuan finansial yang sangat besar kepada Hitler dan Nazi Jerman. Dukungannya dapat dilihat dari Interessen Gemeinschaft Farbenindustrie AG yang didirikan pada 25 Desember 1925 yang digunakan untuk mendukung ambisi ekspansi militer NAZI Jerman yang digunakan untuk memperkuat kekuatannya di tanah Eropa. Industri-industri ini sekarang bernama BASF, Bayer, Hoechast, AGFA, Griesheim-Elektron dan Weiler Ter Meer.
Teguran PBB
Pada tahun 2006, ketika untuk pertama kalinya Korea Utara meluncurkan nuklirnya, aksi Korea Utara lantas mengundang respons Dewan Keamanan PBB yang menganggap tindakan Korea Utara akan mengganggu geopolitik dunia. Diketahui, Pyongyang dalam mewujudkan ambisi besar pengembangan nuklirnya membutuhkan dana dari sejumlah transaksi dagangnya antara lain persenjataan. Oleh sebab itu, kemudian Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi 1718 (2006) yang antara lain memberlakukan embargo pada perdagangan dengan Korea Utara dalam sistem senjata-senjata konvensional yang besar, rudal, senjata pemusnah massal, dan barang-barang terkait dan jasa.
Embargo senjata itu diperkuat lagi, yakni di tahun 2009 mencakup semua senjata dan materi dan layanan terkait, serta membebaskan senjata ringan. Ketentuan terakhir dirancang khusus untuk melemahkan argumen negara-negara seperti Uganda, yang secara teratur menerima bantuan pelatihan dari Korea Utara. Pada tahun 2015, Panel Pakar PBB yang Didirikan Berdasarkan Resolusi 1874 menetapkan bahwa kontrak Uganda dengan Tentara Rakyat Korea Utara melanggar embargo yang diatur oleh Dewan Keamanan PBB.
Motif Dagang di Balik Misi Nuklir Korea Utara
Walaupun Korea Utara dianggap tidak belajar dari peristiwa Iran yang dikecam oleh dunia Internasional terutama oleh Amerika Serikat saat itu, Kim Jong Un tampaknya permisif terhadap opini dunia terkait usaha mereka dalam mengembangkan alutsista domestik.
Menurut hasil penelitian teranyar Stockholm International Peace Research Institute, SIPRI, penjualan senjata oleh 100 perusahaan terbesar mencapai nilai 370 miliar Dollar AS tahun 2015. Angka penjualan 100 produsen senjata terbesar tahun 2015 meningkat sebesar 37% dibandingkan tahun 2002. Kemunduran terbesar dialami produsen dari Amerika Serikat. Angka penjualan yang mereka bukukan berkurang sebanyak 2.9 persen. Hal tersebut berdampak pada statistik umum 100 produsen terbesar. Karena 39 perusahaan AS mencatat 56% pemasukan dari Top 100 . Sebaliknya perusahaan dari negara berkembang mencatat pertumbuhan pesat, terutama Korea Selatan. Di sana angka penjualan senjata meningkat sebanyak 30%.
Keberhasilan Korea Selatan dalam perdagangan senjata di dunia tentu saja ikut melatarbelakangi strategi Korea Utara dalam memacu produksi alutsista mereka yang tidak hanya menjadi kepentingan dalam negeri, namun juga dalam transaksi perdagangan ke mancanegara. Kepala Analis The Economist Intelligence Unit Anwista Basu mengatakan, perekonomian Korea Utara bisa berjalan karena penjualan senjata yang dilakukannya. Ia juga menggaris bawahi kesepakatan ekspor yang dilakukan negara komunis ini dengan beberapa negara Afrika.
Beberapa analis politik berspekulasi, negara di bawah pimpinan Kim Jong Un ini memiliki kesepakatan kerja sama khusus dengan Iran tentang pengembangan senjata nuklir. Selain itu, beberapa analis yang dikutip oleh New York Times menyebut langkah Kim Jong Un ini merupakan perpaduan dari strategi, pertahanan diri dan narsisisme akan nuklir. Uji coba nuklir dan peluncuran roket bisa membuat Kim menjadi pemimpin yang harus diperhitungkan oleh Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping. Ada sebuah pepatah dari mafia Italia yang terkenal, “Pisahkan perasaan pribadi dan kepentingan bisnis”. Kim Jong Un sedang menerapkan strategi memisahkan antara menciptakan perdamaian dunia dengan kepentingan negaranya untuk menjadi negara yang dominan dalam perdagangan senjata di dunia. Korea Utara tak hanya ingin menyalip negara tetangganya Korea Selatan, namun juga Amerika Serikat sebagai produsen senjata yang cukup disegani di planet ini. (***)