People Innovation Excellence

ERA DISRUPTION HUKUM

Oleh REZA ZAKI (Oktober 2017) 

Pada tahun 1997, sekitar 20 tahun yang lalu, Clayton M. Christensen memperkenalkan teori yang dikenal sebagai disruption. Kata disruption ini menjadi amat populer karena bergerak sejalan dengan muncul dan berkembangnya aplikasi-aplikasi tekhnologi informasi dan mengubah bentuk kewirausahaan biasa menjadi start-up. Kata ini bergeser dari istilah yang dikenal setelah perang dunia, yaitu “destruction” yang diperkenalkan Schumpeter. Strategi bisnis yang dapat dikatakan melakukan disruption dalam menghadapi bisnis incumbent menurut Rhenald Kasali (2017) adalah dengan melakukan penyederhanaan produk, melakukan revolusi, bergerak ke segmen yang lebih rendah dengan strategi harga yang terjangkau dan dapat diakses.

Cicero pernah berkata Ubi Societas Ibi Ius yang artinya hukum tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat. Sekitar 10 tahun yang lalu, muncullah sebuah inovasi Legal start-up sebanyak 20 penyedia jasa di dunia. Dan saat ini penyedia jasa hukum itu sudah berkembang antara 600-1.200 di dunia. Sekitar 2/3 Legal start-up berasal dari Amerika Serikat (Anna Ronkainen, 2016).

Jasa Hukum Online vs Jasa Hukum Konvensional

Di awal tahun 2000-an, pasar hukum melihat gelombang inovasi pertama. Pada tahun 2007, pasar hukum mulai mengindikasikan munculnya gelombang inovasi kedua. Felix dan Filip (2015) memberikan sebuah pandangan mengapa begitu sulit bagi firma hukum benar-benar menghasilkan inovasi produk dan layanan yang nyata. Mereka berpendapat bahwa masalah mendasarnya adalah kesulitan dalam inovasi model bisnis untuk perusahaan hukum.

Seringkali masyarakat, akademisi, bahkan hingga praktisi mengalami kesulitan dalam mengakses hukum baik itu dokumen maupun pendampingan. Hal ini akhirnya memberikan dampak buruk bagi perkembangan hukum di banyak Negara. Pertama, akademisi kesulitan dalam mengakses peraturan hukum yang aktual dan akurat. Akibatnya seringkali riset dan penelitian mengalami kendala dalam membuat formulasi rekomendasi kebijakan akibat kurangnya data informasi. Kedua, masyarakat seringkali menemukan kesulitan dalam membuat kontrak dan kesulitan dalam menghadapi persoalan hukum. Akibat adanya gap diantara hukum dan masyarakat, akhirnya menimbulkan banyak perkara hukum yang menumpuk atau masyarakat kelas bawah yang tertipu dalam hal perjanjian/perikatan. Ketiga, para praktisi seperti pengacara, jaksa, hakim, dan konsultan kerap menemukan persoalan dalam menyusun sebuah argumentasi hukum, pendapat hukum, hingga berkas hukum. Waktu untuk menyusun itu semua membutuhkan waktu yang cukup panjang. Akhirnya banyak perkara harus di pending dalam kurun waktu yang tidak pasti. Hal-hal tersebut tentu saja menjadi mimpi buruk bagi teras hukum di beberapa Negara termasuk Indonesia.

Untuk itu, diperlukan sebuah keberanian untuk menghadirkan penyedia jasa hukum yang mampu memberikan jenis layanan hukum yang berbeda serta menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi konsumen dalam hal biaya, efisiensi, dan akses terhadap keadilan. Jasa hukum konvensional harus menyadari bahwa mereka tidak dapat lagi berlatih menurut status quo. Tuntutan kebutuhan hukum di era global saat ini semakin tinggi baik untuk pasar konsumen menengah atas atau menengah bawah. Perubahan pasar ini pula yang sudah mulai direspon oleh penyedia jasa hukum online seperti di India yakni Law Rato yang memberikan beragam jasa hukum seperti draf perjanjian, mendapatkan pendampingan hukum dari pengacara yang sudah berpengalaman selama belasan tahun pada bidang perdata, pidana, hingga korporasi. Law Rato juga menampilkan profil para pengacara berikut dengan rating dan biaya jasa mereka. Artinya konsumen diberikan pelayanan yang transparan dalam mengakses jasa hukum ini.

Robot Hukum di Indonesia

Perkembangan Legal start-up tentu saja mengandalkan kepada artifical intelligence technology atau tekhnologi kecerdasan buatan. Upaya melahirkan robot hukum ternyata tidak hanya masif di Amerika Serikat, Eropa, India, dan beberapa Negara lainnya. Indonesia sejak beberapa tahun terakhir sudah mulai memasuki era baru dalam dunia hukum dengan mengembangkan Legal Tech dan Regulatory Technology.

Sebagaimana informasi yang dikeluarkan Techinasia bahwa pada 18 September 2017, terdapat enam start-up lokal yang berkecimpung di bidang regtech dan legaltech tanah air membentuk Asosiasi Regtech dan Legaltech Indonesia atau yang disingkat dengan nama IRLA. Keenam start-up tersebut antara lain adalah LegalGo, Pop Legal, Startup Legal Clinic, Lawble, PrivyID, dan Eclis.id.

Asosiasi Regtech dan Legaltech Indonesia sendiri hadir sebagai wadah bagi perusahaan rintisan maupun institusi yang memanfaatkan perkembangan teknologi sebagai bagian dalam pengembangan usahanya di bidang hukum. Asosiasi ini bertujuan membuat masyarakat semakin aware dan mengerti tentang hukum, lewat beragam inovasi produk dan teknologi yang diperkenalkan oleh para anggota ekosistemnya.

Berbeda dengan fintech dan ranah startup lainnya, regtech dan legaltech kerap dipandang sebagai ranah yang kurang begitu seksi bagi pengamat perkembangan startup di Indonesia. Meskipun demikian, potensi yang dimiliki sektor ini tetaplah tidak dapat dipandang sebelah mata. Terlebih lagi dalam kondisi di mana masyarakat (khususnya kelas menengah ke atas) mulai menyadari pentingnya pemahaman isu seputar hukum, legalitas, dan segala macam struktur yang menaunginya seperti di Hong Kong dan Singapura.

Permasalahan yang dihadapi pelaku sektor ini di Indonesia adalah kondisi pasar yang kurang begitu siap dalam menerima perkembangan teknologi legaltech dan regtech di Indonesia. Permasalahan ini ditambah lagi dengan adopsi institusi regulator Indonesia yang lamban, sehingga memperkecil potensi yang dimiliki sektor ini di Indonesia.

Sementara itu, pada 2017, salah satu anggota IRLA yakni Lawble menargetkan setidaknya ada sekitar 700 Law Firm, di mana satu law firm bisa mengantongi 10 pengguna Lawble dengan penetrasi pengguna 50 persen. Jadi, diprediksi akan ada 3.500-4.000 yang akan menjadi subscriber Lawble. Lawble juga membidik perguruan tinggi di mana nanti akan ada 100 perguruan tinggi yang bergabung dengan total 2.000 orang. Perkembangan ini tentu saja akan menstimulan pasar hukum di bidang teknologi yang lebih menantang. Karena perjalanan perkembangan bisnis digital saat ini sangat membutuhkan dua hal yakni fintech dan regtech. (***)


 


 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close