PANCASILA DALAM SOROTAN SEMINAR PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL 2017
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, berkerja sama dengan Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP Pancasila), pada tanggal 25 dan 26 Oktober 2017 menyelenggarakan Seminar Pembangunan Hukum Nasional, bertempat di Hotel Bidakara, Jakarta. Ketua Jurusan Hukum Bisnis BINUS, Shidarta, menjadi bagian dari acara besar tahunan ini, yaitu bertindak sebagai panitia pengarah dan salah satu moderator. Tema yang diangkat dalam seminar ini adalah “Revitalisasi Pancasila dalam Rangka Penataan Regulasi untuk Membangun Sistem Hukum Nasional.”
Acara dibuka oleh Menteri Hukum dan HAM Dr. Yasonna Laoly. Ia menekankan bahwa ideologi negara Pancasila menghadapi tantangan internal dan eksternal (global). Tantangan tersebut membuat Pancasila sebagai ideologi negara lebih sering dijadikan acuan formal, daripada material. Menurutnya, perumus kebijakan harus menjadikan Pancasila dan UUD 1945 sebagai kebijakan tertinggi. Oleh sebab itu penting untuk melakukan upaya: (a) mengevaluasi dan mengharmonisasi seluruh peraturan perundang-undangan, baik vertikal maupun horisontal, (b) mencermati penyelundupan ide-ide primordial dan kepentingan asing; dan (c) membangun data-base dalam peraturan perundang-undangan kita.
Ketua Jurusan Hukum Bisnis BINUS, Dr. Shidarta, yang menjadi moderator pada sesi II pada hari pertama seminar, mengantarkan diskusi tersebut dengan menekankan keyakinan semua pihak bahwa Pancasila adalah sumber dari segala sumber hukum. Hanya saja, pengejawantahan sumber dari segala sumber hukum itu tidak dapat dipahami secara utuh dan relatif sama oleh para pengambil kebijakan. Hal ini diakui oleh para narasumber yang hadir pada sesi ini, yaitu Prof. Dr. Enny Nurbaningsih (Kepala BPHN), Prof. Dr. Widodo Eka Tjahjana (Dirjen Perundang-undangan); dan Dr. Soni Sumarsono (Dirjen Otonomi Daerah). Mereka mengindentifikasi sekian banyak peraturan di tingkat menteri yang tidak sinkron karena masih kuatnya ego sektoral. Hal yang sama juga terjadi di tingkat peraturan daerah.
Untuk peraturan daerah, Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa aturan ini merupakan bagian dari produk legislatif, sehingga peraturan daerah tidak dapat dibatalkan begitu saja secara sepihak oleh Pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri. Untuk itu, prosesnya harus dilakukan melalui pengujian di Mahkamah Agung. (***)