KONFERENSI INTERNASIONAL FRIENDLYCITY KEEMPAT DI MEDAN
Tiga dosen Business Law, Bambang Pratama, Siti Yuniarti, dan Nirmala berkesempatan hadir pada Konferensi Internasional Friendlycity keempat pada tanggal 11 Oktober 2017 di Medan.
Acara konferensi didahului dengan jamuan makan malam di rumah dinas Gubernur Sumatra Utara, Dr. Tengku Erry Nuradi untuk melakukan ramah tamah dengan para peserta konferensi.
Ada tiga hal menarik yang dipaparkan oleh keynote speaker pada konferensi Friendlycity, yaitu:
- Isu global yang perlu dihadapi saat ini adalah meningkatnya daerah kumuh di berbagai dunia. Kemiskinan ditenggarai sebagai salah satu dampak dari neoliberalism yang membuat jurang pemisah antara si kaya dan si miskin menjadi semakin tinggi. Selain itu, ketimpangan infrastruktur pedesaan dan kota memicu tingginya urbanisasi, sehingga domino efek yang bisa dirasakan adalah ledakan penduduk di daerah perkotaan. Dengan ledakan penduduk maka berbagai masalah sosial lainnya bermunculan, diantaranya: polusi, kebutuhan ruang publik, masalah transportasi, buruknya layanan publik dan sebagainya.
- Dengan munculnya berbagai masalah sosial, kebutuhan akan interaksi manusia dengan alam perlu dipikirkan. Salah satu upaya yang dilakukan adalah menjaga agar penduduk pedesaan tetap di desa, dengan syarat berbagai kebutuhan sosialnya bisa dipenuhi sebagaimana layaknya penduduk di perkotaan. Misalnya: akses kepada sektor ekonomi, pendidikan, layanan publik, dan lainnya, sehingga masyarakat pedesaan tidak berpikir untuk urbanisasi ke kota. Di sisi lain, wilayah perkotaan juga perlu diatur sedemikian rupa agar memiliki ruang hijau di tengah keterbatasan lahan tanah.
- Geotourism dan geo village perlu dikembangkan di Indonesia, mengingat banyaknya potensi yang tersedia. Dengan belajar dari berbagai negara yang berhasil mengembangkan geowisata seperti Korea Selatan, maka Indonesia sudah seharusnya memikirkan potensi wisata yang menjual kekayaan budaya lokal. Tantangan utama pembangunan geotourism ada lemahnya konsep yang bisa ditawarkan kepada publik. Alhasil, geotourism di Indonesia tidak berjalan dengan baik.
Dari ketiga poin penting di atas, hal yang perlu digarisbawahi adalah membangun sebuah konsep yang dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh sebab itu menurut Keynote Speaker tidak ada satu jawaban pamungkas untuk menjalankan sebuah konsep secara berkelanjutan. Pasalnya tiap-tiap daerah memiliki kekhasan masing-masing, sehingga pendekatan dan tawaran konsepnya menjadi berbeda-beda. Mengaitkan pandangan expert judgement keynote speaker dengan konteks Indonesia, hal yang perlu dilakukan adalah mencari konsep yang khas dengan kultur Indonesia adalah masalah inti yang perlu dijawab. Kemudian konsep ala Indonesia tersebut diimplementasikan di kota dan desa, sehingga masalah sosial dari neoliberalism bisa diatasi secara sistemik. (***)