KEBINGUNGAN ANTARA PERATURAN, KEPUTUSAN, DAN SURAT KEPUTUSAN
Oleh SHIDARTA (Oktober 2017)
Di antara semua keputusan setingkat menteri yang paling banyak disebarkan melalui jejaring media sosial setiap tahun adalah keputusan tentang hari libur nasional dan cuti bersama. Rupanya hampir semua orang berkepentingan terhadap keputusan ini guna merancang liburan satu tahun berikutnya. Ada tiga menteri yang masing-masing memberi nomor tersendiri atas keputusan tersebut, yakni Menteri Agama, Menteri Ketenagakerjaan, dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara [pada era Pemerintahan Jokowi, portofolio dari menteri yang terakhir ini masih ditambah dengan kata-kata “dan Reformasi Birokrasi”). Oleh karena keputusan itu ditetapkan oleh tiga orang menteri, dengan tiga nomor berbeda, maka jadilah ia disebut keputusan bersama. Uniknya, di masyarakat keputusan ini kerap disebut “surat keputusan bersama” atau disingkat SKB. Tidak jelas dari mana kata “surat” ini muncul karena dalam nomenklatur keputusannya jelas-jelas tidak tercantum kata tersebut. Sementara itu juga belum ada inisiatif untuk menggantikan istilah SKB itu menjadi KB atau Kepmenber.
Dalam masyarakat juga ada kebingungan untuk membedakan mana yang disebut keputusan dan mana peraturan. Secara kasatmata, suatu keputusan diformat dalam bentuk diktum-diktum: KESATU, KEDUA, KETIGA, dan seterusnya. Suatu peraturan diformat dalam sistematika berupa BAB, Bagian, Paragraf, Pasal, dan ayat.
Bagi para penstudi hukum, tentu harus dipahami pembedaan yang lebih esensial. Pertama-tama harus dicermati bahwa produk dari ilmu hukum sebagai ilmu praktis adalah keputusan-keputusan (decisions). Keputusan itu bisa dimaknai dalam arti luas, karena dari sini kemudian dapat dibedakan menjadi peraturan dan keputusan dalam arti sempit. Nah, keputusan dalam arti sempit (beschikking) ini tidak lain adalah keputusan yang berdimensi administratif dan sekali-selesai (einmalig). Keputusan yang sekali-selesai itu umumnya adalah keputusan-keputusan yang menyangkut individu tertentu yang secara konkret disebutkan nama-namanya dalam keputusan-keputusan itu. Umpamanya keputusan tentang pembentukan panitia suatu kegiatan dengan nama-nama anggota panitianya tertera di dalam keputusan itu, atau keputusan tentang pengangkatan seseorang sebagai pejabat. Namun, jika dikaitkan dengan sasaran normanya, ternyata ada juga keputusan yang tidak disasarkan kepada individu-individu tertentu, tetapi kepada khalayak umum. Keputusan tentang hari libur nasional dan cuti bersama seperi disebukan di atas adalah salah satu contohnya.
Keputusan dalam arti sempit itu berbeda dengan peraturan yang sasaran (subjek) normanya bersifat umum (general) dan objek normanya bersifat abstrak serta berlaku terus-menerus (dauerhaftig). Di sini lalu dikenal ada pembedaan lagi, yakni peraturan yang disebut peraturan perundang-undangan (wetgeving regel) dan peraturan kebijakan (beleidsregel). Seorang menteri, misalnya, dapat mengeluarkan peraturan menteri tentang tata cara pendaftaran merek terkenal. Peraturan seperti itu berlaku umum dan menjangkau perbuatan yang tidak sekali selesai, dalam arti dapat dipakai terus-menerus oleh siapapun yang ingin mendaftarkan suatu merek terkenal di Kementerian Hukum dan HAM. Apabila sang menteri menemukan ada persoalan di lapangan yang belum secara persis diatur di dalam peraturan perundang-undangan, sementara sebagai pejabat ia diberi kewenangan untuk menyelesaikan permasalahan itu, maka menteri tadi dapat mengeluarkan peraturan kebijakan yang ditujukan kepada umum. Kebijakan atau beleid tersebut dibuat atas kewenangan diskresioner yang dimilikinya selaku pejabat eksekutif. Dari sini terlihat bahwa kemunculan suatu peraturan kebijakan harus dimotivasi oleh kebutuhan untuk mengisi “ketidakmampuan sementara” peraturan perundang-undangan. Analoginya seperti seorang polisi lalu lintas yang harus turun langsung mengatur lalu lintas dengan gerakan tangannya karena lampu lalu lintas ternyata tidak bisa lagi mengatasi kendaraan-kendaraan yang saling berebut jalan dan saling mengunci di perempatan.
Pembedaan antara peraturan dan keputusan ini juga dapat diterapkan di luar lingkungan institusi pemerintahan, misalnya di perusahaan-perusahaan swasta. Adakalanya perusahaan harus mengeluarkan peraturan perusahaan, tetapi sering juga mengeluarkan keputusan direksi. Di lingkungan perguruan tinggi, ada jenjang peraturan seperti statuta, peraturan badan penyelenggara, peraturan universitas, peraturan rektor, peraturan fakultas, dan peraturan dekan. Sayangnya, peraturan-peraturan ini kerapkali dirancukan dengan keputusan, seperti keputusan rektor, keputusan dekan, bahkan kerap diberi nomenklatur sebagai SK rektor atau SK dekan. Padahal, dilihat dari isinya, keputusan itu bersifat mengatur dan berlaku umum serta terus-menerus.
Lalu, apakah yang dimaksud dengan keputusan bersama? Bolehkah kemudian juga ada peraturan yang disebut peraturan bersama? Ternyata di Indonesia baik istilah “keputusan bersama” maupun “peraturan bersama” sama-sama dikenal. Contoh keputusan bersama adalah keputusan tiga menteri seperti dicontohkan di atas. Contoh untuk peraturan bersama adalah peraturan bersama kepala desa. Idealnya dalam suatu organisasi, keputusan yang bersifat lintas-area kewenangan, harus diambil alih oleh pejabat di atasnya. Keputusan tiga menteri yang berbeda kewenangannya, seharusnya diambil alih oleh atasan mereka, sehingga lahirlah keputusan presiden. Hal ini agak berbeda dengan peraturan bersama kepala desa, karena pejabat di atas kepala desa adalah camat, namun tidak dikenal ada peraturan yang diproduksi di tingkat kecamatan (kendati di dalam praktik bisa saja ditemukan ada camat memproduksi peraturan). Artinya, keberadaan suatu keputusan bersama dan peraturan bersama dimungkinkan keberadaannya sepanjang tidak ada pejabat dan/atau instansi langsung yang kewenangannya mencakupi mereka.
“Kebingungan” tentang peraturan dan keputusan ini sebenarnya tidak dimonopoli orang awam. Hal ini misalnya terjadi pada tahun 2009, tatkala Ketua Mahkamah Agung dan Ketua Komisi Yudisial mengeluarkan keputusan bersama tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim. Di sini digunakan istilah “keputusan” namun ternyata ditafsirkan sebagai peraturan oleh Mahkamah Agung. Buktinya, keputusan bersama itu diterima sebagai objek pengujian peraturan oleh Mahkamah Agung melalui putusannya Nomor 36P/HUM/2011. Beberapa ahli hukum, seperti mantan hakim agung Prof. Laica Marzuki berpendapat bahwa keputusan bersama itu tidak bisa diujimaterialkan ke Mahkamah Agung karena bukan peraturan perundang-undangan, melainkan peraturan kebijakan. Lebih menarik lagi, keputusan bersama itu kemudian diatur lebih lanjut dengan suatu peraturan bersama tahun 2012 antara Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial tentang Panduan Penegakan Kode Etika dan Pedoman Perilaku Hakim. Lebih unik lagi, dalam peraturan bersama tersebut keterangan tentang Putusan Mahkamah Agung Nomor 36P/HUM/2011 itu juga dicantumkan dalam dasar “mengingat”. Tidak jelas sejak kapan putusan pengadilan, terlepas putusan itu bersifat ergo omnes karena terkait pengujian peraturan, bisa dimasukkan sebagai dasar hukum “mengingat” di dalam perancangan peraturan.
Bagi para pembelajar ilmu hukum, ada beban untuk mencegah agar virus “kebingungan” ini tidak makin tersebar ke mana-mana. Beban ini makin berat karena saat ini berbagai institusi seperti badan dan lembaga negara, juga komisi-komisi negara, ikut mengeluarkan peraturan. Secara yuridis normatif, keberadaan mereka diakomodasi di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Namun, secara hierarkis belum ada pemetaan resmi di mana posisi peraturan-peraturan itu di dalam khazanah peraturan perundang-undangan Indonesia. (***)