People Innovation Excellence

POTENSI TINDAK PIDANA MEGA PROYEK MEIKARTA

 Oleh AHMAD SOFIAN (September 2017)

Belakangan ini muncul perdebatan hangat soal pembangunan mega proyek Meikarta. Perdebatan yang terjadi lebih banyak dilihat dari persfektif perizinan yang telah dikantongi oleh Lippo Group sebagai inisiator pembangunan kota impian yang kabarnya termegah, terindah dan terbesar di Asia Tenggara. Perdebatan mengenai izin Meikarta belum masuk pada arena hukum pidana, terutama hukum pidana bisnis. Tulisan ini akan mengulas permasalahan Meikarta dari perspektif hukum pidana bisnis.

Dalam banyak laporan yang dirilis media, PT. Lippo Cikarang Tbk. telah memiliki izin untuk membangun perumahan seluas lebih kurang 84 Ha. Meikarta sendiri sebagai sebuah kota yang didalamnya bukan saja terdiri atas perumahan, tetapi juga rumah sakit, perkantoran, universitas, sekolah dan pertokoha serta fasilitas lainnya sebagaimana laiknya sebuah kota, mengklaim akan mendirikan berbagai fasilitas di atas pada lahan lebih kurang 500 Ha. Demikian iklan-iklan yang bisa disaksikan pada berbagai media cetak dan elektronik.

Dalam perspektif hukum pidana, Lippo Group yang membangun mega proyek Meikarta, di Cakarang, Kabupaten Bekasi berpotensi melanggar doktrin dan tiga undang-undang. Pernyataan di atas sesuai dengan yang disampaikan dalam sebuah Seminar yang diadakan oleh KJI (Kolegium Jurist Indonesia), Fakultas Hukum Universitas Tarumanegara, 22 September lalu. Adapun rincian penjelasan pelanggaran doktrin dan undang-undang akan dijelaskan pada bagian selanjutnya.

Doktrin Fraudulent Mispresentation

Dalam hukum pidana, tidak hanya undang-undang dan putusan pengadilan (yurisprudensi) yang menjadi sumber, doktrin acap kali dijadikan sumber hukum pidana. Oleh sebab itu menarik jika perbuatan yang dilakukan oleh Lippo Group untuk pembanguan Meikarta dianalisis dengan salah satu doktrin hukum pidana yaitu doktrin Fraudulent Mispresentation. Doktrin di atas sering dimaknai dengan “suatu pebuatan atau rangkaian perbuatan yang sengaja dilakukan untuk  menyampaikan fakta-fakta materiil yang benar kepada pihak lain namun fakta-fakta materiil yang benar tersebut tidak disampaikan oleh pelaku”. Dalam konteks kasus Meikarta pelaku tidak meyampaikan kebenaran yang utuh atas fakta-fakta yang seharusnya disampaikan, bahkan dengan sengaja cenderung menutupinya. Akibat dari perbuatan menutup-nutupi, dalam jangka pendek maupun jangka panjang mungkin saja atau berpotensi akan terjadi kerugian yang dialami oleh pihak yang seharusnya menerima informasi yang benar.  Doktrin Fraudulent Mispresention banyak digunakan dalam hukum kontrak dan juga dalam hukum perlindungan konsumen, namun dalam perkembangan selanjutnya doktrin Fraudulent Mispresention juga digunakan dalam hukum pidana terutama ketika dikaitkan dengan perbuatan curang (fraud).

Perbuatan curang tidak saja dikategorikan sebagai pelanggaran etika bisnis, tetapi sebenarnya sudah masuk dalam ranah delik pidana. Dalam banyak literatur, fraud dikenal dengan kejahatan dengan penipuan. Pada  beberapa hal fraud dilakukan untuk mendapatkan uang atau barang dengan cara melawan hukum. Namun sebuah organisasi internasional anti penipuan yaitu Association of Certified Fraud Examiner (ACFE) mendefinisikan fraud sebagai tindakan tidak sah yang ditandai dengan tindakan tidak jujur untuk penggelapan atau pelanggaran  akan kepercayaan. Fraud dapat dilakukan secara perorangan  atau badan usaha atau korporasi dengan tujuan mendapatkan uang, property atau keuntungan bisnis lainnya.  Sementara itu Institute of Internal Auditors (IIA) mendefinisikan  fraud sebagai segala tindakan ilegal dan disengaja yang ditandai dengan  penipuan, dimana individu tersebut mengetahui kesalahan atau meyakini kesalahan disajikannya.

Dari definisi di atas jelas bahwa delik fraud mengandung unsur-unsur penipuan, yang dalam konteks hukum pidana diatur dalam Pasal 378 KUHP. Pasal 378 KUHP memiliki tiga jenis perbuatan yang dilarang yaitu: (1) menggunakan nama palsu atau martabat palsu, atau  (2) menggerakan orang lain dengan tipu muslihat agar orang tersebut menyerahkan barangnya, atau (3) menggerakan orang lain dengan rangkaian untuk menyerahkan hutang atau menghapuskan piutang. Dari tiga jenis perbuatan yang dirumuskan KUH Pidana, Mahkamah Agung melalui putusan Nomor 1601.K/Pid/1990 menyatakan bahwa unsur utama yang menentukan dalam delik penipuan adalah unsur’ cara yang dilakukan pelaku’, yaitu fakta yang disampaikan pelaku atau fakta yang tidak benar. Ketika unsur ketidakbenaran (kebohongan) terpenuhi maka unsur lain baru bisa dibuktikan, dan ketika unsur tersebut tidak terpenuhi maka unsur lain tidak perlu dibuktikan.

Pelanggaran pada Tiga Undang-Undang Lainnya

Aspek undang-undang yang juga berpotensi dilanggar oleh Lippor Group dalam mega proyek Meikarta adalah (1) Undang-Undang No. 20 Tahun2011 tentang Rumah Susun (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan (3) Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Perumahan dan Pemukiman.  Ketiga undang-undang di atas berpotensi dilanggar meski harus bisa dibuktikan apakah unsur-unsur delik dari tiga undang-undang di atas dipenuhi atau tidak. Oleh sebab itu, menjadi penting untuk diuji di pengadilan. Meski dalam konteks tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi (apalagi korporasi perumahan), jarang sekali ada putusan pengadilan yang meyatakan bahwa korporasi perumahan telah terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar undang-undang yang disebutkan di atas.  Namun demikian alangkah baiknya jika satu per satu dari undang-undang di atas dikaji secara singkat.

Undang-undang No. 20 Tahun 2011  tentang Rumah Susun mengkategorikan beberapa perbuatan pidana yang berpotensi bisa dilakukan oleh pengembang. Beberapa kategori delik yang bisa dilakukan pengembang adalah pelanggaran perizinan sebagaimana diatur dalam Pasal 107,108. Kemudian mengingkari kewajiban menyediakan lahan minimal 20% (Pasal 109), Pelanggaran PPJB yang tidak sesuai dengan yang dipasarkan (Pasal 110), serta larangan untuk pembangunan perumahan di luar lokasi yang ditentukan (Pasal 112).  Sanksi atas pelanggaran keempat delik di atas berupa sanksi administrasi, peringatan tertulis hingga pencabutan izin usaha, termasuk juga didalamnya perintah pembongkaran bangunan rumah susun yang telah dibangun. Sanksi lain yang dapat diberikan kepada pengembang menurut undang-undang rumah susun adalah sanksi denda dan penjara.

Potensi undang-undang lain yang dapat dilakukan oleh perusahaan yang membangun Meikarta adalah Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dalam konteks ini, setiap pengembang diharuskan memiliki izin lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 109. Jika izin lingkungan (termasuk di dalamnya AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan)) tidak dilengkapi, maka dapat dikenakan pidana penjara atau denda. Selain soal izin lingkungan, perusahaan pengembang yang melakukan pembangunan juga dilarang untuk mencemarkan dan merusak lingkungan atau dilampauinya baku mutu lingkungan sebagaimana diatur dalam Pasal 98-101, demikian juga pengembang dilarang melakukan pembuangan dan pengelolaan limbah berbahaya atau beracuan (Pasal 102-107).

Selanjutnya undang-undang yang berpotensi dilanggar adalah Undang-undang No. 1 Tahun 2011 tentang Kawasan Perumahan dan Pemukiman. Dalam Pasal 139 diatur bahwa setiap orang dilarang membangun perumahan dan/atau pemukiman di luar wilayah yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan pemukiman. Sanksi atau pelanggaran atas Pasal 139 diatur dalam Pasal 156 yang isinya setiap orang yang dengan sengaja  membangun perumahan dan/atau permukiman  di luar kawasan yang khusus diperuntukkan bagi perumahan dan pemukiman, dipidana dengan pidana penjaran paling lama 2 (dua) tahun atau denda paling banyak Rp. 2 Milyar.

Penutup

Dengan melihat dari ulasan di atas, dapat disimpulkan bahwa PT. Lippo Cikarang Tbk. yang melakukan pembangunan Meikarta bukan saja sebagai hunian pemukiman/perumahan tetapi sebagai sebuah kota baru. Oleh sebab itu, tindakan pelanggaran yang dilakukan berpotensi untuk melanggar doktrin dan tiga undang-undang (sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya), jika secara materiil perbuatan tersebut memenuhi unsur-unsur yang ada di dalam doktrin fraudulent misrepresentation. Selain itu, secara hukum sektoral berpotensi memenuhi unsur-unsur yang ada di dalam undang-undang rumah susun, undang-undang kawasan perumahan dan pemukiman, dan undang-undang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur pada undang-undang di atas, sangat bergantung pada penilaian pengadilan (jika masalah Meikarta dibawa ke pengadilan). Jika persoalan Meikarta tidak dibawa ke ranah hukum, maka dapat juga dilakukan eksaminasi publik untuk menguji dan menilai terpenuhi atau tidaknya unsur-unsur delik. Sebagai informasi, eksaminasi publik bisa saja dilakukan oleh perguruan tinggi atau organisasi masyarakar sipil. Dengan demikian, masalah Meikarta memang benar-benar menjadi perdebatan dalam perspektif hukum.


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close