People Innovation Excellence

POSITIVISASI HUKUM ISLAM KE DALAM SISTEM HUKUM NASIONAL



“Saat ini posisi hukum Islam di dalam sistem hukum nasional kita masih belum jelas benar. Jika mengacu pada teori pluralisme hukum, keberadaan pluralisme hukum dalam sistem hukum Indonesia juga terkadang kuat, tapi terkadang juga lemah,” demikian paparan Shidarta, Ketua Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS tatkala tampil menjadi pembicara dalam studium generale pembukaan semester untuk mahasiswa magister hukum di Fakultas Syariah dan Hukum  Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. Studium generale yang mengambil tempat di Kampus UIN Ciputat itu berlangsung pada tanggal 27 September 2017, dibuka oleh Dekan FSH  Dr. Asep Saepudin Jahar, M.A. didampingi oleh Ketua Prodi Magister (S-2) Hukum Ekonomi Syariah Dr. Nurhasanah, M.Ag. Dalam acara ini juga tampil pembicara kedua yang membahas perkembangan ekonomi syariah di Indonesia, yaitu Dr. Achmad Wangsawijaya, S.H., M.H.

Shidarta menyatakan bahwa selama ini model penetrasi hukum Islam masih menggunakan dua pola. Ada hukum Islam yang secara implisit dimasukkan substansinya, tanpa harus dicanangkan ke publik bahwa aturan itu adalah hukum Islam, misalnya yang terjadi dalam ranah hukum perkawinan. Ada pola lain yang secara eksplisit disebutkan sebagai hukum Islam, misalnya dalam lapangan ekonomi syariah.

Sejak era sebelum kemerdekaan, pemberlakukan hukum Islam sesungguhnya sudah dijalankan. Hal ini terlihat dari eksistensi pengadilan agama Islam untuk mengadili sengketa-sengketa di lapangan hukum perdata. Kebijakan ini terus dipertahankan dan dikukuhkan setelah Indonesia merdeka. Apabila terjadi sengketa, maka pengadilan dalam lingkungan peradilan agama diberikan kewenangan untuk menyelesaikannya. Dalam hal sengketa terjadi dalam hukum keluarga, seperti perceraian, maka kewenangan ini berangkat dari subjek-subjek yang memang beragama Islam. Artinya, kewenangan itu lebih bersifat subjektif (bergantung siapa subjek yang terlibat), sementara untuk sengketa di ranah ekonomi syariah tampaknya faktor subjektif ini sudah dilampaui. Dengan demikian, pengadilan agama tetap memiliki kewenangan absolut, sekalipun pihak yang terikat akad tidak semuanya beragama Islam. Hal ini dipertegas pula dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PUU-X/2012 berkenaan dengan pengujian atas Pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah.

Kondisi yang digambarkan dalam Pasal 55 Undang-Undang Perbankan Syariah ini, menurut Shidarta, merepresentasikan politik hukum saat ini terkait pemosisian hukum Islam dalam konstelasi sistem hukum nasional. Pada saat UU Nomor 21 Tahun 2008 ini ditetapkan, para pembentuk undang-undang, mungkin terbawa dari alam bawah sadar mereka, untuk tetap menempatkan hukum Islam sebagai subordinat dari hukum negara (hukum nasional). Jika memakai skema John Griffiths, skema ini disebut sebagai weak legal pluralism.

Peradilan agama masih dipandang sebagai lingkungan khusus untuk mengadili perkara-perkara yang berkenaan dengan internal orang Islam. Itupun sebagian besar masih terfokus pada permohonan penetapan dan putusan sengketa-sengketa di dalam hukum keluarga. Ketika sengketa perbankan syariah dimasukkan ke dalam kewenangan absolut peradilan agama itu, para pihak ternyata masih diberi kemungkinan memilih forum penyelesaian sengketanya di lingkungan peradilan umum. Dalam hal ini tentunya pengadilan negeri. Ini bisa dilakukan apabila akad para pihak menghendaki demikian. Kendati ada pilihan forum (choice of forum) di pengadilan negeri, misalnya, tetap pilihan hukum (choice of law) adalah hukum Islam, dalam hal ini berdasarkan prinsip-prisinp syariah. Mahkamah Konstitusi menganulir pemikiran ini, sehingga Penjelasan Pasal 55 ini dinyatakan tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat secara normatif.

Achmad Wangsawijaya yang tampil sebagai pembicara kedua dalam studium generale ini mengakui ada kekeliruan saat perumusan Pasal 55 tersebut. Sebagai orang yang ikut terlibat langsung menyusun draf undang-undang ini sebelum diserahkan ke DPR RI waktu itu, ia memandang putusan MK ini sebenarnya sudah meluruskan, tetapi sayangnya “kebablasan”. Menurut beliau, seharusnya tidak seluruh Penjelasan Pasal 55 ayat (2), melainkan cukup huruf d dari penjelasan itu saja. “Kalau seluruh penjelasan ayat (2) yang dihapus, berarti langkah musyawarah pun dihilangkan,” ujar Achmad Wangsawijaya. (***)

 


Published at : Updated
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close