MENGKRITISI PERKARA PENCEMARAN NAMA BAIK IBU NEGARA
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (September 2017)
Kepolisian menangkap pemilik akun sosial media Instragram @warga_biasa yang memuat gambar dan kata-kata yang menghina ibu Negara Iriana Joko Widodo. Salah satu yang diunggah dari akun tersebut adalah gambar Ibu Iriana Joko Widodo menggunakan kerudung dengan ditambahkan kata-kata “ini ibu seperti PELACUR pakai jilbab hanya menutupi aib (Bukan Karena Iman)” kemudian terdapat kata-kata tambahan “COMING SOON 2019”. Gambar dan tulisan tersebut diunggah pada bulan September 2017. Memang perkara ini masih dalam proses penyidikan namun terdapat beberapa hal yang menarik dalam perkara ini.
Pertama, dari kata-kata yang disampaikan dalam gambar yang diunggah tersebut dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pencemaran nama baik yang diatur dalam Pasal 27 ayat (3) Jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016. Delik ini merupakan delik aduan sebagaimana dinyatakan dalam Penjelasan Pasal 45 ayat (5) undang-undang tersebut, artinya proses penindakan atas pelanggaran pasal tersebut baru dapat dilakukan setelah adanya laporan dari Ibu Iriana Joko Widodo sebagai korban. Akan tetapi sampai saat ini belum ada laporan polisi tersebut.
Kedua, dalam beberapa pemberitaan perbuatan tersangka, dodik Ikhwanto, dikategorikan sebagai perbuatan ujaran kebencian. Kedua perbuatan tersebut berbeda jenis dan pengaturannya. Tindak pidana ujaran kebencian di sosial media diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Jo. Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 dan bukan merupakan delik aduan melainkan delik laporan. Akan tetapi dalam praktek hal tersebut menjadi rancu, terutama sejak dikeluarkannya Surat Edaran Kepala Kepolisian Republik Indonesia No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) yang menempatkan tindak pidana pencemaran nama baik sebagai bagian dari ujaran kebencian.
Terkait dengan kedua hal tersebut, penyidik tidak dapat memproses perkara ini ke pengadilan hanya berdasarkan pada gambar dan kata-kata tersebut. Penyidik harus menemukan konten lain yang memuat gambar atau kata-kata yang menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) yang diunggah oleh tersangka. Apabila memang ada konten tersebut dan dapat dibuktikan melalui bukti permulaan yang cukup maka penyidik pun hanya bisa mengenakan tersangka dengan Pasal 28 ayat (2) Jo. Pasal 45 A ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016.
Hal lain yang menjadi catatan ialah tersangka menyatakan bahwa tujuan dari pengunggah gambar dan tulisan tersebut karena tersangka tidak senang dengan pemerintahan Presiden Joko Widodo. Meskipun demikian penyidik masih melakukan penyidikan atas perkara ini termasuk apakah tersangka memiliki kaitan dengan kelompok tertentu yang memproduksi konten-konten ujaran kebencian. Memang sosial media sekarang dipergunakan sebagai media untuk melakukan propaganda yang memuat pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang bertujuan untuk membuat ketidaksengangan terhadap individu, pemerintah mau pun kelompok tertentu, terutama menjelang pemilihan umum. Propaganda tersebut dilakukan oleh kelompok tertentu yang terorganisir. Apabila perbuatan tersangka masuk dalam hal ini maka hendaknya pidana yang dijatuhkan lebih berat ketimbang perbuatan pencemaran nama baik dan ujaran kebencian yang dilakukan untuk menyampaikan kebebasan berekpresi yang “keblabasan” yang dilakukan oleh individu. (***)
Published at :