JALAN TERANG KONTRAK FREEPORT DI INDONESIA
Oleh REZA ZAKI (September 2017)
Jalan negosiasi kontrak Freeport di Indonesia ini tidak ditempuh dengan jalur mudah. Ada perjalanan yang sangat panjang dari proses rezim kontrak kaya lintas zaman ini. Pintu masuk Freeport ke Indonesia cukup berliku. Diawali dari situasi ekonomi Indonesia yang cukup parah saat itu hingga inflasi yang tak mampu dibendung mengakibatkan ekonomi Indonesia porak poranda. Soeharto yang ketika itu baru saja menjadi Presiden ke-2 RI setelah Soekarno jatuh, langsung menyusun sejumlah regulasi untuk membuka keran masuknya modal asing ke Indonesia. Sumber Daya Alam (SDA) merupakan opsi paling strategis yang mendapatkan karpet merah untuk di kapitalisasi di rezim Soeharto.
Memang liberalisasi Sumber Daya Alam (SDA) pada era itu merupakan penanaman modal asing yang paling liquid dimana Indonesia masih belum mengeksploitasi potensi alamnya dikarenakan minimnya tenaga ahli termasuk tekhnologi. Walaupun pemerintah Soeharto saat itu terkesan liberal saat membuka keran investasi asing pada tahun 1967 (masa awal) termasuk memberikan tax heaven kepada para investor sehingga dianggap menjadi insentif yang menggiurkan bagi para pemodal asing, namun pasca 1967, pemerintah Soeharto mulai menerapkan kebijakan yang restriktif dan protektif terhadap para penanam modal asing walaupun sudah terlambat dikarenakan pemerintah ikut ke dalam pola rezim kontrak karya di mana posisi dari kedua belah pihak yang berkontrak adalah sama kedudukannya. Proses negosiasi pun sering kali menemukan kebuntuan dikarenakan periode kontrak yang sudah disepakati dalam kurun waktu yang sangat panjang ke depan. Di dalam kontrak karya, pemerintah memberikan hak sekaligus (conjunctive title) kepada kontraktor untuk melaksanakan secara sekaligus usahanya yang mencakup tahap kegiatan survei/eksplorasi sampai dengan eksploitasi, pengolahan, dan pemasaran secara berkelanjutan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 2 Kontrak Karya Generasi VII.
Negara dan Korporasi
Biasanya kontrak-kontrak komersial yang ditandatangani antara negara dengan perusahaan asing menyangkut sejumlah dana yang cukup substansial besarnya dan atau berjangka waktu yang relatif lama. Bermann (1981) membagi kontrak ke dalam dua bentuk yakni kontrak pembangunan ekonomi (Economic Development Agreements) dan kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah (Agreement on Government Procurement). Contoh kontrak pembangunan ekonomi adalah di bidang pemanfaatan sumber daya alam misalnya kontrak konsesi, kontrak pembangunan ekonomi, atau kontrak pinjaman keuangan. Meminjam istilah Huala Adolf (2010), negara dalam hal ini menjalankan peran baik sebagai suatu Negara yang berdaulat (jure imperii) maupun negara melakukan tindakan-tindakan komersial (jure gestiones).
Dalam hal negosiasi kontrak Freeport yang berlangsung sangat alot ini telah menemukan jalan terangnya untuk berbagi divestasi saham setelah 50 tahun lamanya sebesar 51 % kepada pemerintah Indonesia dimana waktu perpanjangan terbagi atas 2 tahap yakni pertama 2031 dan kedua 2041. Freeport juga akan beralih ke Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) serta membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) selama lima tahun atau paling akhir pada Oktober 2022. Jika merunut perjalanan negosiasi kontrak, pada tahun 2015, muncul wacana perpanjangan Kontrak Karya Freeport dan muncul skandal Papa Minta Saham. Pada 20 Februari 2017, CEO Freeport McMoRan mengancam akan mengajukan gugatan ke arbitrase. Sementara itu, pada 23 Februari 2017, 3 hari setelah ancaman dari Freeport, Presiden Joko Widodo balik mengancam akan bertindak jika Freeport tidak mau berunding. Dan pada 28 Agustus 2017, CEO Freeport menyatakan bahwa Freeport McMoRan sepakat melepas 51 % saham dalam lima tahun ke depan.
Bulan Madu Indonesia dan Freeport
Bulan madu Freeport dan Indonesia dibuktikan dengan kabar baik pelepasan divestasi saham sebesar 51 % oleh Freeport kepada pemerintah Indonesia yang harus direspon secara cepat pula. Terdapat 3 komponen kunci dalam kebijkan divestasi saham pertambangan. Pertama, berapa besar jumlah divestasi. Kedua, siapa yang bisa membeli saham divestasi. Ketiga, berapa harga penjualan saham divestasi.. Aturan divestasi pertama kali disebutkan di dalam Undang-Undang (UU) No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Baturaba (Minerba) dan diikuti oleh beberapa peraturan pelaksana. Tidak kurang, 4 peraturan pelaksana telah dikeluarkan pemerintah untuk mengawal kebijakan divestasi yang diatur dalam UU Minerba antara lain Pasal 97 Peraturan Pemerintah (PP) No.23 Tahun 2010; Pasal 97 PP No.77 Tahun 2014; PP No.1 Tahun 2017; dan Permen ESDM No.9 Tahun 2017.
Elemen pertama menentukan berapa proporsi saham yang harus didivestasikan oleh perusahaan tambang asing dan di tahun keberapa mereka harus mulai melakukan divestasi. Aturan divestasi mengharuskan setiap perusahaan tambang milik asing melakukan divestasi suatu porsi saham yang meningkat kepada pemerintah, BUMN atau swasta nasional. Jumlahnya bergantung pada lamanya perusahaan telah berproduksi. Unsur yang kedua, aturan divestasi menentukan siapa yang dapat membeli saham divestasi. Sebelum Permen ESDM No.9 Tahun 2017 tentang Tata Cara Divestasi Saham dan Mekanisme Penetapan Harga Saham Divestasi Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Minerba yang dikeluarkan Pemerintah, aturan divestasi memiliki tiga tingkatan pembeli potensial. Terbitnya Permen ESDM No. 9 Tahun 2017 menambah opsi berikutnya, yakni ada potensi untuk menawarkan saham di Bursa Efek Indonesia. Unsur ketiga, aturan menentukan harga saham ketika dijual. Harga saham yang ditawarkan kepada Pemerintah ditentukan lewat negosiasi. Proses penaksiran nilai akan menetapkan batas atas untuk harga ini. Harga saham yang ditawarkan kepada BUMN atau swasta nasional dihargai melalui lelang. Dalam kasus-kasus ini, penaksiran menjadi harga cadangan lelang, yaitu, harga minimum di mana saham dapat dijual.
Pemerintah dalam kondisi seperti ini harus sesegera mungkin menunjuk BUMN atau BUMD mana yang memiliki kompetensi untuk dapat merealisasikan divestasi saham Freeport sebesar 51 % ini. Di samping itu, pemerintah juga harus secara konsisten untuk dapat mengoptimalkan peran negara dalam menciptakan kesejahteraan kepada warga Papua khususnya dari hasil renegosiasi kontrak ini. Keterlibatan masyarakat adat setempat juga harus menjadi perhatian pemerintah agar tidak menimbulkan ketimpangan serius antara Freeport, pemerintah, dan warga lokal. (***)
Published at :