KASUS FOSS V. HARBOTTLE (1843) DALAM MELINDUNGI PEMEGANG SAHAM MINORITAS
Oleh AGUS RIYANTO (September 2017)
Kasus Foss v. Harbottle (1843) 67 ER 189 di Inggris mungkin saja tidak dikenal di Indonesia. Tetapi di Inggris, kasus Foss v. Harbottle (1843) sangat dikenal karena putusan kasus tersebut sangat fenomenal dan bersejarah, sehingga kasus Foss v. Harbottle disebut sebagai landmark decision). Salah satu yang bisa dijadikan pelajaran dari kasus Foss v. Harbottle adalah putusannya yang menjadi dasar untuk mengatur dan melindungi hak pemegang saham (shareholders rights) yang berlaku tidak hanya di Inggris, tetapi juga berlaku di negara-negara jajahan Inggris (leading English precedent).
Kasus Foss v. Harbottle bermula dari gugatan Richard Foss dan Edward Starkie Tuton (sebagai pemegang saham minoritas) terhadap Direktur Victoria Park Company (VPC), Thomas Harbottle, Joseph Adshead, Henry Byrom, John Westhead dan Richard Bealey. Gugatan yang diajukan Foss dan Tuton didasarkan pada alasan penyalahgunaan penggunaan aset perusahaan yang dilakukan oleh Direksi VPC. Tindakan yang dilakuan oleh Direksi VPC pada waktu itu adalah membeli tanah seluas 180 meter (0.73 km2) di Machester, Inggris, dengan harga yang terlalu tinggi dan Direksi VPC juga telah menggadaikan properti (hipotek) milik perusahaan dengan cara tidak benar. Berangkat dari alasan di atas maka Direksi VPC harus dapat mempertanggung-jawabkan penyalahgunaan penggunaan asset perusahaan VPC
Dalam gugatannya Foss memiliki maksud untuk mengamankan harta kekayaan VPC, namun dalam keputusan Court of Chancery, Victoria Park, Manchester, Inggris dinyatakan bahwa
in any action in which a wrong is alleged to have been done to a company, the proper claimant is the company itself. This is known as “the rule in Foss v Harbottle”, and the several important exceptions that have been developed are often described as “exceptions to the rule in Foss v Harbottle”.
Putusan pengadilan Chancery secara umum mengatakan: dalam hal terjadinya kesalahan atau kecurangan perusahaan, maka yang berhak menggugat adalah perusahan itu sendiri dan pemegang saham. Hakim pengadilan Chancery pada waktu itu berpendapat bahwa bahwa perusahaan adalah subyek hukum terpisah (separate legal entity), yang mana sebagai subjek hukum memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan manusia. Oleh sebab itu, Foss tidak berhak untuk mengajukan gugatan kepada VPC. Putusan di atas tentunya suatu bentuk ketidakadilan, yang di sisi lain menguntungkan Direksi, karena hanya Direksi yang sesungguhnya yang berhak mewakili perusahaan untuk menggugat perusahaan. Namun dalam perkembangannya, ada beberapa pengecualian terhadap kasus Rule Foss v Harbottle. Pengecualiannya antara lain:
Pertama tentang ultra vires, dimana pemegang saham dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan dalam hal terjadinya tindakan Direksi atau pemegang saham mayoritas yang melampaui batas kewenangannya atau ultra vires.
Kedua, tentang special majority, yaitu dalam hal perusahaan mengeluarkan persyaratan khusus (special majority) tentang perhitungan suara RUPS untuk tujuan mendapatkan persetujuan pemegang saham. Jika agenda atau usulan dalam RUPS yang mengandung unsur perbuatan jahat atau ketidakberesan terhadap laporan keuangan, maka pemegang saham dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Ketiga, tentang personal rights, yaitu dalam hal terjadi pelanggaran perusahaan terhadap pemegang saham terhadap sahamnya atau kontrak yang ditandatangani, maka pemegang saham dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan.
Keempat, tentang frauds on the minority, yaitu pemegang saham minoritas berhak mengajukan gugatan ke Pengadilan jika pemegang saham mayoritas melakukan kecurangan terhadap pemegang saham minoritas. Termasuk di dalam juga apabila terdapat tindakan kebohongan, diskriminasi, ketidakjujuran dan ketidakadilan terhadap pemegang saham minoritas.
Kelima, tentang derivative action, yaitu setiap pemegang saham berhak mengajukan gugatan derivatif terhadap Direksi atau pemegang saham mayoritas dalam hal adanya pelanggaran fiduciary duty, kesalahan dalam mengelola perusahaan, kelalaian dan kesalahan serius lainnya.
Meski pada awalnya terjadi kekhawatiran terhadap putusan Foss v. Harbottle (1843) yang merefleksikan kerugian bagi pemegang saham minoritas, namun putusannya tidak berhenti sampai di situ, karena didalamnya terdapat lima pengecualian yang mempertegas ruang lingkup kewenangan bagi direksi dan pemegang saham mayoritas terhadap pemegang saham minoritas. Dengan kejelasan lima pengecualian di atas dan disertai dengan adanya putusan pengadilan, maka keraguan terhadap pengadilan yang tidak adil tidak terjadi. Kasus Foss v Harbottle seharusnya menjadi pelajaran bagi pengadilan di Indonesia untuk berpihak kepada pemegang saham minoritas, sehingga tidak sebatas pada kata-kata regulasi yang kabur dan tidak lengkap. Semoga pengadilan Indonesia bisa mengambil pelajaran baik dari kasus Foss v. Harbottle dalam melindungi pemegang saham minoritas.
REFERENSI :
- Paul Redmond, Companies and Securities, Commentary and Materials, The Law Book Company Limited, Sydney, Australia, 1992.
- Philip Lipton and Abe Herzberg, Understanding Company Law, LBC Information Services, Sydney, Australia, 2000.