PERAN KOMUNITAS INTELEKTUAL ALA VON SAVIGNY
Oleh SHIDARTA (September 2017)
Friedrich Karl von Savigny (1779–1861), seorang ahli hukum Jerman mengatakan bahwa hukum tidak perlu dibuat karena hukum tumbuh bersama masyarakat. Artinya, hukum bukanlah suatu produk by-design. Ia tumbuh mengikuti proses yang berjalan secara diakronik. Hukum di mata Savigny tidak mengenal kata berhenti (cessation). Proses itu terus berjalan, sehingga hukum adalah produk budaya yang menyejarah. Sebab jika proses ini terhenti dan hukum menjadi momentary, maka hukum berpotensi untuk tercerabut dari akar sejarahnya. Ia menjadi produk politik, yakni produk yang by-design, sebagaimana layaknya pandangan kaum positivisme hukum.
Sekilas pandang, Savigny ingin mengatakan bahwa kemunculan hukum sepenuhnya bersifat empiris. Pandangan ini tidak salah, tetapi juga tidak sepenuhnya benar. Savigny meyakini bahwa hukum sebagai produk budaya akan mengangkat pengalaman-pengalaman berhukum masyarakat itu ke tingkat yang lebih abstrak. Tingkatan ini bermukim di ranah alam bawa sadar masyarakat tersebut. Inilah spirit atau jiwa rakyat (Volksgeist). Ia merupakan ‘general spirit of community’. Konsep ini sebenarnya tidak orisinal dari Savigny karena ia mencomotnya dari filsuf Jerman yang hidup sezaman dengannya, yaitu Johann Gottfried von Herder (1744–1803).
Volksgeist ini menurut Savigny sangat berperan dalam tahap awal pembentukan hukum, yaitu ketika masyarakat masih hidup dalam kesederhanaan. Namun, ketika masyarakat sudah mulai kompleks, maka hukum juga ikut berubah kian artifisial dan kompleks, sehingga apa yang dipredikati sebagai Volksgeist itu juga makin mematangkan diri.
Jadi, hukum dalam perspektif Savigny tumbuh dari dua sumber ekstrem sekaligus. Pada satu sisi ada proses historis yang terus memproduksi hukum yang hidup (living law) sebagaimana secara kasat mata terlihat dari perilaku kehidupan bermasyarakat keseharian. Pada sisi lain ada juga falsafah berhukum yang ikut terbentuk sebagai hasil kristalisasi hukum yang hidup dan kemudian dipelihara menjadi “idealisme” kehidupan bermasyarakat. Sekali lagi, harus dicatat bahwa keduanya tidak lahir sebagai produk by-design. Keduanya tumbuh dengan sendirinya, tanpa rekayasa. Savigny juga percaya bahwa setiap rakyat (bangsa) tumbuh dalam ruang dan waktu yang membingkai kehidupan mereka secara berbeda-beda. Jadi, seharusnya tiap bangsa punya sejarah hukumnya sendiri-sendiri. Dengan demikian, pandangan Savigny sangat kontras dengan anggapan aliran hukum kodrat mengenai adanya hukum yang universal.
Tantangan terbesar di pundak Savigny dan peganut mazhab sejarah (historische Reschtsschule) terletak pada kesanggupan mereka untuk mempertahankan konsep jiwa rakyat ini. Kalaupun jiwa rakyat itu dikatakan tidak dirancang dengan sengaja, lalu apakah (ketika masyarakat sudah pada tahap kompleks) jiwa tersebut harus digali dan dirumuskan agar menjadi pegangan semua orang?
Pertanyaan di atas mirip dengan tantangan yang diajukan oleh dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat dalam sidang Dokuritsu Junbi Cosakai, yaitu jika Indonesia ingin merdeka (pada saat itu penduduk di Hindia Belanda diperkirakan sudah mencapai 60 juta jiwa), lalu apakah dasar negara Indonesia merdeka itu? Pertanyaan ini kemudian dijawab, antara lain oleh Soekarno pada tanggal 1 Juni 1945. Soekarno menyebut dasar negara itu adalah Pancasila. Soekarno tidak mengklaim sebagai pencipta Pancasila, tetapi sebagai penggalinya. Pancasila digali dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Ia tidak pernah menyebut kata Volksgeist, tetapi nilai-nilai yang hidup pada rakyat Indonesia itu sebenarnya identik dengan jiwa rakyat Indonesia.
Savigny pernah menerima tantangan yang sama. Ia diminta untuk dapat menyebutkan apa yang menjadi jiwa rakyat (Volksgeist) dari orang-orang yang menyebut diri mereka sebagai bangsa Jerman? Savigny berpendapat bahwa jika sejarah di sini dipahami sebagai sejarah hukum, maka yang harus ditelusuri ke belakang adalah sejarah profesi hukum itu sendiri. Dari mana sejarah profesi hukum di Jerman berasal? Di sini Savingny menemukan jawabannya pada hukum Romawi kuno. Hukum ini lalu berinteraksi dengan hukum-hukum lokal yang tumbuh sepanjang sejarah Jerman, membentuk sistem hukum Jerman pada masa itu.
Dengan dasar pijakan ini, Savigny menolak pikiran untuk membuat kodifikasi hukum dengan meniru kitab hukum yang berlaku di Prancis. Baginya jiwa rakyat dan sejarah bangsa Prancis tidak sama dengan jiwa rakyat dan sejarah bangsa Jerman. Pandangan ini mendapat sambutan luas tatkala itu, bahkan mampu menunda program kodifikasi hukum di Jerman selama sekitar setengah abad. Terlepas dari kenyataan bahwa Savigny di kemudian hari berbalik dengan ikut mendukung program legislasi di Jerman, ada satu aspek menarik dari romantisme berhukum yang ditawarkannya.
Savigny sangat percaya pada peran komunitas intelektual dalam mengawal perjalanan hukum. Sebab, pada komunitas inilah terdapat kemampuan mencermati elemen politis yang berkembang di masyarakat (khususnya pada kaum muda yang hidup dalam dinamika kontemporer) dan elemen teknis untuk memformulasikan budaya masyarakat itu menjadi hukum negara. Komunitas intelektual ini harus tahu apa itu hukum yang diinspirasi oleh jiwa rakyat dan hukum yang hidup dalam masyarakat kekinian.
Hanya saja, Savigny seperti lupa bahwa kaum intelektual sendiri tidak steril dari kepentingan-kepentingan politik, ekonomi, religi, dan sebagainya. “Pengkhianatan” kaum intelektual, termasuk oleh intelektual hukum, dalam menjalankan profesi luhur mereka, sudah tertoreh sebagai tinta hitam sejarah. Apa yang dilakukan oleh Meletus, Anytus, dan Lycon dalam pengadilan terhadap Socrates (399 SM) merupakan bukti sejarah tentang “pengkhianatan” itu. Penodaan atas profesi luhur hakim, jaksa, dan advokat adalah fenomena yang tidak kalah mengerikannya, bahkan untuk ukuran satu negara bernama Indonesia. Hal yang sama juga berlangsung dalam profesi akademik ketika ruang-ruang pengadilan kita mulai disesaki para ahli bersaksi, yang rela mengorbankan integritas keilmuannya untuk bayaran yang bisa dinegosiasikan.
Jadi, asumsi Savigny tentang komunitas intelektual ini merupakan ilusi juga di dalam sejarah. Marwah berhukum memang tidak dapat direpresentasikan pada figur-figur elit tertentu. Sebab, jika ini terjadi, kita akan mudah terjebak pada kesesatan bernalar yang disebut argumentum ad verecundiam. (***)