People Innovation Excellence

KOMUNITAS MORAL ALA KANT

Oleh SHIDARTA (September 2017)

Dalam epistemologi Kantianisme, dikenal ada tiga hierarki dalam proses perolehan pengetahuan manusia. Tulisan ini akan mendiskusikan ketiga tingkatan ini, dan kemudian akan dikaitkan dengan kerinduan kita pada suatu komunitas moral yang mampu menembus tingkatan terakhir dari proses epistemologis tersebut.

Tingkatan pertama yang akan kita bicarakan adalah tingkatan observasi (Sinneswahrnehmung). Di sini manusia memperoleh pengetahuan dengan mengandalkan sensasi indera yang dimiliknya. Pengetahuan aposteriori tersebut disimpan dalam bingkai ruang dan waktu. Pembingkaian ini menunjukkan bahwa sebenarnya kita (manusia) tidak dilahirkan dengan modal kosong melompong, karena ada bekal bawaan orok, yakni intuisi mengenai ruang-waktu. Hasil dari pengetahuan tingkat pertama ini adalah fenomena-fenomena, yaitu realitas yang dimasukkan ke dalam konteks ruang dan waktu itu tadi.

Kedua, tingkatan akal budi (Verstand). Di sini manusia sudah menggunakan kekuatan akal budinya untuk membentuk konsep-konsep yang saling berhubungan (proposisi). Di luar ide tentang ruang dan waktu, manusia sebenarnya memiliki ide-ide bawaan yang jauh lebih kompleks, yang oleh Kant disebut kategori (Kategorie). Kant membedakannya dalam 12 kategori. Semuanya adalah konsep-konsep pokok untuk membantu manusia membentuk pengetahuan (fungsi epistemologis). Makin dewasa, tentu makin kompleks konsep-konsep dan proposisi-proposisi ini terbentuk di benaknya.

Ketiga, tingkatan intelek (Vernunft). Dalam bahasa Inggris, kata Vernunft sering diterjemahkan menjadi reason (nalar), namun Lili Tjahjadi dalam bukunya “Hukum Moral” (1991) memakai kata budi atau intelek. Pada tingkatan inilah manusia menciptakan ide-ide, termasuk ide yang transendental. Ada tiga jenis ide transendental dalam pandangan Kant: (1) ide psikologis (pengetahuan tentang hakikat jiwa); (2) ide kosmologis (pengetahuan tentang hakikat alam semesta), dan (3) ide teologis (pengetahuan tentang hakikat Tuhan). Apakah jiwa manusia itu, dari unsur apa ia dibentuk, ke mana ia menghilang setelah manusia mati? Untuk apa alam semesta seluas ini diciptakan, kapan ia mulai dan kapan berakhir, di mana posisi manusia di dalam alam semesta yang maha-luas ini? Siapakah Tuhan, apakah Ia menjadi pencipta dari semua ini? …. Itu semua adalah contoh-contoh pertanyaan yang jawabannya hanya mungkin diperoleh melalui pergulatan ide transendental.

Jadi, dengan menggunakan observasi inderawi dan akal budi semata (tingkatan pertama dan kedua), mustahil kata Kant, kita bisa menjawab dengan pasti pertanyaan: “siapakah Tuhan?” Jawabannya bakal serba meragukan, mungkin ini dan mungkin itu! Bahkan, untuk pertanyaan: “siapakah saya?” juga akan diperoleh jawaban yang sama meragukannya. Jawaban-jawaban itu ada di dalam ide transendental kita sebagai mahluk yang dikarunia hingga tingkatan ketiga dalam kemampuan epistemologis. Jika Tuhan sulit dipahami hakikatnya, lalu dari mana kita bisa memastikan bahwa apa yang kita kerjakan adalah sesuatu yang sudah baik menurut Tuhan?

Menurut Kant, rasio praktis manusia yang bekerja pada tingkatan kedua sebenarnya relatif bisa membantu kita untuk memahami tentang benar dan salah, juga tentang baik dan buruk. Atas dasar inilah kaum Kantian menerima adanya moralitas universal sebagaimana diyakini penganut aliran hukum kodrat. Bagi Kant, perintah menaati moral adalah suatu perintah yang pasti adanya, tanpa mengenal kompromi pada situasi apapun karena kebaikan moral ada pada perilaku itu sendiri (deontologisme etis), bukan pada akibatnya. Pegangan seperti ini berlaku untuk setiap orang, pada segala tempat dan waktu.  Kant seperti ingin mengatakan bahwa, benar-salah/baik-buruk, seharusnya juga dapat disepakati semua orang, tanpa memandang dimensi primordial. Ateis sekalipun, misalnya, juga dapat menerima pernyataan bahwa membunuh orang yang tidak bersalah adalah suatu kejahatan.

Dalam pandangan deontologisme etis dari Kant, moralitas itu dapat dibenarkan karena memang manusia adalah mahluk yang mampu mengkonstruksikan kebenarannya dengan rasionya sendiri. Dan, pemahaman itu bisa dibawa juga pada ide transendental melalui suara hati. Manusia yang bermoral adalah manusia yang setia pada suara hatinya. Dengan sendirinya, kebenaran moralitas adalah kebenaran menurut suara hati. Oleh karena setiap orang mungkin saja memiliki suara hati yang berbeda-beda (misal karena pengaruh informasi yang menyesatkan, hoaks, hasutan, provokasi, dan lain-lain), maka Kant menyarankan agar ada komunitas moral (ethisches gemeine Wesen). Komunitas moral ini, pertama-tama tentu harus dibangun oleh kaum penjaga moral manusia, khususnya tokoh-tokoh agama/rohaniawan.

Namun, gambaran ideal seperti yang dibayangkan oleh Kant ternyata tidak terjadi. Tokoh-tokoh agama/rohaniawan, atau minimal yang mengaku dirinya sebagai demikian, ternyata justru terjebak pada klaim-klaim kebenaran primordial, bukan universal. Apakah Kant salah dengan pemikirannya?

Jika ditelusuri, ternyata cikal bakal kegagalan munculnya komunitas moral yang mampu membangun nilai-nilai kebaikan universal di kalangan pemuka agama, bermula dari “kemalasan” kaum agamawan/rohaniawan itu masuk ke dalam tingkatan ketiga epistemologi ala Kantian. Mereka terhenti pada tingkatan observasi dan akal budi. Mereka tidak sanggup atau mungkin tidak bersedia menggapai ke tingkat lebih tinggi, ke jenjang intelek (Vernunft). Dengan demikian, beragama atau bertuhan pada akhirnya hanya berhenti pada dimensi ritualitas dan ajaran-ajaran liturgi. Pengkategorian konsep-konsep hanya sampai sebatas halal dan haram. Jika pengkategorian ini akan diangkat ke dimensi transenden, maka ide-ide transendental yang dibangun lebih menyerupai argumentum ad terrorem (keindahan surga dan kengerian azab neraka).

Komunitas moral yang dibayangkan oleh Kant tentu tidak demikian. Komunitas moral ini harus terdiri dari orang-orang terhormat yang lebih tinggi kedudukan (maqam)-nya ketimbang komunitas manapun, termasuk komunitas politik (baca: kaum politisi). Oleh sebab itu, komunitas ini tidak akan takut pada tekanan politik atau intimidasi massa irasional. Komunitas ini juga tidak akan plin-plan bergerak ke kiri dan ke kanan, bergantung ke mana arah angin bertiup. Komunitas ini juga tidak akan suka pamer otot ketimbang otak. Komunitas ini senang mempromosikan kesejukan, inklusif dan gemar berdialog.

Pendek kata, kita merindukan komunitas moral yang mampu menghadirkan ide-ide transenden tentang tafsir-tafsir yang mencerahkan dalam kehidupan beragama dan denyut berkerohaniaan kita. Tafsir yang mampu menambah keyakinan bahwa setiap orang, tidak terkecuali, punya makna dalam kehidupan di dunia ini. Sebab, tiada sesuatu diciptakan-Nya dengan sia-sia!

Namun, di mana komunitas ala Kant itu kini berada? (***)


 


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close