UJARAN KEBENCIAN DAN ‘EMOTIONALIZATION OF LAW’
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Agustus 2017)
Secara resmi, ujaran kebencian tidak memiliki definisi yang jelas dan pasti. Untuk memberikan definisi pada istilah tersebut, beberapa konvensi internasional dapat digunakan sebagai referensi. Pasal 4 International Convention on the Elimination of all Forms of Racial Discrimination (CERD), ujaran kebencian digambarkan sebagai propaganda berdasarkan gagasan atau teori superioritas satu ras atau kelompok orang dengan satu warna atau asal etnis, atau mencoba untuk membenarkan atau mempromosikan kebencian rasial dan diskriminasi dalam bentuk apapun, dan berusaha untuk menerapkan tindakan segera dan positif yang dirancang untuk membasmi semua hasutan atau tindakan diskriminasi semacam itu dan, untuk tujuan ini. Konsep ini berdasarkan dari prinsip martabat dan persamaan dalam Universal Declaration on Human Rights (UDHR). Pasal 20 International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) memberikan standart internasional yang secara khusus memperhatikan kebencian termasuk pada menghasut kebencian terhadap agama. Debat berakhir setelah diadposinya Declaration on the Elimination of All Forms of Intolerance and of Discrimination Based on Religion or Belief oleh United Nations General Assemble pada tahun 1981. Deklarasi ini melarang segala bentuk diskriminasi dan intolerensi termasuk Prasangka terhadap orang orang yang dan menghina stereotip orang, berdasarkan suatu agama atau kepercayaan.
Dengan demikian Ujaran kebencian dapat digambarkan sebagai suatu perkataan yang bertujuan untuk membenci, melanggar, mendiskriminasi dengan cara menyinggung, mengancam, atau menghina kelompok berdasarkan ras, warna kulit, agama, asal kebangsaan. Ujaran kebencian bukan merupakan suatu larangan mengenai gagasan superioritas kelompok tertentu atau memperbaiki gairah atau emosi, akan tetapi lebih pada pembatasan bentuk komunikasi,[1] tetapi larangan akan akibat dari perbuatan tersebut yang merugikan baik individu maupun kelompok tertentu seperti terjadi tindakan diskriminasi, kejahatan maupun kerusuhan. Oleh karenanya dalam berbagai konvensi internasional selalu mensyaratkan tiga unsur dari ujaran kebencian. Pertama niat (intent) dimana hanya pertanyaan dengan sengaja yang dinyatakan untuk menghasut kebencian saja yang bisa dikategorikan sebagai unsur pertama ini. Kedua hasutan (incitement), unsur ini menimbulkan perdebatan mengenai hal yang dilarang. Pandangan pertama menyatakan bahwa perbuatan yang menghasutlah yang dilarang namun padangan lainnya menyatakan bahwa penyebaran gagasan-gagasan mengenai diskriminasilah yang dilarang. Untuk menentukan ada atau tidaknya unsur hasutan ada beberapa faktor yang dilihat dengan faktor dengan memfokuskan kepada hubungan antara kontek pernyataan dengan kemungkinan hasil yang dilarang. Terakhir hasil yang dilarang (proscribed results), dimana akibat yang dilarang secara umum adalah adanya kejahatan atau perilaku diskriminasi.
[2]Di Indonesia terdapat tiga legislasi yang mengatur mengenai larangan ujaran kebencian. Kecuali dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), semua larangan terhadap ujaran kebencian tersebut dirumuskan sebagai delik formil. Sedangkan dalam UU ITE mensyaratkan adanya hasil yang dilarang namun hanya sebatas pada timbulnya rasa benci.
Undang-Undang | Pasal | Larangan |
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana | 156 | Kebencian terhadap ras dan etnis yang merupakan golongan penduduk Indonesia |
156 a | Kebencian terhadap agama | |
157 | Penyebarluasan kebencian terhadap golongan penduduk dengan menggunakan sarana tulisan | |
UU ITE | 28 ayat (2) | Menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan individu maupun kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan |
Undang-Undang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnik | 4 sub b | Melakukan tindakan diskriminasi dengan menunjukan rasa benci kepada orang lain karena perbedaan ras dan etnis |
Yang menarik dari rumusan dari ketiga undang-undang tersebut adalah adanya pengemosialisasikan tindak pidana atau emotialization of law. Emosi atau perasaan ditempatkan dalam hukum, dalam hal ini keadaan emosi atau perasaan tertentu dilarang dijadikan tindak pidana. Hal ini terjadi karena dalam rumusan pasal tersebut bukan delik materil sehingga tidak memerlukan adanya akibat dari perbuatan dan juga tidak mengsyaratkan adanya hasil yang illegal sebagai akibat nyata dari perbuatan yang menyebarkan kebencian tersebut. Seperti dalam Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang mengsyaratkan rasa kebencian sebagai unsur hasil yang dilarang menimbulkan permasalahan. Larangan ini merupakan bentuk pembatasan atas emosi atau perasaan manusia. Rasa benci merupakan salah satu sifat alami manusia dan melarangan timbulnya suatu perasaaan tersebut merupakan bentuk kriminalisasi terhadap emosi dalam undang.
Dalam putusan pengadilan, terdakwa dinyatakan bersalah karena melakukan perbuatan yang bukan merupakan ujaran kebencian tetapi perkataan tersebut menimbulkan rasa tidak suka atau marah dari masyarakat. Dalam perkara I Wayan Hery Christian, majelis hakim menghukum terdakwa karena rasa tidak senang masyarakat atas mengungkapkan kritik kerasnya karena suara takbir dari masjid yang terus menerus dan keras telah mengganggu aktifitas terdakwa.
Pada akhirnya tidak adanya hasil yang illegal yang dilarang sebagai unsur dari ujaran kebencian menyebabkan tindak pidana ujaran kebencian yang diatur dalam undang-undang di Indonesia menjadi pembatasan terhadap emosi atau perasaan. Pembatasan tersebut bukan hanya emosi pelaku tetapi juga emosi dari masyarakat, karena dalam prakteknya hakim menggunakan tolak ukur emosi dari masyarakat untuk melihat ada tau tidaknya tindak pidana ujaran kebencian. Padahal ini bersifat abstrak dan mudah disalahgunakan, akibatnya hal ini menghabat kebebasan berekspresi. (***)
REFERENSI:
[1] Waldron. J., (2010). 2009 Oliver Wendell Holmes Lectures Dignity And Defamation: The Visibility Of Hate. Harvard Law Review. 123, 1569.
[2]Toby Mendel, “Hate Speech Rules Under International Law”, http://www.law-democracy.org/wp-content/uploads/2010/07/10.02.hate-speech.Macedonia-book.pdf, diunduh tanggal 20 April 2017.