KARUT MARUT PENETAPAN RIPN DAN PELABUHAN KUALA TANJUNG
Oleh NIRMALA MANY (September 2017)
Sebagaimana disebutkan dalam tulisan sebelumnya, bahwa penetapan kebijakan pelabuhan secara nasional diatur dalam Rencana Induk Pelabuhan Nasional (RIPN) melalui Peraturan Menteri Perhubungan dan setiap pelabuhan memiliki Rencana Induk Pelabuhan (RIP) masing-masing. Penulis akan menguraikan tentang perubahan status Pelabuhan Kuala Tanjung di dalam peraturan dan kebijakan pelabuhan. Di dalam tulisan ini, penulis mengkritisi tentang kebijakan tersebut. Secara khusus penulis menyoroti tentang dua hal. Yang pertama terkait kebijakan yang sering berganti dalam jangka waktu dekat antara satu revisi RIPN dengan revisi lainnya dan yang kedua adalah peraturan ini telah menabrak dan bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
- Berganti-gantinya ketentuan Penetapan RIPN
Secara umum ketentuan RIPN diatur di dalam UU Nomor 17 Tahun 2008 (UU Pelayaran) serta Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 61 Tahun 2009 tentang Kepelabuhanan sebagaimana telah dirubah dengan PP Nomor 64 Tahun 2015. RIPN diatur secara khusus dalam Keputusan Menteri Perhubungan. RIPN yang pertama kali dikeluarkan adalah Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KP 414 Tahun 2013 tanggal 17 April 2013. Keputusan Menteri (Kepmen) ini menetapkan rencana pembangunan pelabuhan hub internasional di masa depan, yaitu: Pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung yang didasarkan pada kajian secara komprehensif. Kepmen tersebut menetapkan Pelabuhan Kuala Tanjung yang statusnya pada tahun 2011 sebagai Pelabuhan Pengumpul, dirubah statusnya menjadi Pelabuhan Utama mulai tahun 2015 dan tahun-tahun berikutnya. Permen ini secara tegas menetapkan Pelabuhan Kuala Tanjung dan Bitung sebagai pelabuhan hub internasional.
Pada tanggal 12 Januari 2016 Presiden mengeluarkan Perpres Nomor 3 Tahun 2016 tentang Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional yang mana disebutkan penetapan Pelabuhan Kuala Tanjung sebagai pelabuhan internasional dan Pelabuhan Tanjung Priok berganti status menjadi pelabuhan hub internasional peti kemas. Menindaklanjuti Perpres tersebut, pada Desember 2016 keluar Penetapan RIPN baru, yaitu Permen No. KP 901 Tahun 2016, yang mana merujuk kepada Perpres tersebut, menegaskan kembali status Pelabuhan Kuala Tanjung sebagai pelabuhan internasional, bukan pelabuhan internasional hub.
Secara khusus, terkait penetapan Rencana Induk Pelabuhan Kuala Tanjung, telah terjadi perubahan beberapa kali. Yang pertama diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor PM 20 Tahun 2012 yang menetapkan Pelabuhan Kuala Tanjung sebagai pelabuhan hub internasional. Demikian pula dengan Kepmen yang dikeluarkan pada tanggal 7 Maret 2017 Nomor 148 Tahun 2016 dimana dijabarkan secara rinci rencana pembangunan pelabuhan terdiri atas terminal multi purpose dan kontainer hub internasional.
Perubahan tersebut mengakibatkan kebingungan dan ketidakpastian hukum, dimana ketentuan dapat dengan mudah dalam jangka waktu cukup singkat terus menerus dirubah, padahal telah ada komitmen dari investor asing untuk Pelabuhan Kuala Tanjung, dalam hal ini Port of Rotterdam (Belanda) dan DP World (Dubai). Jika hal ini dibiarkan terjadi dan tidak segera diambil langkah penyelesaian, dikuatirkan para investor asing akan takut untuk menanamkan sahamnya di Indonesia.
Secara praktis, Gubernur Sumatera Utara juga telah mengajukan keberatan kepada Menteri Perhubungan tentang perubahan status tersebut dan dijanjikan akan dipertimbangkan dan dilakukan kajian ulang, namun sampai hari ini ketentuan tersebut belum juga dirubah.
- Penetapan Rencana Induk Pelabuhan Nasional telah bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Keputusan Menteri harus sejalan dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Sesuai dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang pembentukan Peraturan Perundang-undangan bahkan jika suatu peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang diduga bertentangan dengan Undang-Undang, maka dapat dilakukan pengujian ke Mahkamah Agung.
Ketentuan RIPN tidak sejalan dengan UU Pelayaran dan PP Kepelabuhanan karena UU dan PP ini menyatakan bahwa RIPN berlaku untuk 20 tahun dan peninjauan kembali dapat RIPN dan RIP dapat dilakukan sekali dalam 5 tahun, namun pada kenyataannya, RIPN dan RIP dirubah dalam jangka waktu yang sangat singkat tanpa memenuhi persyaratan yang telah ditetapkan yaitu dapat dirubah lebih dari sekali dalam 5 tahun apalagi terjadi perubahan kondisi lingkungan strategis semata-mata akibat bencana yang ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya jika dikaitkan dengan persyaratan lokasi pembangunan pelabuhan harus sesuai dengan potensi dan perkembangan sosial ekonomi wilayah, potensi sumber daya alam (Pasal 10 ayat 2 PP Kepelabuhanan), yang mana Kuala Tanjung termasuk kawasan koridor ekonomi Sumatera dengan Sei Mangke sebagai salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan ditambah faktor bahwa penyusunan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Sumatera Utara telah mengintegrasikan Pelabuhan Kuala Tanjung sebagai pelabuhan internasional hub di dalamnya, maka perubahan status Pelabuhan Kuala Tanjung yang awalnya direncanakan sebagai pelabuhan hub internasional dan kini menjadi hanya pelabuhan internasional bukan hub, telah melanggar ketentuan UU Pelayaran dan PP Kepelabuhanan.
Hal ini perlu mendapat perhatian lebih dari Pemerintah karena seyogyanya penetapan RIPN dan RIP didasarkan pada riset dan studi kelayakan yang komprehensif menyangkut semua aspek terkait sehingga tujuan perubahan dan revisi peraturan perundang-undangan adalah untuk mengikuti perkembangan dan perbaikan kualtas perundang-undangan, bukan menyebabkan kebingungan publik, hilangnya kepercayaan dan minat investor untuk menanamkan modalnya di Indonesia. (***)