People Innovation Excellence

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA ANAK SEBAGAI PELAKU KEKERASAN SEKSUAL  TERHADAP ANAK

Oleh AHMAD SOFIAN (Agustus 2017)

Fenomena anak yang menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi secara global di banyak negara. Namun, studi yang menemukan argumentasi mengapa anak menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak sangat minim. Kekerasan seksual yang dilakukan anak terhadap anak mengalami peningkatan secara kualitatif dan kuantitatif. Data-data yang dikumpulkan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) membuktikan argumentasi ini benar. KPAI menyatakan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap anak dalam kurun waktu  2011 hingga 2016 kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak mencapai 1.965 atau sekitar 30% dari total keseluruhan kasus. Sementara itu, hasil Susenas BPS mengungkapkan, bahwa pada tahun 2014 jumlah anak korban kekerasan mencapai 247.610 jiwa. Dari jumlah tersebut diperkirakan 74.283 jiwa diantaranya adalah korban kekerasan seksual.

Pemaknaan Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual  yang dilakukan oleh anak terhadap anak bisa dilihat dari perspektif kriminologi, sebagaimana diungkapkan oleh Lawrence E. Cohen dan Marcus Felson (1979) dalam bukunya Social Change and Crime Rate Trends: A Routine Activity Approach. Dalam pandangan kedua kriminolog di atas,  kejahatan  dipengaruhi oleh tiga faktor yaitu   target yang sesuai/tepat, lemahnya pengamanan atau pengawasan dan adanya motivasi dari pelaku. Dalam konteks kejahatan seksual anak, ketiga faktor di atas dapat dijelaskan sebagai kejahatan seksual yang menimpa anak-anak yang dilakukan oleh anak tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya korban yang cocok atau yang tepat. Ketepatan korban berarti menarik perhatian si pelaku. Ketiadaan pengawasan pada diri korban menjadi faktor kedua. Dengan kata lain pengawasan pada diri anak menjadi penting untuk dilakukan agar tidak menjadi target pelaku. Aspek ketiga adalah motivasi pelaku melakukan kejahatan seksual, motovasi ini dapat dijelaskan  sebagai  capable and willing to commit  crime, motivation of need or excitement, perhaps has nothing to lose and reward greater than consequences.

Dengan demikian, kekerasan seksual anak didefinisikan sebagai  hubungan atau interaksi antara seorang anak dengan anak lain, dimana si anak sebagai korban diperlakukan sebagai objek pemuas seksual bagi pelaku.  Perbuatan ini dapat dilakukan dengan menggunakan paksaan, ancaman, tipuan atau tekanan. Perlu dicatat bahwa kekerasan seksual terhadap anak tidak harus melibatkan kontak badan antara pelaku dengan anak-anak sebagai korbannya. Perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kategori kekerasan seksual pada anak dapat berupa ekshibisme atau voyeurism, yaitu perbuatan yang dilakukan oleh pelaku terhadap anak, dimana pelaku menonton seorang anak yang sedang telanjang atau menyuruh anak atau memaksa anak untuk melakukan kegiatan seksual dengan anak lainnya, sementara pelaku menyaksikan adegan tersebut atau merekamnya.

Dalam konteks hukum pidana, terminologi yang digunakan untuk mendefinisikan kekerasan seksual adalah perbuatan cabul sebagaimana diatur dalam Pasal 289 sampai dengan Pasal 296 KUHP. Tafsir terhadap perbuatan cabul ini adalah perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu birahi kelamin. Misalnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya; termasuk pula persetubuhan. Namun di undang-undang hal-hal tersebut disebutkan tersendiri. Ini berarti dalam menafsir pengertian undang-undang bisa diartikan, segala perbuatan apabila telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul. Sementara itu, istilah pelecehan seksual mengacu pada sexual harassment diartikan sebagai unwelcome attention atau secara hukum didefinisikan sebagai “imposition of unwelcome sexual demands or creation of sexually offensive environments“.

Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak juncto Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tidak secara khusus memberikan pemaknaan terhadap kekerasan seksual pada anak. Selain itu, undang-undang juga tidak menjelaskan secara rinci unsur-unsur kekerasan seksual pada anak. Namun dalam undang-undang diatur tentang mengkriminalkan perbuatan yang masuk dalam kategori kekerasan seksual pada anak, meliputi perbuatan cabul anak dan perbuatan persetubuhan pada anak.

Pertanggungjawaban Pidana Anak    

Dalam konteks kejahatan atau kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak, Howard E. Barbaree dan William L. Marshall (2016) dalam bukunya yang berjudul “An Introduction to the Juvenile Sex Offender” membedakan antara children dan juvenile. Children tidak memiliki tanggung jawab hukum ketika melakukan kejahatan seksual terhadap anak. Di banyak negara, seseorang yang belum mencapai usia 12 tahun digolongkan sebagai a child. Dengan kata lain anak-anak yang belum mencapai usia 12 tahun tidak dapat digolongkan sebagai pelaku kejahatan seksual (sex offender), sehingga tidak bisa dikenakan sanksi pidana. Sementara itu, juvenile adalah anak-anak yang melakukan kejahatan tetapi telah memiliki tanggung jawab hukum. Usia mereka umumnya berkisar antara 12-17 tahun. Dalam konteks ini, ketika anak-anak dalam kategori junevile melakukan tindak pidana seksual, maka perbuatan tersebut dapat dipertanggungjawabkan kepada mereka. Hal ini dalam literatur di Amerika sering disebut sebagai juvenile sex offender.  Secara lebih khusus, juvenile sex offender didefinisikan sebagai: a person who has been convicted of a sexual offense and who is considered by law to be old enough to be held criminally responsible for the crime (generally by age enough), but not so old as to be  full range of adult criminal sanction (as would be the case after his or her 18th birthday).

Meskipun ada perbedaan kadar pertanggungjawaban antara anak-anak yang melakukan kejahatan dalam rentang usia di bawah 12 tahun dengan rentang usia 12-17 tahun, namun terkadang sulit untuk membedakan antara aktivitas seksual yang dilakukan oleh anak di kedua kelompok umur ini. Demikian juga ketika dikomparasikan dengan aktivitas seksual orang dewasa. Contohnya ketika seorang anak berusia 15 tahun melakukan hubungan seksual  dengan anak usia 13 tahun, hubungan seksual yang mereka lakukan seperti layaknya hubungan seksual yang dilakukan oleh orang dewasa, apakah perbuatan yang dilakukan oleh anak usia 15 tahun ini dapat digolongkan sebagai kejahatan seksual ? Tidak semua hubungan seksual tersebut merupakan kejahatan, tergantung banyak hal, apakah ada pengaturan sex consent di suatu negara, dan berapa batasan usia sex consent tersebut? lalu apakah ada unsur abusive atau ancaman abusive?. Oleh sebab itu, menurut Howard & Marshall harus dibedakan antara perbuatan jahat atau kekerasan seksual dengan perilaku seksual sebagai sebuah kejahatan. Masalah ini menjadi sangat complicated selama norma-norma sosial mengalami perubahan yang sedemikian rupa di dalam suatu negara. Jika dilihat dari persfektif kriminologi, kekerasan seksual yang dilakukan oleh anak terhadap anak sering juga disebut dengan istilah child on child sexual abuse, atau juvenile sex offender. Kedua terminologi di atas sebenarnya memiliki kesamaan makna dimana anak seorang anak yang belum berusia 18 tahun melakukan kekerasan seksual kepada anak yang juga belum berusia 18 tahun. Bentuk kekerasan yang dilakukan anak-anak tidak didasarkan pada kesepakatan (consensus) antara anak dengan anak. Ketika ada kesepakatan maka perbuatan tersebut tidak masuk dalam kategori kekerasan seksual.

Dalam konteks hukum nasional sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 23 Tahun 2002 juncto Undang-undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak dan kemudian dikaitkan dengan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana, maka undang-undang ini tidak membedakan tindak pidana yang dilakukan oleh anak atas dasar suka sama suka atau ada tidaknya unsur abusive. Namun acap kali, pelaku laki-laki yang dipidana, dengan asumsi yang keliru dari penegak hukum dalam memaknai abusive. Pasalnya, abusive selalu dilekatkan pada diri anak laki-laki, padahal teori-teori kriminologi yang dipaparkan di atas tidak pernah menjustifikasi jenis kelamin tertentu sebagai pelaku kekerasan. Unsur abusive dimulai dari tingkat yang paling rendah yaitu bujuk rayu, tipu muslihat, ancaman kekerasan dan kekerasan. Jika salah satu unsur di atas ada maka pelaku bisa dikategorikan telah memenuhi unsur abusive. Kemudian unsur-unsur tersebut bisa melekat pada siapa pun, baik laki-laki maupun perempuan, dan ketika salah satu  unsur terpenuhi maka, seseorang dapat dikategorikan telah melakukan kekerasan seksual dan dapat diminta pertanggungjawaban pidana. (***)


Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close