SURAT KUASA DIREKSI DAN PERTANGGUNGJAWABANNYA
Oleh AGUS RIYANTO (Agustus 2017)
Di dalam kerangka korporasi, surat kuasa memiliki kedudukan penting dalam mendukung operasionalitas perseroan terbatas (“PT”). Hal itu karena dengan kompleksitas PT dalam skala omzet transaksi besar dengan konsumen ribuan dan bahkan mungkin jutaan, misalnya: TV berbayar, operator seluler, perbankan, properti dan lain-lain, tidak mungkin dapat dilakukan tanpa adanya surat kuasa. Keabsahan mana tidak mungkin dapat dilakukan langsung oleh direksi dalam setiap transaksinya. Dengan demikian, surat kuasa direksi itu adalah medium penghubung antara pemberi kuasa, direksi, kepada penerima kuasa untuk dapat melakukan tindakan hukum atas nama pemberi kuasa. Di dalam hal ini, terkandung makna pelimpahan wewenang dari seseorang atau pejabat tertentu kepada seseorang atau pejabat lain. Dengan ini, maka jelaslah pelimpahan wewenang dapat mewakili yang memberi wewenang tersebut. Namun, seringkali terlupakan adalah siapakah sesungguhnya yang harus bertanggung-jawab dengan dikeluarkannya surat kuasa dari direksi tersebut. Apakah direksi PT atau pihak yang menerima surat kuasa itu?
Di Indonesia, surat kuasa diatur berdasarkan Pasal 1792–1819 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). Ditegaskan Pasal 1792 KUH Perdata bahwa surat kuasa dikeluarkan berdasarkan perjanjian dengan mana seseorang memberikan kuasa kepada seseorang lain, yang menerimanya, untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan. Ketentuan harus dengan perjanjian itu juga berlaku untuk PT yang mengeluarkan surat kuasa. Untuk itu, maka Pasal 103 Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas mengatur lebih lanjut ketentuan tersebut dengan mensyaratkan bahwa direksi dapat memberi kuasa tertulis kepada 1 (satu) orang karyawan perseroan atau lebih atau kepada orang lain untuk dan atas nama Perseroan melakukan perbuatan hukum tertentu sebagaimana diuraikan di dalam surat kuasa adalah wujud dari terjadiya perjanjian di antara direksi (sebagai pemberi kuasa) dengan karyawan Perseroan (sebagai penerima kuasa). Sehingga, surat kuasa itu harus berangkat dari kesepakatan bersama sebagai basis dasarnya dan tidak sepihak dari salah satu kepada pihak lainnya.
Dengan dasar bahwa surat kuasa itu harus dengan perjanjian, maka dengan sendirinya harus ada hak dan kewajiban di antara pemberi kuasa dan penerima kuasa sebagaimana ditentukan di dalam Pasal 1807–1812 untuk pemberi kuasa dan Pasal 1800 -1806 untuk penerima kuasa sebagai dasar untuk dapat mengetahui siapa sesungguhnya yang harus bertanggung-jawab. Di dalam KUHP Perdata tersebut, pemberi kuasa wajib memenuhi setiap perjanjiaan yang dibuat olehnya, tetapi pemberi kuasa tidak terikat kepada atas apa yang dilakukan penerima kuasa di luar hal-hal yang dikuasakan kepadanya, kecuali jika pemberi kuasa telah menyetujui adanya perjanjian yang dibuat dengan penerima kuasa. Sementara itu, penerima kuasa tidak dapat melakukan hal-hal lain yang melampaui kuasanya, misalnya dalam hal pemberi kuasa bermaksud untuk menyelesaikan suatu perkara secara damai, maka penerima kuasa tidak dibenarkan menyelesaikannya berdasarkan hukum positif di pengadilan yang berwenang dengan tetap melanjutkan perkara dan tidak berdamai. Di dalam hal ini terjadi, maka pemberi kuasa dapat menggugat dan mengajukan tuntutan secara langsung kepada penerima kuasa untuk dapat selalu memenuhi dan mentaati kesepakatan yang telah dibuat antara mereka dalam perjanjian. Perjanjian dalam surat kuasa yang telah mengikatnya.
Berangkat dari kejelasan bahwa konsep surat kuasa bermula dari adanya perjanjian di antara hubungan pemberi kuasa dan penerima kuasa dapat ditarik benang merahnya soal tanggung-jawab tersebut. Pertama, tanggung jawab tetaplah berada di pemberi kuasa (direksi) dalam hal penerima kuasa (karyawan) menjalankan tugas-tugas dan pengurusannya sesuai dengan ketentuan yang tertulis di dalam Surat Kuasa tersebut. Kedua, untuk itu, maka janganlah sekali-kali penerima kuasa melampaui kewenangan yang telah ditetapkan oleh pemberi kuasa, sebab jika terjadi melewati tanggung-jawab yang diberikannya, maka hal tersebut akan beralih menjadi tanggung jawab penerima kuasa. Ketiga, penerima kuasa tidak dapat untuk dipersalahkan apabila telah dan tetap menjalankan kewajibannya sebagaimana tertulis dalam surat kuasa dan untuk hal tersebut tanggung jawabnya tetap berada di pemberi kuasa yang dalam hal ini adalah direksi perseroan. Ketiga hal tersebut dapat menjadi pelajaran bersama di dalam menjalani pola hubungan direksi dan karyawan yang baik dan benar dalam koridor hukum yang berlaku dan untuk tetap melindungi kepentingan karyawan yang dalam konteks ini hanya menjalankan perintah dan pekerjaan yang dilimpahkan kewenangan oleh direksi. Untuk itu, pahamilah bahwa surat kuasa tidak dapat lagi dapat dipandang sebelah mata hanya dokumen lembaran biasa, tetapi di balik itu banyak kandungan hukum sebab dan akibat yang sering kali dilupakannya. (***)
Published at :