PERBEDAAN TUJUAN DAN ARAH PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL SEBELUM DAN SESUDAH AMANDEMEN UUD 1945
Oleh ERNA RATNANINGSIH (Agustus 2017)
Bagian Pertama (dari dua tulisan)
Perubahan (amandemen) Konstitusi dalam sejarah perjalanan negara dan bangsa Indonesia memberikan perubahan mendasar dalam proses penyusunan arah pembangunan hukum nasional. Hal ini didasari oleh perubahan-perubahan politik dalam sejarah Indonesia antara konfigurasi politik yang demokratis dan konfigurasi politik yang otoriter. Sejalan dengan perubahan-perubahan konfigurasi politik, karakter produk hukum juga berubah. Perubahan politik yang menyebabkan terjadinya perubahan hukum bukan hanya menyangkut perubahan UU melainkan menyentuh perubahan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi yakni Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) dan Undang Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Perubahan UUD 1945 merupakan agenda atau produk reformasi. Pada saat itu ada arus pemikiran yang kuat yang dimotori oleh berbagai kampus dan para penggiat demokrasi bahwa reformasi konstitusi merupakan keharusan jika kita mau melakukan reformasi.[i] Perubahan UUD 1945 ini akan merubah sistem kelembagaan negara termasuk kedudukan MPR yang akan berdampak pada hilangnya kewenangan MPR untuk membuat Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Landasan hukum yang menjadi dasar pijakan hukum di Indonesia adalah pasal 1 ayat (3) UUD N RI Tahun 1945 yang menyatakan “Negara Indonesia adalah negara hukum” yang menunjukkan bahwa UUD 1945 menjadi dasar dalam segala penyelenggaraan peraturan perundang-undangan di Indonesia. Sebagai negara hukum, Indonesia mengarahkan pembagunan hukum nasionalnya untuk melindungi hak-hak warga negara untuk mencapai keadilan dan jaminan supremasi hukum serta persamaan di muka hukum bagi setiap warga negara. Adapun tujuan didirikannya negara Indonesia terdapat dalam pembukaan UUD 1945 alinea keempat sebagai berikut :
- Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
- Memajukan kesejahteraan umum;
- Mencerdaskan kehidupan bangsa;
- Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaan abadi dan keadilan sosial.
Untuk mewujudkan tujuan tersebut maka dilaksanakan pembangunan nasional yang bertahap dan berkesinambungan. Sebelum adanya perubahan (amandemen) UUD 1945 arah pembangunan nasional ditetapkan melalui Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). GBHN merupakan haluan negara tentang pembangunan nasional dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setiap lima tahun. Setelah amandemen, perencanaan untuk menjamin tercapainya tujuan negara diatur melalui sistem perencaan pembangunan nasional melalaui keluarnya Undang-Undang No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (UU-SPPN) yang mengatur Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). Baik GBHN maupun RPJPN hakekatnya sama sebagai pedoman arah pembangunan Indonesia baik pemerintah pusat dan daerah.
Perubahan landasan hukum dalam perencanaan pembangunan nasional sebagai pengganti GBHN pada masa setelah amandemen UUD 1945 banyak menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Dengan dihapuskannya GBHN, sebagian pihak menilai konsistensi dan kontinuitas belum berjalan karena perencanaan pembangunan diwadahi dalam undang-undang. UU-SPPN beserta peraturan perundang-undangan di bawahnya yang menjadi landasan perencanaan pembangunan dianggap tidak mampu menjamin kesinambungan dan keselarasan pembangunan antara pusat dan daerah. Pemikiran-pemikiran ini menimbulkan adanya wacana dihidupkannya kembali GBHN yang lebih mudah dipahami untuk menjalankan roda pembangunan hukum nasional.
Dalam naskah akademik yang disusun Forum Rektor Indonesia tahun 2014, Prof Dr. Niki Lukviarman, SE, MBA, AK, CA, Guru Besar/Ketua Program Doktor Universitas Andalas, disebutkan GBHN berbeda dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). GBHN adalah sebuh strategi ideologi pembangunan sedangkan RPJP adalah merupakan sebuah strategi teknokratik pembangunan. Perbedaan antara haluan negara dan RPJP adalah sangat mendasar bahwa jika haluan negara bersifat ideologis sementara RPJP bersifat teknokratis. Urgensi GBHN adalah sebagai arahan bagi pembangunan nasional sedang RPJP berisi penjabaran arah pembangunan nasional yang berisi prioritas kerja pembangunan yang bersifat “teknoratis dan pragmatis”. Selanjutnya Prof Niki menyatakan haluan negara bersifat dinamis dan holistik karena dibahas setiap lima tahun oleh seluruh anggota MPR yang merupakan representasi seluruh rakyat Indonesia. Hal ini berbeda dengan RPJP yang cenderung statis karena berbentuk undang-undang sehingga berpotensi membelenggu perencanaan pembangunan pada pemerintahan periode berikutnya. Pendapat lain dari Prof Elfindri menyoroti beberapa kelemahan sistem perencanaan pembangunan yang berlangsung sejak era reformasi dimana rencana pembangunan disusun berdasarkan visi dan misi kandidat saat masa kampaye pemilihan presiden sehingga lebih fokus pada perencanaan pembangunan jangka menengah bukan jangka panjang. Selain itu, visi dan misi tersebut disusun secara terbatas oleh tim kampanye dan tidak fokus pada bagaimana negara dibanguan dalam jangka panjang. Akibatnya, rencana-rencana pembanguan dari para presiden era reformasi kerap tidak bisa berkelanjutan.[ii]
Tujuan dan Arah Pembangunan Hukum Nasional.
Tujuan Pembangunan Hukum Nasional berdasarkan GBHN Tahun 1978 adalah: “Pembangunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat adil dan makmur yang merata material dan spiritual berdasarkan Pancasila dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia yang merdeka, berdaulat, bersatu dan berkedaulatan rakyat dalam suasana perikehidupan bangsa yang aman, tenteram, tertib dan dinamis serta dalam lingkungan pergaulan dunia yang merdeka, bersahabat, tertib dan damai”. Dengan demikian, rakyat Indonesia hendak mencapai masyarakat yang adil dan makmur secara merata itu dengan mengikuti : “de gulden midenweg”, dengan menghindari perbedaan-perbedaan yang menyolok dan cara-cara yang ekstrim seperti paham kapitalisme, komunisme ataupun cara-cara yang fanatik, religius.[iii]
Hukum bukan merupakan tujuan akan tetapi jembatan yang membawa kita kepada ide yang dicita-citakan. Setelah mengetahui masyarakat bagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, dapatlah dicari sistem hukum yang bagaimana yang dapat membawa rakyat kita ke arah masyarakat yang dicita-citakan itu dan politik hukum yang bagaimana yang dapat mencipatakan sistem hukum nasional yang dikehendaki. Namun demikian, politik hukum tidak terlepas dari realitas sosial dan pola pikir tradisional yang terdapat di negara kita. Di lain pihak sebagai salah satu anggota masyarakat dunia, politik hukum Indonesia tidak terlepas dari realita dan politik hukum internasional.[iv]
Berdasarkan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam UUD 1945, negara yang dikehendaki adalah negara hukum demokrasi kesejahteraan. Seluruh kegiatan bernegara sesudah proklamasi terarah untuk mewujudkan konsepsi negara tersebut. Dalam masa pemerintahan Orde Baru (Orba), yang bertekad untuk menjalankan pemerintahan yang kuat, bersih dan berwibawa dengan melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekwen. Tekad Orba dilaksanakan dengan pembangunan berencana panjang (dua puluh lima tahunan) dengan memperioritaskan pembangunan ekonomi yang ditunjang dengan pembangunan politik pada tataran yang sama untuk membangun kekuatan kekuasaan publik yang mampu menghasilkan dan memelihara stabilitas yang pada tahap permulaan mutlak diperlukan dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi. Pembangunan hukum dipandang sebagai salah satu sektor dalam pembangunan bidang politik. Hal ini tanpak secara eksplisit dalam semua GBHN hingga tahun 1988.[v]
Peluang dan motivasi untuk melaksanakan pembangunan hukum yang lebih signifikan terhadap perkembangan tuntutan zaman sudah tercipta GBHN pada tahun 1993 yang secara formal mengungkapkan kemauan politik para penentu kebijkan penyelenggaraan bernegara untuk memandang hukum sebagai sub-sistem nasional setara dengan subsitem nasional lainnya. Pembangunan hukum yang direncanakan secara cermat itu harus diarahkan untuk membangun tatanan hukum nasional yang modern dengan mengacu cita-cita hukum Pancasila yang mampu memberikan kerangka dan aturan-aturan hukum yang efisien dan responsif bagi penyelenggaraan kehidupan masa kini dan depan. Tatanan Hukum Nasional Indonesia itu harus mengandung ciri:[vi]
- Berwawasan kebangsaan dan berwawasan nusantara;
- Mampu mengakomodasi kesadaran hukum kelompok etnis kedaerahan dan keyakinan keagamaan;
- Sejauh mungkin berbentuk tertulis dan terunifikasi;
- Bersifat rasional yang mencakup rasionalitas-efisiensi, rasionalitas-kewajaran (redelijkheid), rasionalitas-berkaidah dan rasionalitas-nilai;
- Aturan prosedural yang menjamin transparansi yang memungkinkan kajian rasional terhadap proses pengambilan putusan oleh pemerintah;
- Responsif terhadap perkembangan aspirasi dan ekspektasi masyarakat.
Sedangkan dalam Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional yang terdapat didalam pasal 2 ayat (4) UU No : 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk :
- Mendukung koordinasi antar pelaku pembangunan;
- Menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi dan sinergi baik antar daerah, antar ruang, antar fungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;
- Menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan dan pengawasan;
- Mengoptimalkan partisipasi masyarakat dan
- Menjamin tercapaiknya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan.
Perbedaan Arah Pembangunan Hukum Nasional
Tujuan perencanaan pembangunan hukum nasional tersebut diatas terdapat persamaan dan perbedaan cara pandang. Persamaannya adalah responsif dan mengoptimalkan partisipasi masyarakat. Sedangkan perbedaan yang mendasar di dalam GBHN adalah bersifat formal dengan menitikberatkan pada tata hukum berbentuk tertulis, terunifikasi dan mekanisme prosedural dalam proses pengambilan keputusan. Dalam SPPN memfokuskan pada koordinasi antara pelaku pembangunan antara Pusat dan Daerah serta menjamin tercapainya penggunaan sumber daya yang efisien, efektif, berkeadilan dan berkelanjutan. Selain perbedaan tujuan perencanaan pembangunan hukum nasional, berikut ini perbandingan perencanaan pembangunan nasional sebelum dan sesudah amandemen UUD 1945 sebagai berikut :
Tabel Perbedaan GBHN dan RPJPN dan RPJPM[vii]
No. | Perbedaan GBHN dan RPJPN | |
GBHN | RPJPN | |
1. | Ditinjau dari Landasan Hukum | |
|
|
|
|
a. Ketetapan MPR RI Nomor VII/MPR/2001 tentang Visi Indonesia Masa Depan; b. UU No: 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional; c. UU No: 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 Tahun 2005-2025. d. Peraturan Presiden No: 5 Tahun 2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah Nasional |
|
2. | Ditinjau dari Strategi Pembangunan | |
Strategi pembangunan diarahkan pada tindakan pembersihan dan perbaikan kondisi ekonomi yang mendasar. Strategi tersebut ditetapkan dengan sasaran-saranan dan titik berat pembangunan dalam setiap Repelita yaitu :
§ Repelita I : Menitikberatkan pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku untuk meletakkan landasan yang kuat bagi tahap selanjutnya; § Repelita II : Menitikberatkan pada sektor pertanian dengan meningkatkan industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku untuk meletakkan dasar bagi tahap selanjutnya; § Repelita III: Menitikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembda pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang mengolah bahan baru menjadi barang jadi untuk meletakkan dasar yang kuat bagi tahap selanjutnya: § Repelita IV : menitikberatkan pada sektor pertanian untuk melanjutkan usaha-usaha menuju swasembada pangan dengan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri baik industri ringan yang akan terus dikembangkan dalam Repelita-repelita selanjutnya. |
Pelaksanaan RPJPN tahun 2005 – 2025 terbagi dalam tahap-tahap perencanaan pembangunan dalam perioderisasi perencanaan pembangunan jangka menengah nasional 5 (lima) tahunan sebagai berikut :
§ RPJM ke-1 (2005-2009) : Diarahkan untuk menata kembali dan membangun Indonesia di segala bidang yang ditujukan untuk menciptakan Indonesia yang aman dan damai, yang adil dan demokratis dan yang tingkat kesejahteraan rakyatnya meningkat; § RPJPM ke-2 (2010-2014) : Ditujukan untuk lebih memantapkan penataan kembali Indonesia di segala bidang dengan menekankan upaya peningkatakan kualitas sumber daya manusia termasuk pengembangan kemampuan ilmu dan teknologi serta penguatan daya saing perekonomian; § RPJPM ke-3 (2015-2019) : Ditujukan untuk lebih memantapkann pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan pencapaian daya saing kompetitif perekonomian berlandaskan keunggulan sumber daya alam dan sumber daya manusia berkualitas serta kemampuan ilmu dan teknologi yang terus meningkat; § RPJM ke-4 (2020-2024) : Ditujukan untuk mewujudkan masyarakat Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur melalui percepatan pembangunan diberbagai bidang dengan menekankan terbangunnya struktur perekonomian yang kokoh berlandasakan keunggulan kompetitif di berbagai wilayah yang disukung oleh SDM berkualitas dan berdaya saing. |
|
3. | Ditinjau dari segi Materi Pembangunan | |
§ Hukum : mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat.;
§ Ekonomi : Mengembangkann sistem ekonomi kerakyatan. § Politik : a. Politik Dalam Negeri : Memperkuat NKRI dalam bhinekatunggalikaan; b. Politik Luar Negeri: Menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif § Penyelenggaraan Negara : Membersihkan penyelenggaraan negara dari praktik korupsi, kolusi, nepotisme; § Komunikasi, Informasi dan media massa : Meningkatkan pemanfaatan peran komunikasi melalui media massa modern dan media tradional; § Agama : Memantapkan fungsi, peran dan kedudukan agama sebagai landasan moral, spiritual dan etika dalam penyelenggaraan negara; § Pendidikan : Mengupayakan perluasan dan pemertaan kesempatan memperoleh pendidikan bermutu tinggi bagi seluruh rakyat Indonesia; § Sosial dan Budaya : Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial; Meningkatkan mutu sumber daya manusia dan lingkungan yang saling mendukung Kebudayaan, Kesenian dan Pariwisata dengan mengembangkan dan membina kebudayaan nasional bangsa Indonesia yang bersumber dari warisan budaya leluhur bangsa. § Kedudukan dan Peranan Perempuan : Meningkatkan kedudukan dan peranan perempuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; § Pemuda dan Olah Raga : Menumbuhkan budaya oleh raga guna meningkatkan kualitas manusia Indonesia; § Pembangunan Daerah : a. Umum : Mengembangkan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab; b. Khusus : Daerah Istimewa Aceh, Irian Jaya dan Maluku. § Sumber Daya Alam dan Lingkungan Hidup : Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi ke generasi. § Pertahanan dan Keamanan : Menata kembali Tentara Nasional Indonesia sesuai paradigma baru secara konsisten melalui reposisi, redefinisi dan reaktualisasi peran TNI.
|
§ RPJM ke-1 (2005-2009) fokus pada:
§ RPJM ke-2 (2010 – 2014) dengan program :
§ RPJM ke-3 (2015-2019) dengan program :
§ Sasaran Pembangunan Manusia dan Masyarakat meliputi :
§ Sasaran Pembangunan Sektor Unggulan meliputi :
§ Sasaran Pembangunan Dimensi Pemerataan meliputi :
|
Berdasarkan tabel di atas terdapat 3 (tiga) perbedaan mendasar di dalam pembentukan landasan hukum GBHN dan RPJPN/RPJPM, Strategi pembangunan yang digunakan untuk mencapai tujuan, materi pembangunan. Pertama, pembentukan landasan hukum perencanaan pembangunan nasional berbeda sebagai konsekwensi logis amandemen UUD 1945. Menurut Saldi Isra, perubahan terhadap pasal 1 ayat (2) dan pasal 2 ayat (1) UUD 1945 berimplikasi pada reposisi peran MPR sebagai lembaga tertinggi negara (supreme body) menjadi gabungan antara DPR dan DPD. Kemudian, kewenangan MPR dari menetapkan GBHN dan memilih presiden dan wakil presiden menjadi mengubah dan menetapkan UUD, melantik presiden dan wakil presiden dalam masa jabatannya menurut UUD dan seterusnya.[viii] Sebelum amandemen Tap MPR/S dianggap lebih tinggi dari undang-undang karena dibuat oleh lembaga tertinggi negara yang menetapkan undang-undang. Pada masa setelah amandemen UUD 1945 terdapat perubahan kewenangan MPR yang berakibat pada berubahnya kedudukan Ketetapan MPR dalam tata urutan peraturan perundang-undangan.
Perencanaan pembangunan pada masa sebelum amandemen UUD 1945 dimuat dalam GBHN dan dikeluarkan dalam bentuk Tap MPR yang ditetapkan dalam jangka waktu lima tahun sekali. GBHN menentukan arah kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakan Presiden. Kedudukan Tap MPR adalah merupakan keputusan negara yang merupakan peraturan perundang-undangan di bidang ketatanegaraan dan mempunyai kekuatan mengikat keluar dan ke dalam MPR. Terdapat perbedaan antara ketetapan dan keputusan MPR. Dalam pembedaan ini maka segala putusan yang berlaku ke dalam anggota majelis sendiri, dituangkan dalam bentuk Keputusan, sedangkan yang berlaku keluar majelis dituangkan dalam bentuk Ketetapan.[ix]
Kedudukan MPR menurut ketentuan baru UUD 1945 pasca amandemen sudah mengalami perubahan yang mendasar sehingga MPR tidak lagi mengeluarkan produk hukum sebagaimana yang dikenal selama ini. Oleh karena itu, MPR tidak boleh dan tidak akan lagi menetapkan produk hukum yang bersifat mengatur (regeling) kecuali dalam bentuk UUD dan Perubahan UUD. Namun kewenangan MPR untuk mengeluarkan produk hukum yang tidak bersifat mengatur (administratif) tetap dapat dipertahankan. Misalnya MPR menetapkan bahwa Presiden dan Wakil Presiden telah resmi sebagai Presiden sejak pengucapan sumpah/janji jabatannya di hadapan Sidang MPR, sesuai dengan ketentuan Pasal 3 ayat (2) UUD 1945.[x]
Kesinambungan Arah Pembangunan Hukum Nasional
Dalam sidang perubahan UUD oleh Badan Pekerja MPR, penghapusan GBHN berkaitan dengan perubahan model pemilihan presiden dan wakil presiden yang tadinya oleh MPR dirubah melalui pemilihan langsung oleh rakyat. Dengan dipilih oleh rakyat maka menjadi wewenang Presiden yang dipilih oleh rakyat untuk menentukan rencana pembangunan. Presiden tidak bisa lagi dijatuhkan karena perbedaan kebijakan, perbedaan pendapat antara MPR dan Presiden. Sehingga yang bisa menjatuhkan nanti adalah hal-hal yang berkaitan dengan pelanggaran hukum, pelanggaran konstitusi. Sebagai gantinya perencanaan pembangunan nasional mengacu pada UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Saat ini dokumen yang menggantikan GBHN adalah dokumen Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005-2025 yang ditetapkan dengan UU No.17 Tahun 2007. [xi] GBHN dan RPJPN adalah merupakan perencanaan pembangunan nasional yang bersifat jangka panjang yang dibuat dan disusun berdasarkan bentuk yuridis yang berbeda akibat dari perubahan konstitusi. GBHN pada masa orde baru disusun dan ditetapkan oleh Tap MPR, sementara RPJPN dirumuskan dalam bentuk Undang-Undang yang merupakan penjabaran visi-misi Presiden yang dipilih langsung oleh rakyat.
Kedua, ditinjau dari stategi pembangunan nasional. Masa periodisasi pelaksanaan GBHN pada masa orde baru dibagi ke dalam dua tahap yaitu menetapkan arah kebijakan pembangunan nasional selama 25 tahun kedepan dan tahap kedua, menetapkan arah kebijakan pembangunan periode 5 tahun secara berkelanjutan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan sistem perencanaan nasional yang dibagi kedalam kebijakan perencanaan pembangunan 5 tahunan (RPJPM) dan kebijakan perencanaan pembangunan jangka panjang dalam periode 20 tahun (RPJP). Stategi penekanan sektor-sektor pembangunan yang akan dicapai tidak dapat dilakukan penilaian karena situasi kondisi ekonomi, sosial dan budaya pada saat dibentuknya arah kebijakan pembangunan nasional tersebut berbeda zaman.
Ketiga, dari segi materi pembangunan, RPJP Nasional hanya memuat hal-hal yang mendasar tidak banyak berbeda dengan GBHN. Ketentuan lebih rinci termuat dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN). RPJPM merupakan penjabaran visi, misi dan program Presiden yang penyusunanya berpedoman pada RPJPN. Oleh karena merupakan penjabaran visi, misi dan program Presiden pada saat Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, maka RPJM sebagai perencanaan pembangunan nasional untuk periode 5 (lima) tahunan dalam prakteknya dan dari berbagai pendapat publik memungkinkan terjadinya ketidaksinambungan antara periode satu dengan Presiden sebelumnya apalagi jabatan Presiden dibatasi selama 10 tahun. Kondisi ini berbeda dengan GBHN yangditetapkan oleh MPR, maka program pembangunan antara Presiden sebelumnya dengan Presiden berikutnya maupun Presiden dengan kapala daerah tidak ada perbedaan karena sistem pemerintahan yang sentralisasi dimana semua ditetapkan oleh Pemerintah Pusat, belum lahirnya UU Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah). Dalam praktik, terjadi kontinuitas pembangunan karena Presiden Soeharto berkuasa selama 32 tahun sehingga tidak terjadi pergeseran perubahan kebijakan dalam pelaksanaan program pembangunan nasional. Sosialisasi tentang program rencana pembangunan jangka panjang kurang masif dibandingkan dengan GBHN yang sebagian besar masyarakat Indonesia mengetahui program ini dan diajarkan dibangku sekolah dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. GBHN lebih mudah untuk dipelajari karena berisi hal-hal yang sifatnya umum sedangkan RPJPN dan RPJM lebih detail sehingga agak sulit untuk memahami program-programnya.
Merujuk pada analisa tersebut diatas maka dugaan bahwa perencanaan pembangunan nasional saat ini tidak memiliki pedoman sebagaimana GBHN tidak tepat dengan adanya RPJPN yang strategi kebijakan yang sama melalui periodesasi pelaksanaan dan materi pembangunan hukum nasional yang disesuaikan dengan kondisi ekonomi, sosial, budaya, politik pada masanya. Belum optimalnya pelaksanaan dari rencana pembangunan nasional bukan hanya karena tidak adanya pedoman atau garis-garis besar pembangunan nasional namun lebih dikarenakan akibat situasi sistem ketatanegaraan yang berubah dengan amandemen UUD 1945. (***)
REFERENSI:
[i] Moh. Mahfud MD, Politi Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2017, hlm 375-377.
[ii] Seharusnya MPR Kembali Berwenang Menetapkan GBHN, diakses melalui http://www.tribunnews.com/mpr-ri/2016/06/21/seharusnya-mpr-kembali-berwenang-menetapkan-gbhn, pada tanggal 6 Juni 2017
[iii] Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung, 1991, hlm.3.
[iv] Ibid, hlm. 1.
[v] Bernard Arief Sidharta, Refleksi tentang Struktur Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, 2009, hlm. 207-208.
[vi] Ibid, hlm, 211-212.
[vii] UU Nomor 17 Tahun 2007 tentang Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005 – 2025, UU Nomor 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
[viii] Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Pasca Amendemen UUD 1945, Prenadamedia Group, Jakarta, 2015, hlm 187.
[ix] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm.265.
[x] Ibid, hlm. 273-274.
[xi] Imam Subkhan, GBHN dan Perubahan Perencanaan Pembangunan di Indonesia, Jurnal MPR DPR Aspirasi Volume 5 Nomor 2, Desember 2014.
Bagian Kedua dari tulisan ini dapat dibaca pada: http://business-law.binus.ac.id/wp-admin/post.php?post=6973&action=edit