BPHN TERBITKAN DOKUMEN PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
Pusat Analisis dan Evaluasi (PAE) Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada tahun ini menerbitkan untuk pertama kalinya “Dokumen Pembangunan Hukum Nasional” yang dihasilkan dari analisis dan evaluasi selama kurun waktu tahun 2016. Rencananya setiap tahun akan terbit dokumen serupa, yang akan dijadikan acuan untuk perubahan, pencabutan, penggantian, atau pencabutan berbagai undang-undang saat ini. Dalam rangka menilai dokumen ini, Ketua Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS, Dr. Shidarta, diundang khusus oleh BPHN sebagai narasumber. Penilaian beliaui disampaikan dalam rapat di Kantor BPHN, Cililitan Jakarta, pada tanggal 14 Agustus 2017. Hadir pada pertemuan itu antara lain Kepala Pusat Analisis dan Evaluasi Hukum Nasional Pocut Eliza, S.Sos., S..H., M.H., dan sejumlah analis, antara lain Arfan Faiz Muhlizi, Aisyah Lailiyah, dan Apri Listiyanto.
Sebagai pusat yang baru saja berdiri, menurut Shidarta, PAE patut diapresiasi dengan hasil ini. “Dokumen ini membutuhkan catatan dan komentar dari sudut pandang pengguna atau pembaca eksternal, karena kalau hanya dilihat dengan kaca mata penulisnya sendiri, biasanyai lebih sulit ditemukan,” ujar Shidarta. Menurutnya, ada pekerjaan rumah yang besar dan urgen untuk dituntaskan agar arah pembangunan hukum nasional kita jelas, yakni terkait politik hukum kita secara makro terhadap arah sistem hukum kita di masa mendatang. Sebagai contoh, apakah sistem hukum nasional kita merupakan subsistem yang lebih superior dibandingkan dengan subsistem lain seperti sistem hukum adat dan agama; ataukah semua subsistem itu posisinya sejajar (strong legal pluralism). Dapat juga, pada konteks hukum tertentu subsistem hukum nasional yang lebih dominan, sedangkan pada konteks lain justru sebaliknya.
Hal lain adalah tentang landasan ideologis yang dalam dokumen ini dilekatkan pada nilai-nilai dasar Pancasila. Menurut Shidarta, apabila ada landasan ideologis sebagai nilai dasar, maka seharusnya ada nilai instrumental berupa peraturan perundang-undangan, dan kemudian praksisnya berupa perilaku kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Apa yang dilakukan dalam analisis dan evaluasi ini berfokus pada nilai instrumental tadi, yaitu peraturan perundang-undangan setingkat undang-undang saja. Artinya, ada jeda (jarak) antara nilai dasar yang demikian abstrak dengan teks-teks normatif di dalam undang-undang. Shidarta menyarankan agar para analis hukum memulainya dari undang-undang yang menjadi objek analisis/evaluasi. Filosofi dari keberadaan undang-undang ini ditemukan terlebih dulu. Apabila pekerjaan ini dianggap terlalu kompleks, maka dapat dicari filosofi pembangunan area (ranah) undang-undang itu di dalam cluster hukum yang sudah ditetapkan. Selanjutnya, dibenturkan dengan praksisnya (penegakan hukumnya), yakni bagaimana para pemangku kepentingan bereaksi terhadap teks-teks normatif itu. Apabila ada kelemahan atau kekurangan dalam penegakan hukum itu, maka baru diidentifikasi apakah penyebabnya karena faktor substansi, struktur, atau budaya hukum.
Persoalan penting yang ikut diangkat dalam catatan/komentar Shidarta adalah tentang pertanggungjawaban metodologis. Menurut dosen penalaran hukum di beberapa program pascasarjana ini, pembaca sangat berkepentingan untuk tahu dari mana sumber rekomendasi-rekomendasi yang diajukan di dalam dokumen ini. Sebagai contoh, apabila dokumen ini menyarankan agar dilakukan perubahan terhadap suatu pasal dalam undang-undang, maka perlu ada referensi siapa pemangku kepentingan yang pernah menyuarakan usul tersebut, di dalam forum apa, dan seterusnya. Dalam penjelasan atas rekomendasi ini, PAE perlu memberikan justifikasi mengapa usul tersebut layak untuk didukung.
Shidarta menaruh harapan agar dokumen serupa pada tahun-tahun mendatang akan bertambah kaya dalam hal analisis dan evaluasinya. Dokumen ini idealnya akan menjadi acuan satu-satunya pembangunan sistem regulasi hukum nasional kita. (***)
,
Published at :