KORPORASI SEBAGAI PELAKU TINDAK PIDANA BIDANG PERIKANAN
Oleh SHIDARTA (Agustus 2017)
Dalam Pasal 101 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dirumuskan kalimat sebagai berikut: “Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (1), Pasal 85, Pasal 86, Pasal 87, Pasal 88, Pasal 89, Pasal 90, Pasal 91, Pasal 92, Pasal 93, Pasal 94, Pasal 95, dan Pasal 96 dilakukan oleh korporasi, tuntutan dan sanksi pidananya dijatuhkan terhadap pengurusnya dan pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.” Muncul tanda tanya, siapakah subjek hukum yang dimaksud di dalam formulasi Pasal 101 di atas: korporasi atau pengurus korporasi? Benarkah dari bunyi rumusan itu lalu dapat disimpulkan bahwa korporasi tidak pernah dapat dijadikan terdakwa tindak pidana perikanan? Benarkah bahwa mendakwa pengurus korporasi identik dengan menjatuhkan tindak pidana bagi korporasi itu sendiri?
Dalam teori perundang-undangan diajarkan bahwa setiap rumusan norma dalam perundang-undangan memiliki sasaran norma (normadressaat). Secara umum, sasaran norma atau subjek norma adalah orang. Pasal 1 butir 14 UU Perikanan menyatakan bahwa orang adalah orang perseorangan atau korporasi. Artinya, UU Perikanan (UU No. 31 Tahun 2004 dan perubahannya di dalam UU No. 45 Tahun 2009) telah berkomitmen untuk menjadikan korporasi sebagai sasaran norma. Tidak ada keraguan untuk itu. Korporasi dimaknai sebagai kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Filosofi dari ditetapkannya sanksi pidana di dalam UU Perikanan, terutama adalah untuk memberantas praktik pencurian iklan (illegal fishing) di wilayah pegelolaan perikanan Indonesia. Jelas, praktik kelas kakap tidak dilakukan oleh perorangan, melainkan secara teorganisasi di bawah suatu korporasi, baik berbadan hukum maupun bukan badan hukum.
Berangkat dari filosofi ini, maka tidak mungkin jika dikatakan bahwa UU Perikanan tidak menjadikan korporasi sebagai sasaran normanya. Lalu apakah ada yang salah di dalam Pasal 101 UU Perikanan, sehingga korporasi menjadi dikecualikan untuk dijadikan “sasaran tembak”?
Pasal 101 pertama-tama harus dibaca dalam rangka memberi pemberatan pada pelaku. Pelakunya adalah korporasi. Jadi, sekali lagi pasal ini menyasarkan subjek normanya pada korporasi, bukan pada pengurus korporasi. Hanya saja, karena korporasi tidak mugkin dapat beroperasi tanpa pengurus di dalamnya, maka pertanggungjawaban pidananya dibebankan kepada pengurus korporasi itu. Dengan perkataan lain, pengurus di sini menjalankan beban pidana ini atas nama korporasi, bukan atas nama pribadi. Oleh sebab itu, dapat saja terjadi, pengurus korporasi pada saat terjadi tindak pidana berbeda dengan pengurus korporasi pada saat perkara itu disidangkan. Dalam konteks Pasal 101 UU Perikanan, tidak jadi persoalan terkait perubahan kepengurusan ini karena siapapun yang jadi pengurus, ia adalah representasi dari korporasi. Ini jelas berbeda apabila pelakunya bukan korporasi, melainkan orang perseorangan.
Tentu saja, bentuk sanksi pidana sebagai perwujudan pertanggungjawaban pidana bagi korporasi berbeda karakteristiknya dengan sanksi pidana bagi orang perseorangan. Korporasi tidak mungkin dapat dijatuhkan pidana penjara. Berbeda halnya dengan pengurus korporasi yang merupakan orang perseorangan. Sebagai konsekuensi dari hal ini, maka Pasal 101 harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan pasal-pasal yang ditunjuknya, yang di dalam pasal-pasal itulah terdapat norma primernya. Misalnya, Pasal 84 ayat (1). Di dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan
biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
Rumusan Pasal 84 ayat (1) ini sebenarnya pengulangan dari Pasal 8 ayat (1). Jika kita ingin menjerat korporasi atas pelanggaran Pasal 84 ayat (1) maka struktur norma dari Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 84 ayat (1) tersebut harus dibaca sebagai satu kesatuan dengan struktur norma dari Pasal 101.
Harus diyakini bahwa Pasal 101 tidak boleh dimaknai bertentangan dengan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 84 ayat (1). Seandainya, ada yang menafsirkan kedua pasal ini ada “pertentangan”, maka selalu tersedia asas hukum untuk membereskan “pertentangan” semacam itu. Karena Pasal 101 secara kronologis dan penomoran, munculnya lebih belakangan daripada Pasal 8 dan Pasal 84, maka ini berarti pasal yang lebih akhir selalu diberi kekuatan lebih oleh hukum daripada pasal di bagian awal. Pasal 101 jo 8 ayat (1) dan Pasal 84 ayat (1), jika dibaca sebagai satu kesatuan, maka dapat distrukturkan sebagai berikut:
SUBJEK NORMA: setiap korporasi (yang dalam hal ini diwakilkan kepada pengurusnya); OPERATOR NORMA: dilarang; OBJEK NORMA: melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan; KONDISI NORMA: dengan sengaja; di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia; dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan; yang dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya. Norma sekundernya adalah: pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp.1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
Karena korporasi tidak dapat dibebankan dengan pidana penjara, maka varian pidana bagi korporasi itu adalah pidana denda, yaitu paling banyak Rp.1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Harap dicatat bahwa kata kunci yang menjadi pesan penting dari Pasal 101 adalah penetapan “pidana dendanya ditambah 1/3 (sepertiga) dari pidana yang dijatuhkan.” Artinya, Pasal 101 adalah pasal yang memuat ketentuan pemberatan pidana. Memang benar bahwa kata sambung yang digunakan dalam Pasal 101 ini adalah kata “DAN” bukan “DAN/ATAU” sehingga terkesan bahwa norma sekunder yang melekat dalam tindak pidana korporasi ini harus kumulatif, tidak bisa alternatif. Bagi penganut legisme, lalu ditarik kesimpulan bahwa tidak mungkin ada korporasi yang dapat dijatuhi pidana kumulatif seperti itu. Agar bisa kumulatif, lalu pengurus korporasi itulah yang dijatuhi pidana penjara dan denda. Tindakan penjatuhan pidana terhadap pengurus ini identik dengan penjatuhan pidana terhadap korporasi. Cara berpikir seperti ini disebut pars pro toto.(menghukum satu orang berarti menghukum sekelompok orang), yang tidak lazim diterapkan dalam hukum pidana.
Cara bernalar seperti di atas tidak tepat karena akan berakibat Pasal 101 menjadi kehilangan eksistensinya karena pemaknaan seperti di atas sebenarnya cukup mengandalkan Pasal 84 ayat (1). Pasal 101 bakal menjadi kehilangan spiritnya, padahal penjeratan terhadap korporasi sebagai pelaku kejahatan perikanan kita yang selama ini seolah-olah tidak terjangkau hukum, adalah pesan moral yang terkandung dari pemberlakuan UU Perikanan. Kebijakan Pemerintah sekarang ini juga diarahkan ke sana. Pemasungan terhadap Pasal 101 jelas-jelas mencederai filosofi dari UU Perikanan dan bertentangan dengan kebijakan yang digariskan oleh Pemerintah. Kejaksaan sebagai aparatur negara yang menjalankan politik hukum Pemerintah dalam penegakan hukum, diharapkan berani menyuarakan semangat ini.
Oleh sebab itu semangat Pasal 101, sekali lagi tidak boleh hilang. Dalam teori perundang-undangan, pasal ini lebih kuat kedudukannya daripada Pasal 84 dan pasal-pasal awal yang diacunya. Lalu apa rekomendasi yang dapat dilakukan:
- Kejaksaan harus mulai berani menuntut korporasi dengan mendasarkan penuntutannya pada Pasal 101 UU Perikanan jo pasal-pasal yang mendeskripsikan norma primernya.
- Dalam memaknai Pasal 101 UU Perikanan, di dalam surat dakwaannya, Kejaksaan harus menyatakan bahwa sasaran norma dari pasal ini adalah korporasi, yang dalam hal ini diwakili oleh pengurusnya (ex-officio).
- Tuntut korporasi tersebut dengan sanksi pidana denda disertai pemberatan, yang kemudian dibebankan pelunasannya kepada pengurus korporasi yang ex-officio menjabat sebagai pengurus pada saat eksekusi atas putusan yang sudah in-kracht nanti akan dilakukan.
- Sementara terhadap pengurus korporasi yang menjadi menjabat pada saat tindak pidana perikanan itu terjadi, maka mereka dapat dituntut pidana penjara sesuai batas maksimal yang ditetapkan menurut undang-undang. Dalam konteks ini, pelakunya bertanggung jawab secara individual, bukan ex-officio dibebankan pada pengurus berikutnya.
Besar harapan kita, dalam waktu dekat sudah ada langkah strategis Kejaksaan kita untuk melakukan penuntutan ini. Apabila majelis hakim di persidangan nanti memiliki visi yang sama tentang hal ini, maka bakal tercipta preseden baru dalam penegakan hukum perikanan di Indonesia. (***)
Published at :