POLITIK HUKUM PENGATURAN KEBEBASAN BERAGAMA DI INDONESIA
Oleh ERNA RATNANINGSIH (Juli 2017)
Politik hukum adalah garis kebijakan (legal policy) resmi tentang hukum yang akan diberlakukan, baik dengan perbuatan hukum baru maupun dengan penggantian hukum lama dalam rangka mencapai tujuan negara. Dengan demikian, politik hukum merupakan pilihan tentang hukum yang akan diberlakukan sekaligus pilihan tentang hukum-hukum yang akan dicabut atau tidak diberlakukan yang kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai tujuan negara seperti tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. [1] Apabila kita melihat sejarah perdebatan rumusan pasal kebebasan beragama yang menjadi perdebatan founding fathers, maka pilihan hukum untuk menjadikan Pancasila sebagai dasar negara menunjukkan bahwa Indonesia bukanlah negara agama. Hal ini didasarkan pada alasan atas diubahnya keyakinan yang berdasarkan Islam dengan nilai-nilai yang lebih netral terhadap agama dan keyakinan agama lain, sehingga mengganti ketentuan prinsip-prinsip agama yang tercantum pada sila pertama Pancasila menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Relasi antara negara dan agama di Indonesia cukup unik dengan berlandaskan pada Pancasila. Indonesia dikatakan bukan negara agama dan juga bukan negara sekuler. Dalam rencana Pembangunan Lima Tahun di era Orde Baru, khusus mengenai peran agama dikatakan bahwa agama-agama memberikan landasan moral, etik, dan spiritual bagi pembangunan nasional sebagai pengamalan Pancasila. Di sini agama memiliki peranan penting, namun tidak dalam pengertian hukum agama dijadikan hukum positif. Hal yang menjadi penekanan adalah nilai-nilai agama (apapun agamanya) dapat dipakai sebagai landasan bagi penyelenggaraan pembangunan. Dengan demikian, pembangunan tidak diselewengkan ke arah yang tidak manusiawi (dehumanisasi).[2]
Untuk memahami apa itu politik hukum kebebasan beragama di Indonesia secara normatif dinyatakan di dalam pasal 28 E ayat (1) dan (2) Undang-Undang Dasar 1945 1945, yaitu::
- Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadah menurut agamanya;
- Setiap orang bebas berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya.”
Selanjutnya, diatur juga di dalam pasal 29 yang menyatakan negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya tersebut.
Ketentuan dalam konstitusi kemudian diikuti dengan lahirnya peraturan perundang-undangan lain yang menjamin kebebasan beragama yaitu Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik. Kedua Undang-Undang di atas lahir setelah masa reformasi dan keduanya menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Permasalahan hukum yang terjadi pada umumnya berkaitan dengan Implementasi dari Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama yang didalam penjelasannya menyatakan agama-agama yang dipeluk oleh penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha dan Khonghucu (Confucius). Enam agama inilah yang paling banyak dianut oleh masyarakat Indonesia. Selanjutnya di dalam penjelasannya dinyatakan bahwa ini tidak berarti agama-agama lain seperti Yahudi, Zarassutrian, Shinto, Taoism dilarang di Indonesia. Kesemua agama di atas pada prinsipnya mendapat jaminan penuh seperti yang diamanatkan pada pasal 29 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 dan undang-undang turunannya.
Dalam pelaksanaannya, ketentuan pasal 1 UU No.1/PNPS/1965 mengatur: setiap orang dilarang dengan dengan sengaja di muka umum menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan dari agama itu; penafsiran dan kegiatan agama menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama dilakukan bukan untuk mengingatkan untuk berhati-hati melemparkan tuduhan yang menodai komunitas agama. Pada masa pemerintahan Soeharto, ketentuan ini justru bertujuan “mengamankan” agama-agama” resmi yang diakui” negara yang pada gilirannya juga untuk mengamankan stabilitas kekuasaan negara.[3]
Pada masa lahirnya UU PNPS tahun 1965, kondisi negara dalam krisis politik setelah kudeta (G30S/PKI) yang membawa Soekarno mengeluarkan Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) tahun 1966, yang berisi pelimpahan kekuasaan kepada Soeharto. Ketika pemerintah Orde Baru naik ke pentas politik nasional, negara Indonesia sedang menghadapi krisis yang luar biasa dalam bidang politik dan ekonomi. Dalam bidang politik, krisis itu ditandai dengan berbagai demontrasi mahasiswa, pelajar dan ormas-ormas underbow parpol yang hidup dalam tekanan ketika era demokrasi terpimpin. Sedangkan di bidang ekonomi ditandai oleh sulit didapatnya berbagai keperluan sehari-hari dan melonjaknya harga-harga secara luar biasa.
Angka inflasi di Indonesia pada masa sulit tahun 1966 mencapai 600%, sedangkan ekonominya nyaris stagnan. Pemerintah orde baru bertekad untuk mengoreksi ketimpangan yang terjadi dengan memulihkan tertib politik berdasarkan Pancasila sekaligus meletakkan program rehabilitasi dan konsolidasi ekonomi. Pembangunan ekonomi menjadi sasaran utama, sedangkan stabilitas politik harus dibangun sebagai prayarat bagi pelaksanaan pembangunan ekonomi. Menurut Moh. Mahmud MD, konfigurasi politik pada periode 1959-1966 menampilkan konfigurasi politik otoriter yang didasarkan pada paham demokrasi terpimpin. Sedangkan periode orde baru 1996-1998 menampilkan konfigurasi politik non demokratis.[4]
Dilihat dari konfigurasi politik pada masa lahirnya UU PNPS maka latar belakang diberlakukannya PNPS adalah dalam rangka pengamanan negara dan masyarakat, cita-cita revolusi dan pembangunan semesta menuju masyarakat yang adil dan makmur. Pada masa berlakunya UU PNPS terjadi dalam konteks revolusi dimana posisi negara begitu dominan akibat Dekrit Presiden 1959 dan penerapan demokrasi terpimpin, [5] sehingga karakter produk hukum yang dihasilkan pada masa ini dapat dikategorikan sebagai hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks. Hal ini berdasarkan kesimpulan dari hasil penelitian Moh. Mahfud MD yang menunjukkan bahwa karakter produk hukum senantiasa berkembang seirama dengan perkembangan konfigurasi politik. Meskipun kapasitasnya bervariasi, konfigurasi politik yang demokratis senantiasa diikuti oleh munculnya produk hukum yang responsif/otonom, sedangkan konfigurasi politik yang otoriter senantiasa disertai munculnya hukum-hukum yang berkarakter konservatif/ortodoks.[6]
Setelah rezim orde lama dan orde baru jatuh, kemudian terjadi perubahan yang sangat mendasar dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang lebih demokratis dengan empat kali amandemen konstitusi dan lahirnya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang pengesahan Konvenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang mengatur kebebasan beragama, namun Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama tetap dipertahankan. Meskipun keberadaannya meminggirkan agama-agama di luar agama resmi dan agama lokal yang telah hidup dan tumbuh sebelum negara Indonesia ada. Dengan sikap ini, negara menjalankan politik hukum yang mengedepankan stabilitas politik mengingat pengakuan terhadap keberagaman agama apapun akan menyulitkan kontrol negara terhadap warganya yang akan menghambat pembangunan. Dengan perubahan (amandemen) konstitusi dan peraturan perundang-undangan lainnya tentang hak asasi manusia maka negara harus mengganti UU No. 1/PNPS/1965 yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia. (***)
Bahan Bacaan
[1] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2017, hlm.1.
[2] Andreas A. Yewangoe, Kebebasan Beragama di Indonesia, dalam Chandra Setiawan dan asep Mulyana (ed), Kebebasan Beragama atau Berkepercayaan di Indonesia, Komnas HAM, Jakarta, 2006, hlm. 55
[3] Musda Mulia, Op.Cit, hlm. 51.
[4] Moh. Mahfud MD, Op.Cit. hlm. 302-303.
[5] Erna Ratnaningsih, Jejak Kekerasan dalam Agustinus Edy Kristianto dan A. Patra M Zein (ed), Refleksi Kebebasan Beragama : Hukum Sesat dan Menyesatkan Hukum, YLBHI, Jakarta, 2009, hlm.184.
[6] Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi, Rajawali Pers, Jakarta, hlm. 72-73.