LABEL PANGAN
Oleh SITI YUNIARTI (Juli 2017)
Sebagai bentuk informasi kepada konsumen atas suatu produk pangan, Pemerintah mewajibkan penggunaan label. Dalam Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan (PP 69/1999), Label Pangan diberikan arti sebagai “setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukan ke dalam, ditempelkan pada atau merupakan bagian kemasan pangan”. Label pangan diwajibkan kepada setiap pelaku usaha yang memproduksi pangan di dalam negeri, maupun pelaku usaha yang mengimpor pangan untuk diperdagangkan.
Adapun, pangan yang wajib mencantumkan label pangan adalah pangan yang telah melalui proses pengemasan akhir dan siap untuk diperdagangkan serta tidak berlaku bagi pangan yang dibungkus dihadapan pembeli. Dalam PP 69/1999, pengecualian diberikan untuk: a. pangan yang kemasannya terlalu kecil sehingga tidak mungkin dicantumkan seluruh keterangan dimaksud; b. pangan yang dijual dan dikemas secara langsung dihadapan pembeli dalam jumlah kecil; c. pangan yang dijual dalam jumlah besar (curah).
Regulasi mengenai pangan, yakni Undang-Undang No.18 Tahun 2012 tentang Pangan dan peraturan pelaksananya, telah menetapkan keterangan minimal yang sekurang-kurangnya tercantum dalam label pangan sebagaimana telah disampaikan pada artikel “Label, Bukan Sekedar Tempelan!”. Hal lain yang menjadi titik perhatian dalam regulasi adalah keterangan yang dicantumkan dalam label terjamin kebenarannya dan tidak menyesatkan. Beberapa ketentuan dalam regulasi terkait dengan hal tersebut antara lain:
- Pencantuman label halal. Dalam hal, suatu produk pangan mencantumkan label “halal”, maka pelaku usaha bertanggung jawab atas kebenarannya. Kebenaran suatu pernyataan label “halal” tidak saja dibuktikan dari segi bahan baku, bahan tambahan pangan, atau bahan bantu yang digunakan, tetapi harus pula dibuktikan dalam proses produksinya.
- Memuat klaim tertentu. Dalam hal suatu produk pangan mencantumkan label yang memuat klaim tertentu, maka pelaku usaha bertanggung jawab atas kebenaran klaim tersebut.
- Manfaat bagi kesehatan. Pencantuman pernyataan tentang manfaat pangan bagi kesehatan hanya dapat dilakukan apabila didukung oleh fakta ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.
- Fungsi sebagai obat. Pencantuman pangan bersangkutan yang dapat berfungsi sebagai obat adalah dilarang dicantumkan dalam bentuk apapun.
Selanjutnya, terkait dengan pengolahan pangan, maka beberapa ketentuan dalam regulasi terkait dengan keterangan dalam label pangan antara lain:
- Pada pangan yang mengalami perlakuan iradiasi wajib dicantumkan tulisan”PANGAN IRADIASI”, tujuan iradiasi, dan apabila tidak boleh diiradiasi ulang, wajib dicantumkan tulisan TIDAK BOLEH DIIRADIASI ULANG.
- Pada pangan hasil rekayasa genetika, wajib dicantumkan tulisan PANGAN REKAYASA GENETIKA.
- Pada Pangan Olahan tertentu, wajib memuat keterangan tentang peruntukan, cara penggunaan, dan/atau keterangan lain yang perlu diketahui mengenai dampak Pangan terhadap kesehatan manusia. Pangan olahan tertentu diperuntukan bagi bayi, anak berumur 5 tahun, ibu yang sedang hamil atau menyusui, orang yang menjalani diet khusus, orang lanjut usia dan orang berpenyakit tertentu.
- Pada pangan yang dibuat tanpa menggunakan atau hanya sebagian menggunakan bahan alamiah, dilarang menyatakan bahwa pangan seluruhnya dibuat dari bahan alamiah.
- Pada pangan yang dibuat dari bahan setengah jadi atau bahan jadi, dilarang memuat pernyataan sebagai pangan yang dibuat dari bahan segar.
Berdasarkan Laporan Tahunan BPOM 2015, BPOM melakukan pengawasan terkait label terhadap 8.082 produk pangan. Ditemukan adanya pelanggaran dengan kategori sebagai berikut: a. tidak mencantumkan nama dan alamat/produsen/importir; b. tidak mencantumkan kode produksi/no batch; c. tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa; d. komposisi tidak lengkap/tidak sesuai; e. berat bersih/netto; f. tanpa bahasa Indonesia; g. klaim menyesatkan. Adapun terkait dengan penggunaan label “halal”, dilakukan pemeriksaan terhadap 11.939 produk berlabel halal yang mana ditemukan 6% (enam prosen) produk yang melanggar dengan kategori pelanggaran sebagai berikut:a. pelaku usaha tidak memperpanjang sertifikasi halal, namun masih mencantumkan logo halal; b. pencantuman logo halal dari negara asal, sedangkan yang berlaku di Indonesia adalah logo halal yang dikeluarkan MUI, dan c. pencantuman logo halal tapi tidak memiliki sertifikat halal MUI dan persetujuan pencantuman logo halal dari Balai Besar/Balai POM setempat.*) Sebagai keterangan tambahan, bahwa di tahun 2017, kasus yang masih hangat dibicarakan adalah perihal mie asal korea dengan merek dagang “Samyang” yang positif mengandung fragmen babi, namun tidak mencantumkan dalam label.
Dengan demikian, dengan mengacu pada tujuan pengadaan label pangan oleh pelaku usaha, yakni untuk memberikan informasi yang benar kepada konsumen, maka dengan masih adanya pelanggaran-pelanggaran tersebut di atas sekiranya dapat mengindikasikan bahwa tujuan penyelenggaraan ketentuan label pangan belum tercapai seluruhnya yang pada akhirnya mempengaruhi optimalisasi perlindungan terhadap konsumen. Oleh karena itu, kembali diperlukan sinergi dari pemerintah untuk secara konsisten melakukan monitoring dan penindakan pelanggaran, awareness pelaku usaha serta kesadaran konsumen atas hak-hak konsumen. (***)
REFERENSI:
*) Untuk keterangan lengkap dapat mengakses: http://www.pom.go.id/ppid/2016/kelengkapan/laptah2015.pdf (online) (diakses tanggal 6 Agustus 2017).