‘DISRUPTIVE INNOVATION’ ATAUKAH ‘INNOVATIVE DISRUPTION’?
Dalam seminar nasional yang diadakan di Hotel Grand Inna Malioboro, Yogyakarta, tanggal 27 Juli 2017, diangkat topik tentang “disruptive innovation”. Dalam seminar ini dosen Jurusan Hukum Bisnis (Business Law) BINUS Dr. Bambang Pratama, hadir sebagai pembicara. Acara ini diprakarsai oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), bekerja sama dengan Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU) dan Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Seminar dibuka oleh Wakil Ketua KPPU R. Kurnia Sya’ranie dan Rektor UII Dr. Nandang Sutrisno. Acara seminar ditutup oleh Ketua FDPU yang juga Ketua Jurusan Hukum Bisnis BINUS Dr. Shidarta. Seminar diikuti oleh hampir 200 peserta yang datang dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Juga tampak hadir wakil-wakil dari kementerian dan DPRD di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta
Selain Dr. Bambang Pratama, juga tampil para pembicara dari KPPU, FH UII, dan FE UII. Mereka umumnya menekankan bahwa fenomena inovasi di bidang ICT memang tidak dapat dicegah, tetapi harus dikelola. Perkembangan ini memang mengganggu bagi pebisnis yang sudah mapan dan konvensional, tetapi di sisi lain dirasakan sebagai kemudahan bagi konsumen. Pada kesempatan itu, Bambang Pratama menjelaskan secara gamblang fenomena ini dan dampaknya dari sisi hukum siber. Ia melihat ada kelemahan pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik kita, kendati sudah diadakan perubahan. Ahli hukum siber BINUS ini menilai undang-undang ini masih kuat berorientasi pada pemidanaan, padahal dimensi hukum siber sangat didominasi oleh hukum privat.
Dalam acara ‘press conference’ menjelang acara seminar, Dr. Shidarta juga menekankan bahwa pelaku bisnis yang menganggap fenomena ini sebagai “disruptive innovation” justru harus diwaspadai agar tidak bersikap resisten, sehingga menghambat pemain baru untuk masuk (entry barrier). Ia mengapresiasi sikap KPPU yang menyarankan agar Pemerintah Indonesia tidak terdorong menetapkan batas bawah untuk harga yang dikenakan bagi konsumen jasa transportasi. Hal ini bagus agar pasar masih menjadi ‘buyer’s market”. Ditambahkan oleh Shidarta, bahwa langkah ini bisa saja mengandung bahaya bahwa pelaku usaha akhirnya menjadi jor-joran memberi harga murah, seperti yang dikeluhkan terjadi pada bisnis Internet. Akhirnya, hanya ada satu atau sekelompok pelaku usaha yang bertahan di bisnis ini, yang menyebabkan terjadi posisi dominan yang membahayakan persaingan usaha yang sehat. Kecenderungan ini harus dicermati oleh KPPU. “Disruptive Innovation masih mungkin bernada positif,” ujarnya, sambil mengingatkan.. “jangan sampai yang terjadi malahan innovative disruption.” (***)