People Innovation Excellence

TUMPANG TINDIH LINGKUP DAN KETENTUAN PIDANA MENGENAI UJARAN KEBENCIAN DI INDONESIA

Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Juli 2017)

Kata hate speech telah menjadi buzzword di sosial media. Akan tetapi dalam 17th RightCon Southeast Asia tahun 2015 pengguna sosial media tidak memahami apa yang dimaksud dengan kata hate speech tersebut. Memang tidak mudah untuk mendefinisikan hate speech karena kata tersebut memiliki pengertian yang berbeda di setiap negara yang berkaitan dengan berbagai aspek seperti keadaan sosial maupun sejarah.

Dalam berbagai konvensi internasional kata hate speech dikaitkan dengan hak atas kebebasan berpendapat. Larangan hate speech merupakan pembatasan dari kebebasan berpendapat. Definisi mengenai hate speech baru disinggung dalam International
 Convention
 on
 the
 Elimination
 of
 all
 Forms
 of
 Racial
 Discrimination (ICERD) dimana dalam Pasal 4 huruf a ICERD meninggung mengenai ruang lingkup ujaran kebencian yang meliputi penyebarluasan gagasan berdasarkan superioritas ras atau kebencian rasial, hasutan terhadap diskriminasi rasial, serta semua tindak kekerasan atau hasutan terhadap tindakan diskriminasi terhadap ras atau kelompok orang dengan warna lain atau asal etnis.

Kata hate speech dalam bahasa Indonesia disepadankan dengan kata ujaran kebencian dan merupakan pembatasan akan kebebasan berpendapat yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Bagi negara demokrasi seperti Indonesia sensor atas kebebasan berpendapat dilarang, oleh karenanya larang bagi ujaran kebencian diatur dalam hukum pidana. Akan tetapi karena tidak ada definisi yuridis mengenai apa yang dimaksud sebagai ujaran kebencian sehingga membuat ketidakjelasan dalam lingkup dari perbuatan yang dikategorikan sebagai ujaran kebencian.

Dalam Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) tanggal 8 Oktober 2015 (SE Kapolri No. SE/6/X/2015) memberikan lingkup mengenai perbuatan apa yang dimaskud dengan ujaran kebencian. Objek dari ujaran kebencian yaitu pernyataan kebencian yang ditujukan terhadap ras, etnik dan agama tertentu namun diperluas menjadi terhadap individu maupun kelompok tertentu berdasarkan suku, agama, aliran keagamaan, kepercayaan, ras, warna kulit,
antar golongan, etnis, gender, orang dengan disabilitas dan orientasi seksual. Dalam SE Kapolri No. SE/6/X/2015 tersebut perbuatan ujaran kebencian meliputi tindak pidana penghinaan, pencemaran nama baik,
penistaan,
perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan penyebaran berita bohong dimana semua perbuatan tersebut bertujuan atau dapat berdampak pada tindak diskriminasi, kekerasan, penghilangan nyawa maupun konflik sosial.

SE Kapolri No. SE/6/X/2015 telah mencampuradukan ujaran kebencian dengan perbuatan lain yang tidak ada hubungannya dengan ujaran kebencian. Rumusan tersebut tidak sesuai dengan Pasal 4 huruf a ICERD. Selain itu secara historis perbuatan tersebut juga bukan sebagai kelompok hatzai artikelen. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), perbuatan ujaran kebencian dimasukkan dalam kelompok haatzai artikelen, yaitu pasal-pasal yang isinya memuat ancaman pidana bagi seseorang yang menyatakan penghinaan, kebencian, permusuhan kepada pemerintah, golongan–golongan tertentu, baik secara tertulis maupun tidak tertulis. Pasal-pasal tersebut meliputi Pasal 154, 155, 156, 156a dan 157 KUHP. Selain pasal-pasal tersebut beberapa sarjana hukum juga memasukan pasal-pasal penyebarluasan perasaan permusuhan dan kebencian dalam masyarakat kepada pemerintah yang sah dan penghinaan terhadap presiden dan wakil presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 134, 136 bis, dan 137 ayat (1) KUHP sebagai bagian dari hatzai artikelen.

Saat ini setidaknya ada tiga undang-undang berbeda yang mengatur perbuatan ujaran kebencian sebagai tindak pidana. Ketiga undag-undang tersebut adalah KUHP, Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 (UU ITE) dan Undang-Undang No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis (UU Penghapusan Diskriminasi).

Pertama dalam KUHP, ujaran kebencian terhadap ras, etnis dan agama diatur dalam Pasal 156, 156a dan Pasal 157 KUHP. Dalam Pasal 156 KUHP merupakan larangan melakukan ujaran kebencian terhadap golongan penduduk Negara Indonesia sedangkan Pasal 157 KUHP merupakan larangan penyebarluasan kebencian terhadap golongan penduduk dengan menggunakan sarana tulisan. Kata golongan penduduk warga negara tersebut ditafsirkan sebagai ras dan etnis di Indonesia. Pasal 156a KUHP mengatur mengenai larangan ujaran kebencian terhadap agama di Indonesia. Pasal-pasal ini yang dirumuskan secara formil dimana yang dipidana adalah pernyataan perasaan yang mengeluarkan perasaan bermusuhan, kebencian atau merendahkan golongan penduduk tertentu maupun agama.

Kedua, dalam UU ITE, diatur mengenai larangan untuk menyebarkan informasi yang menimbulkan kebencian atau permusuhan individu maupun kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA). Pelanggaran atas hal tersebut merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 28 ayat (2) Jo. 45A ayat (2) UU ITE.

Ketiga UU Penghapusan Diskriminasi juga diatur mengenai larangan menunjukan kebencian atau rasa benci kepada orang karena perbedaan ras dan etnis maupun berdasarkan diskriminasi ras dan etnis, pelanggaran ini pun merupakan suatu tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 4 Jo.16 UU Penghapusan Diskriminasi. Penggunaan istilah SARA dalam UU ITE menunjukan bahwa muatan dalam UU ITE tersebut lebih luas jika dibandingkan dengan UU Penghapusan Diskriminasi maupun dalam KUHP.

Yang menjadi permasalahan adalah ketiga undang-undang tersebut memuat rumusan pasal yang hampir sama dan hal ini menyebabkan terjadi tumpang tindih dalam pengaturan mengenai ujaran kebencian dalam undang-undang di Indonesia. Akibatnya terjadi kebingungan dari aparat penegak hukum dalam menggunakan undang-undang tersebut.

Memang dalam praktek Pasal 28 ayat (2) Jo. 45A ayat (2) UU ITE untuk perbuatan ujaran kebencian yang dilakukan melalui medium internet (siber) karena dianggap sebagai lex specialis dari Pasal 156, 156a dan 157 KUHP yang dipergunakan untuk menyebarkan ujaran kebencian melalui medium non internet (siber); sedangkan Pasal 4 Jo. 16 UU Penghapusan Diskriminasi jarang dipergunakan, padahal ketentuan dalam UU Penghapusan Diskriminasi lebih merefleksikan pengertian akan perbuatan ujaran kebencian sebagaiamana dimaksud dalam ICERD ketimbang KUHP maupun UU ITE. (***)



Published at :
Leave Your Footprint

    Periksa Browser Anda

    Check Your Browser

    Situs ini tidak lagi mendukung penggunaan browser dengan teknologi tertinggal.

    Apabila Anda melihat pesan ini, berarti Anda masih menggunakan browser Internet Explorer seri 8 / 7 / 6 / ...

    Sebagai informasi, browser yang anda gunakan ini tidaklah aman dan tidak dapat menampilkan teknologi CSS terakhir yang dapat membuat sebuah situs tampil lebih baik. Bahkan Microsoft sebagai pembuatnya, telah merekomendasikan agar menggunakan browser yang lebih modern.

    Untuk tampilan yang lebih baik, gunakan salah satu browser berikut. Download dan Install, seluruhnya gratis untuk digunakan.

    We're Moving Forward.

    This Site Is No Longer Supporting Out-of Date Browser.

    If you are viewing this message, it means that you are currently using Internet Explorer 8 / 7 / 6 / below to access this site. FYI, it is unsafe and unable to render the latest CSS improvements. Even Microsoft, its creator, wants you to install more modern browser.

    Best viewed with one of these browser instead. It is totally free.

    1. Google Chrome
    2. Mozilla Firefox
    3. Opera
    4. Internet Explorer 9
    Close