MEMAKNAI UJARAN KEBENCIAN MELALUI INTERNET DALAM PUTUSAN PENGADILAN
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Juli 2017)
Sejak Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 (UU ITE) diberlakukan terjadi peningkatan jumlah laporan pelanggaran atas UU ITE setiap tahunnya. Menurut Catatan Akhir Tahun 2016 South East Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) jumlah laporan atas pelanggaran UU ITE sebanyak 177 laporan ke pihak yang berwajib, jumlah tersebut melonjak dari tahun 2014 yang hanya 20 laporan maupun tahun 2015 yang hanya 35 laporan. Dari angka tersebut laporan atas pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian sebanyak 23 laporan, menempati urutan kedua terbanyak setelah laporan atas pelanggaran Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik yaitu sebanyak 141 laporan.
Sejak UU ITE diberlakukan telah banyak perkara pelanggaran atas Pasal 28 ayat (2) UU ITE yang dibawa dalam proses peradilan pidana dan telah diputus serta berkekuatan hukum tetap. Analisa terhadap tiga putusan pengadilan dari tahun 2012 sampai dengan 2016 menunjukan bahwa terdapat kekurangcermatan majelis hakim dalam menerapkan ketentuan Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UU ITE.
Dalam putusan Pengadilan Negeri Muaro No. 45/PID.B/2012/PN.MR atas nama terdakwa Alexander AN, Perkara ini bermula ketika terdakwa membuat akun di Facebook dengan nama profil Alex AN serta membuat Facebook Group Atheis Minang dan di wall keduanya terdakwa mengunggah link gambar dan tulisan Nabi Muhammad yang berjudul Nabi Muhammad bersetubuh dengan pembantu isterinya, dan hal ini menimbulkan reaksi keras dalam masyarakat. Dalam pertimbangan hukumnya majelis hakim berpendapat bahwa perbuatan terdakwa membuat Facebook Group Atheis Minang bukan merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dalam mengemukakan keyakinannya karena paham atheis di Indonesia tidak diperbolehkan dan perbuatan mengunggah link gambar dan tulisan tersebut merupalan perbuatan yang menodai agama Islam serta melecehkan Nabi Muhammad sebagai suri tauladan ummat Islam sehingga majelis hakim menyatakan terdakwa bersalah melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UU ITE. Dalam putusan ini Majelis Hakim telah mempercampuradukan antara ujaran kebencian pada Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UU ITE dengan ketentuan Pasal 156a KUHP dan penodaan agama (blasphemy) padahal Indonesia tidak diatur mengenai tindak pidana penodaan agama.
Demikian pula dalam putusan Pengadilan Pati No. 10/Pid.Sus/2013/PN.PT atas nama terdakwa Muhamad Rokhisun Bin Ruslan dimana Majelis Hakim tidakcermat dalam menerapkan pasal dan mencampuradukan ujaran kebencian dengan pencemaran nama baik. Perkara ini bermula ketika terdakwa hendak merusak rumah tangga Kristiningrum dengan FX Yudi Arif Wicaksono dengan cara membuat akun Facebook dengan nama Frans Johan Arif dan mengunggah foto telanjang dada Kristiningrum dan foto FX Yudi Arif Wicaksono selain itu terdakwa juga mengunggah karikatur Nabi Muhammad dan membuat status atau kata-kata yang menyerang antara lain “Buat orang islam di pati diagama Nasrani prnah dicramahin lo agama islam adlah ajaran sesat orang islam adlah domba yang perlu diselamatkan”. Dalam pertimbangan hukumnya Majelis Hakim menyatakan bahwa perbuatan terdakwa merupakan perbuatan yang menyerang kehormatan seseorang juga menistakan agama Islam serta melecehkan daerah Kabupaten Pati sehingga Majelis Hakim menyatakan terdakwa bersalah melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UU ITE. Pasal yang diterapkan tersebut tidaklah tepat, perbuatan terdakwa tersebut seharusnya dikualifikasikan sebagai pencemaran nama baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1) UU ITE karena tujuan dari perbuatan terdakwa adalah untuk mencemarkan nama baik FX Yudi Arif Wicaksono sehingga ia dipecat dari pekerjaannya yang berdampak pada rumah tangganya dengan Kristiningrum.
Selain itu tidak jelasnya mengenai kalimat yang dikualifikasikan sebagai ujaran kebencian terhadap SARA membuat terjadinya kriminalisasi terhadap kebebasan berpendapat. Seperti dalam perkara tindak pidana ujaran kebencian atas nama terdakwa I Wayan Hery Christian, seorang mahasiswa di Palu yang menulis perasaannya merasa terganggu suara takbir menyambut Idul Adha di sosial media Facebook. Majelis Hakim kemudian menyatakan bahwa terdakwa bersalah melanggar Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45 ayat (2) UU ITE. Padahal kalimat yang ditulis terdakwa tersebut hanya merupakan offensive speech akan tetapi atas desakan masyarakat di Palu kemudian perkara ini diproses secara hukum.
Pada akhirnya dari ketiga putusan pengadilan yang telah berkekuatan tetap tersebut dapat disimpulkan bahwa kurang jelasnya konsep ujaran kebencian dalam peraturan perundang-undangan yang ada menyebabkan ketidaktepatan penggunaan pasal, kriminalisasi dan pembatasan atas kebebasan berekspresi di Indonesia.(***)
Published at :