ILUSI MüLLER-LYER DAN KEADILAN RESTORATIF
Oleh SHIDARTA (Juli 2017)
Baru-baru ini ada insiden di bandar udara Sam Ratulangi, Manado. Seorang ibu, isteri seorang jenderal polisi berbintang satu, menampar petugas yang meminta si ibu melepaskan jam tangan ketika harus melewati pintu pemeriksaan. Kasus ini menjadi viral di media sosial, namun seperti diduga, perkara ini tidak mencapai titik klimaks karena Kepolisian sejak awal sudah menyarankan agar kedua belah pihak memilih jalan damai. “Ini bentuk restorative justice,” kata seorang pejabat teras Kepolisian kita.
Kata-kata “justice” yang dipinjam-pakai untuk menyiasati kasus di atas, membawa kita pada diskursus singkat tentang keadilan. Secara etimologis, kata “adil” diserap dari bahasa Arab: ‘adala, yang berarti lurus dan sama. Keadilan dalam bahasa Yunani disebut Dikē (Δίκη) yang secara harifiah bermakna pembagian yang sama, baik panjang, lebar, atau luasnya. Seorang ayah yang membagi tanah warisan kepada tiga orang anaknya dengan masing-masing mendapat sepertiga luas tanah itu, maka ayah ini dianggap figur yang adil. Namun, keadilan sekadar sebagai kesamaan pembagian, bisa menjadi bahan diskusi yang menyesatkan, karena membawa kita pada ilusi tentang kesamaan itu sendiri. Ilusi ini antara lain diperkenalkan oleh Müller-Lyer, seperti terlihat dalam gambaran di bawah ini:
Pada gambar di atas, terlihat bahwa garis vertikal di sebelah kanan (fork junctions) lebih panjang daripada yang di sebelah kiri (arrow junctions). Ini adalah sebuah ilusi karena sebenarnya kedua garis vertikal itu sama panjangnya. Dalam buku berjudul Cognitive Psychology (2008) yang ditulis oleh Robert L. Solso dkk., ada penjelasan tentang ilusi tersebut. Menurut mereka, ilusi terjadi karena ada perbedaan antara informasi yang diterima sistem sensori kita dengan informasi yang diinterpretasi dalam pikiran kita. Topik ini adalah sebuah studi psikologi yang menarik, yang disebut sebagai psikofisika (psychopysics).
Dijelaskan bahwa ilusi ini terjadi karena pengalaman masa lalu kita, yang mengajarkan kita bahwa bentuk-bentuk tertentu mungkin menunjukkan objek itu ada di kejauhan, sementara bentuk-bentuk lainnya ada di dekat kita. Jadi, bentuk fork junctions itu benda yang lebih dekat, sementara bentuk arrow junctions ada di tempat yang lebih jauh, sehingga terciptalah ilusi bahwa yang lebih dekat itu memiliki ukuran lebih panjang. Bahkan, kendati kita sudah memahami garis vertikal itu sama panjangnya, ilusi ini tetap saja muncul di penglihatan kita.
Demikianlah dengan keadilan. Terlepas apapun istilah yang ingin dilekatkan pada keadilan itu, apakah disebut keadilan restoratif, keadilan substantif, keadilan prosedural, keadilan distributif, keadilan komutatif, keadilan legalis, dan puluhan istilah lain, ia tetaplah menawarkan ilusi seperti Müller-Lyer illusion.
Mari kita kembali ke kasus di bandara Manado di atas. Kasus ini menjadi viral karena videonya diunggah oleh pejabat tinggi di Kementerian Perhubungan. Dengan diangkatnya video ini ke hadapan publik oleh pejabat tersebut, dapat dipersepsikan bahwa pejabat ini berpandangan kasus ini bukan lagi urusan personal antara si penampar dan yang penampar. Kasus ini menyangkut wibawa institusi, yaitu wibawa petugas dan korps Kementerian Perhubungan yang sedang menjalankan tugas atas perintah undang-undang. Oleh sebab itu, ketika kasus ini dibawa ke ranah kepolisian sebagai penyelidik dan penyidik perkara pidana, ia harus dibaca dalam konteks ini. Belum lagi jika dilihat dari ketersinggungan publik yang diwakilkan dari ramainya desakan netizen ke Kepolisian untuk menindaklanjutinya kasus ini. Siapapun yang membangkang atau melawan petugas resmi negara yang sedang menjalankan tugas sesuai undang-undang, adalah pelaku tindak pidana (lihat misalnya Pasal 214 KUHP).
Persoalannya adalah bahwa Kepolisian lalu secara subjektif menganggap kasus ini tidaklah perkara serius, sehingga tidak harus ditindaklanjuti lebih jauh karena si penampar sudah memberikan maaf dan yang ditampar juga sudah memaafkan. Inilah “restorative justice,” menurut pemahaman Kepolisian. Mari kita perbandingkan dengan kasus yang lain, misalnya ketika ada calon penumpang yang secara bercanda mengatakan bahwa bagasi yang dibawanya berisi bom. Atas tindakan ini, Undang-Undang No 1 tahun 2009 tentang Penerbangan memberi ancaman sanksi pidana penjara sampai satu tahun. Jika candaan tersebut menimbulkan kepanikan yang berakibat hilangnya nyawa orang lain, maka sanksinya bisa sampai 15 tahun penjara. Kita lalu dihadapkan pada komparasi tentang perbuatan calon penumpang yang bercanda tentang bom dan calon penumpang yang menampar petugas. Mana di antara kedua kasus ini yang tergolong serius dan tidak serius?
Alhasil, kita melihat bahwa penggunaan sebutan seperti restorative justice untuk menyikapi kasus-kasus seperti di atas, sesungguhnya akan menghadapkan Kepolisian pada kesulitan di kemudian hari karena tolok ukur tentang apa yang dinamakan keadilan restoratif itu sendiri tidak pernah mampu ditampilkan. Keadilan restoratif kemudian mengalami simplifikasi, yakni keadilan yang dicapai di luar jalur formal. Sepanjang para pihak yang terlibat langsung sudah saling memaafkan, maka mekanisme hukum akan dihentikan. Penyederhanaan makna seperti ini berpotensi membingungkan masyarakat. Keadilan restoratif adalah keadilan yang menekankan pada upaya untuk melakukan pemulihan pada kondisi si korban atau pada kerusakan yang sudah ditimbulkan. Penghentian proses pengusutan atas suatu kasus, tidak identik dengan keadilan restoratif. Penghentian proses pengusutan dengan alasan keadilan restoratif berpeluang menciptakan impunitas di dalam hukum. Dalam banyak peristiwa, keadilan restoratif justru didapat setelah melalui due process of law, namun di dalam konteks ini, sanksi yang dijatuhkan berfokus pada kepentingan konkret semua pihak, bukan diarahkan pada semangat retaliasi terhadap pelaku.
Tentu saja, patut diapresiasi sikap Kepolisian untuk tidak selalu memproses setiap kasus yang terjadi di masyarakat, walaupun mungkin di dalam kasus itu terkandung unsur-unsur pelanggaran hukum pidana. Sepanjang kerusakan akibat suatu tindakan anti-sosial telah dipenuhi, Kepolisian dapat mengambil sikap untuk tidak melanjutkan proses penyidikan kasus itu. Namun, kasus-kasus ini tentu sangat selektif dan biasanya tidak memiliki dampak sosial yang meluas. Dalam doktrin hukum pidana, delik-delik aduan termasuk dalam kategori ini, bahwa sepanjang pihak yang dirugikan tidak menyampaikan aduan, maka tidak ada alasan bagi Kepolisian untuk memulai proses penyidikan.
Sekarang kita tinggal menilai apakah penamparan terhadap petugas yang sedang menjalankan kewajiban resmi menurut undang-undang, adalah sebuah kasus yang memenuhi kriteria tersebut. Jika kita sulit memberikan jawaban, jangan-jangan kita memang sedang dihadapkan pada ilusi tentang keadilan itu sendiri. (***)
Catatan: ilustrasi tentang Ilusi Müller-Lyer di atas diambil dari: http://www.mind.ilstu.edu/curriculum/mueller_lyer_illusion/ml3_intro_to_visual_illusions.php
Published at :