RUMAH SAKIT: PILIH YAYASAN ATAU PERSEROAN TERBATAS?
Oleh ERNI HERAWATI (Juni 2017)
Jika membicarakan rumah sakit maka kita seringkali berpikir bahwa rumah sakit adalah sebuah lembaga yang semata-mata hanya bergerak untuk tujuan-tujuan dan aktivitas-aktivitas sosial saja, sehingga pilihan pendirian semata-mata hanya berbentuk yayasan. Demikian juga dalam pandangan masyarakat, masih banyak yang menganggap bahwa rumah sakit bukanlah wadah untuk melakukan usaha. Namun sejak diundangkan Undang-Undang No. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan dan Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, maka orientasi para pendiri rumah sakit dan mereka yang akan mendirikan rumah sakit mulai berubah. Melalui kedua undang-undang tersebut telah dimungkinkan didirikannya rumah sakit sebagai sebuah badan usaha yang berbentuk perseroan terbatas.
Sebelum tahun 2001 masih belum ada aturan khusus tentang yayasan, pendirian yayasan masih didasarkan atas kebiasaan yang berlaku dalam masyarakat. Pada saat diundangkannya UU Yayasan tahun 2001, terdapat suatu kekuatiran dari para pendiri yayasan (termasuk yayasan dengan bidang pelayanan rumah sakit) yaitu meskipun yayasan diperbolehkan melakukan usaha untuk menunjang maksud dan tujuan yayasan, namun terdapat larangan bagi yayasan untuk membagikan hasil kegiatan usaha kepada organ yayasan yaitu Pembina, Pengurus, dan Pengawas yayasan. Dengan demikian maka menurut undang-undang, yayasan benar-benar harus ditujukan untuk tujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Dengan ketentuan ini maka tidak ada ruang bagi pemangku organ yayasan untuk memperoleh “keuntungan” dari beroperasinya yayasan, termasuk yayasan dalam bidang pelayanan kesehatan.
Oleh karena itu, ketika diundangkan UU No. 44 Tahun 2009, banyak rumah sakit yang berbentuk yayasan kemudian mulai berpikir untuk mengubah status yayasan menjadi perseroan terbatas. Demikian juga mereka yang akan mendirikan rumah sakit, sudah mulai melirik untuk mendirikan rumah sakit dengan bentuk badan usaha perseroan. Hal ini dimungkinkan karena dalam undang-undang tersebut ditentukan dalam Pasal 7 ayat (2) bahwa rumah sakit dapat didirikan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, atau swasta. Untuk rumah sakit yang didirikan oleh swasta sebagaimana yang dimaksud pada ayat (2) harus berbentuk badan hukum yang kegiatan usahanya hanya bergerak di bidang perumahsakitan. Dipertegas lagi dalam Pasal 20 ayat (1) bahwa berdasarkan pengelolaannya, rumah sakit dapat dibagi menjadi rumah sakit publik dan rumah sakit privat. Untuk rumah sakit publik, maka dapat dikelola oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan badan hukum yang bersifat nirlaba. Sedangkan dalam Pasal 21 disebutkan bahwa untuk rumah sakit privat dikelola oleh badan hukum dengan tujuan profit yang berbentuk Perseroan Terbatas atau Persero.
Dengan demikian jelas bahwa rumah sakit sebagai institusi pelayanan kesehatan tidak hanya dibatasi semata-mata untuk tujuan sosial saja, tetapi juga undang-undang memberikan kemungkinan bagi pelayanan rumah sakit untuk didirikan dengan tujuan komersial. Jika demikian, maka berjalannya rumah sakit privat harus sejalan dengan keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS). Dengan ketentuan ini, maka harus tetap diingat bahwa kepentingan binis oleh pemilik usaha dalam bidang jasa rumah sakit harus tetap memperhatikan hak-hak pasien baik sebagai pihak yang harus dilayani kesehatannya juga sebagai konsumen. Sedangkan rumah sakit publik, baik milik Pemerintah, Pemerintah Daerah, serta badah hukum nirlaba, maka meskpiun memiliki tujuan sosial namun tetap harus memiliki pelayanan yang baik terhadap pasien. (***)