PEMBUNUHAN BERMOTIF BISNIS DARI PERSPEKTIF KRIMINOLOGI
Olelh AHMAD SOFIAN (Juni 2017)[1]
Pembunuhan dapat dilihat dari berbagai aspek ilmu pengetahuan, tidak hanya ilmu sosial tetapi juga ilmu eksakta. Dalam Ilmu kodekteran, pembunuhan dapat didekati dengan ilmu forensic untuk menemukan faktor-faktor medis yang menyebabkan kematian. Dalam ilmu biologi, pembunuhan akan dilihat dari anatomi tubuh dan fisiologi dari korban. Dalam ilmu toksiologi, pembunuhan akan dilihat dari perspektif: adakah racun yang menyebabkan kematian tersebut, dan jenis racun yang menyebabkan kematian tersebut. Dalam konteks ilmu sosial pembunuhan dapat dilihat dari berbagai disiplin ilmu yaitu ilmu sosiologi, antropologi, psikologi, krimininologi dan ilmu hukum.
Dalam pandangan kriminologi pembunuhan bisa dikatakan sebagai sebuah permainan antara dua pihak yang berseteru dan nyawa dari korbannya adalah hadiah. Seorang pembunuh profesional sangat mudah ditemukan dalam kejahatan-kejahatan terorganisasi, bahkan seorang pembunuh profesional bisa juga ditemukan di dalam badan penegakan hukum dan militer. Pembunuh profesional tidak harus direkrut dari luar, tetapi juga bisa berasal dari orang-orang terdekat korban yang dipengerahui dan kemudian menjadi “penghianat”. Namun banyak pembunuhan-permbunuhan besar sulit dibongkar dengan pendekatan kriminologi sekalipun. Para perancang pembunuhan yang berada dipuncak gagal untuk ditemukan dan diseret ke pengadilan, karena sulitnya menarik keterkaitannya dengan peristiwa pembunuhan tersebut, atau ketakutan yang amat sangat dimiliki oleh korban dan keluarganya atau keengganan tampuk kekuasaan untuk membongkar kasus tersebut.
Dalam kriminologi ada dua aspek yang menjadi fokus utama yaitu ingin menemukan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang dalam melakukan kejahatan. Setelah kriminologi menemukan faktor-faktor yang menyebabkan seseorang atau sekelompok orang melakukan kejahatan, maka kriminologi melanjutkannya dengan hukuman atau sanksi apa yang paling tepat terhadap pelaku kejahatan tersebut. Tentu saja hukuman yang paling tepat adalah setelah mengetahui seluk beluk faktor yang menyebabkan pelaku melakukan kejahatan tersebut.
Sejumlah teori yang menjelaskan tentang sebab-sebab seorang atau sekelompok orang melakukan kejahatan. Berbagai teori ini dikelompokkan menjadi tiga cluster besar yaitu pertama, penjelasan sebab kejahatan dari perspektif biologis, kedua dari perspektif sosiologis dan ketiga dari perspektif psikologis. Dalam perkembangan terbaru, para kriminolog memberikan fakta bahwa sebab-sebab kejahatan tidak bisa dilihat dari tiga penjelasan itu saja, tetapi juga bisa dilihat dari psikobiologis atau psikosial. Dengan kata lain, sebab kejahatan tidak bisa dilihat dari satu disiplin ilmu saja tetapi gabungan dari disiplin ilmu bisa memotret kejahatan itu sehingga penanggulangan kejahatan apapun harus menggunakan pendekatan mulitsiplin ilmu (Robert J Lily, 2015). Salah satu ilmuwan yang menganalisis sebab kejahatan dari multiperspektif adalah Enrico Ferry. Dia menyatakan bahwa timbulnya kejahatan merupakan produk dari keadaan fisik pada diri orang tersebut dan juga merupakan produk antara faktor fisik dan faktor lainnya misalnya ras, geografis, temperatur, faktor sosial dan variable-variabel psikologi (Topo Santoso, 2001).
Berdasarkan faktor-faktor tersebut, selanjutnya Ferri menjelaskan bahwa sedikitnya ada lima kelompok penjahat yaitu (1) the born criminals atau instinctive criminals atau penjahat yang dilahirkan (2) the insane criminals atau secara klinis diidentifikasi sebagai sakit mental; (3) the passion criminals atau melakukan kejahatan sebagai akibat problem mental atau keadaan emosional yang panjang dan kronis; (4) the occasional criminal atau merupakan produk dari kondisi-kondisi keluarga dan sosial yang lebih dari problem fisik atau mental yang abnormal (5) the habitual criminals atau memperoleh kebiasaan dari lingkungan sosial (Topo Santoso, 2001).
Bagaimana pandangan Enrico Ferri jika dikaitkan dengan kejahatan pembunuhan? Untuk itu, bisa salah salah satu faktor atau bahkan beberapa faktor bisa saling terkait untuk menentukan motif seseorang membunuh. Namun dalam konteks pembunuhan yang didasarkan pada motif politik atau motif bisnis, maka teori klasik Enrico Ferri belum tentu akurat dalam menentukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadi pembunuhan tersebut. Oleh karena itu, berkembang teori-teori berikutnya untuk menemukan faktor-faktor yang menjadi faktor penyebab timbulnya kejahatan yang bermotif politik dan bisnis, teori tersebut meskipun bukan satu-satunya yang bisa menjelaskan tetapi paling tidak bisa menemukan titik terang. Teori konspirasi dinilai mampu menjelaskan berbagai kejahatan besar yang memiliki serabut dan akar yang jamak.
Teori konspirasi merupakan teori yang menjelaskan sebab-sebab kejahatan yang dirancang oleh kelompok terorganisasi. Para penganut teori ini berkeyakinan bahwa banyak peristiwa pembunuhan dilakukan dengan motif politik dan motif bisnis yang dirancang secara rahasia, adanya persengkongkolan oleh sekelompok orang. Kejahatan ini dimaksudkan untuk menguntungkan kelompok tertentu atua ingin melenyapkan seseorang atau kelompok tertentu. Jika didalami lebih jauh maka pandangan Michael Barkun menemukan akar dari teori konspirasi ini yang menurutnya adalah bahwa alam semesta diatur dan didesain, dan mewujudkan tiga prinsip yaitu tidak ada yang terjadi secara kebetulan, tidak ada yang tampak, dan semuanya terhubung (Michael Barkun, 2011).
Para ilmuwan mengakui sulit membongkar kejahatan-kajahatan yang didasarkan pada konspirasi (persengkongkolan). Hal ini disebabkan karena kejahatan itu dirancang sangat rapi. Dalam konteks ini sebenarnya, teori konspirasi sebagai pengembangan dari teori white collar crime yang dirintis oleh E. Sutherland. Kejahatan kerah putih menurut E. Sutherland merupakan kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang profesional, kalangan pembisnis, politikus dan kalangan birokrat. Kejahatan ini lebih bermotif bisnis (ekonomi) untuk memperoleh keuntungan sebanyak-banyaknya dan juga motif politik yaitu untuk mendapatkan kekuasaan atau mempertahankan kekuasaan. Kejahatan kerah putih dilakukan dengan sangat rapi dan sulit untuk diketahui, karena kejahatan jenis ini tertutup oleh selimut kekuasaan (Edwin Sutherland, 1983). Teori yang dikembangkan oleh E. Sutherland, menjadi titik tolak dalam menganalisis masalah kejahatan yang sulit ini. Selanjutnya Sutherland mengatakan bahwa kejahatan ini mengandung dua elemen penting yaitu elemen pelaku pelanggaran dan elemen pelanggaran. Pelaku pelanggaran harus mempunyai status tinggi sementara elemen kedua menjelaskan tentang jenis pelanggaran harus berbasis okupasi. Maksudnya adalah orang kaya atau orang yang berkuasa menggunakan posisi atau kedudukannya untuk menambah kekayaan atau kekuasaaannya (Edwin Sutherland, 1983).
Setelah teori lahir, seorang kriminolog yang kritis Jeffrey Reiman dalam bukunya yang berjudul The Rich Get Richer and the Poor Get Prison menyatakan bahwa kejahatan dari pihak kuat/berkuasa atau apa yang dikenal dengan kejahatan kerah putih sering diabaikan. Tidak banyak tulisan-tulisan yang kritis mengulas masalah ini. Bahkan menurutnya laporan yang dibuat oleh komisi kejahatan kerah putih di Amerika Serikat, hanya memuat 5 halaman dari total 814 halaman yang melaporkan tentang kejahatan di seantero Amerika Serikat tahun 1968. Beberapa tahun kemudian dunia krimonologi bangkit dan siuman dengan munculnya beberapa buku yang terbit pasca tahun 1975 yaitu : “Crimes of the Powerful (Perace 1976), “Illegal But Not Criminal : Business Crime in America (Conklin, 1977). Corporate Crime (Clinard and Yeager, 1980). Corporate Crime in the Pahrmaceutical Industry (Braithwaite, 1985), dan banyak artikel yang dipublikaskan setelah itu.
Pada prinsipnya tulisan-tulisan tersebut menyampaikan teorinya tentang : uang dan kekuasaan memungkinkan kejahatan besar dilakukan dan tanpa kena hukuman. Kerugian kejahatan yang ditimbulkan oleh pihak kuat dan berkuasa jauh melebihi kerugian dari kejahatan kelompok miskin atau kelompok lemah. Oleh karena itu, harus ada upaya menegakakan hukum yang adil bagi pelaku kejahatan papan atas sehingga mampu menghentikan kejahatan tersebut dan menimbulkan ketertiban dalam masyarakat.
Dengan menggunakan teori konspirasi ini maka sebenarnya beberapa kejahatan pembunuhan yang bermotif politik dan bisnis yang terjadi di Indonesia bisa dipecahkan. Sebut saja kasus kematian aktivis buruh Marsinah yang terjadi pada tahun 1993. Marsinah merupakan aktivis buruh yang mengiinisiasi mogok kerja untuk kenaikan upah sebesar 20 persen. Demikian juga kematian Munir, seorang aktivis HAM yang akan melanjutkan pendidikan S-2 di Belanda, harus meninggal di dalam pesawat Garuda Indonesia. Munir banyak terlibat dalam membongkar kasus-kasus pelanggaran HAM dan kekerasan baik yang dilakukan TNI maupun Polri. Demikian juga kasus meninggalnya Nasrudin Zulkarnaen bos PT Putra Rajawali Banjaran ditengarai juga merupakan sebuah konspirasi.
Pembunuhan: Dalam Konteks Hukum Pidana
Dalam konteks hukum pidana pembunuhan merupakan perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan dengan berbagai bentuk. Dalam membuktikan adanya kematian pada jenis tindak pidana ini umumnya tidak sulit karena matinya seseorang bisa dibuktikan dari adanya keterangan medis yang menyatakan seseorang sudah mati. Dalam ilmu medis kematian diartikan ketika jantung berhenti bekerja, ada juga yang mengatakan ketika terjadi kematian pada batang otak atau ketika seseorang berhenti bernapas.[2] Abdul Mun’in Idries[3] mengemukakan bahwa dalam menentukan kematian (moment of death) indikator medis yang digunakan adalah sistem syaraf, sistem pernapasan dan sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah). Ketika salah satu dari ketiga sistem tersebut mengalami gangguan sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik, maka akan mengganggu kedua sistem yang lain karena ketiga sistem itu saling berhubungan satu dengan lainnya, dan jika sudah dalam keadaan demikian, kelangsungan hidup manusia tidak dapat dipertahankan lagi, ia sudah mati.[4]
Dalam kasus, ketika seorang pembunuh bayaran menembakkan pistolnya dan persis mengenai kepala korban, lalu korban mati, secara medis dapat dengan mudah dibuktikan matinya korban karena peluru yang bersarang di otaknya. Masuknya peluru sebagai akibat dari perbuatan pembunuh bayaran tersebut. Sekalipun demikian, dalam banyak kasus matinya seseorang bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Perbuatan yang mengakibatkan kematian ini harus ditemukan, apakah karena perbuatan fisik yang dilakukan oleh pelaku, atau ada sebab-sebab lain yang menimbulkan kematian pada korban. Dengan demikian menimbulkan suatu tantangan tersendiri dalam menemukan perbuatan yang mengakibatkan kematian itu.
Dalam tindak pidana pembunuhan, harus dapat dibuktikan antara perbuatan atau pembiaran seseorang dan timbulnya akibat kematian. Akibat tersebut dapat diawali dengan luka berat dan kemudian jantungnya berhenti bekerja. Tidak semua tindak pidana pembunuhan dapat dibuktikan dengan mudah, karena dalam beberapa kasus perbuatan yang menimbulkan kematian pada korban tidak muncul seketika, namun ada jeda, atau rantai yang menghubungkan antara satu perbuatan dengan perbuatan lain atau ada keadaan lain yang menimbulkan kematian.
Demikian halnya di Indonesia, banyak kasus-kasus pembunuhan yang menarik perhatian publik, dan kasus-kasus pembunuhan yang menimbulkan polemik berkepenjangan, sebut saja kasus matinya Munir tahun 2004 dan kasus tewasnya Nasruddin Zulkarnaen tahun 2009. Awal tahun 2016, mencuat lagi kasus meninggalnya Wayan Mirna Salihin yang diduga disebabkan oleh sianida yang ditemukan dalam minuman kopi. Kasus meninggalnya Munir dan Nasruddin Zulkarnaen serta Mirna menjadi menarik karena disebabkan oleh rangkaian beberapa perbuatan.[5] Kasus-kasus yang digambarkan di atas merupakan kasus-kasus yang memiliki rantai yang tidak mudah menentukan perbuatan yang menjadi penyebab matinya korban. Dalam kasus-kasus yang memiliki rantai penyebab yang panjang, menimbulkan kesulitan dalam menentukan perbuatan yang mengakibatkan kematian dan oleh karena itu sulit juga dalam menentukan pertanggungjawaban pidana pelaku.[6]
Ketika berhadapan dengan kematian yang dimensi perbuatannya jamak dibutuhkan sejumlah bukti untuk menentukan penyebab kematian tersebut. Adakalanya bukti yang disajikan di pengadilan tidak cukup untuk menentukan sebab kematian seseorang, artinya tidak semua bukti-bukti yang diajukan dapat menjawab penyebab kamatian. Dibutuhkan ilmu pengetahuan yang dapat menghubungkan fakta-fakta tersebut, yang dapat menganalisa rangkaian fakta tersebut serta mengambil kesimpulan atas sejumlah fakta tersebut. Ilmu pengetahuan yang dapat menghubungkan dan menganalisa berbagai faktor penyebab dan menghubungkannya dengan akibat adalah ilmu kausalitas yang kemudian dalam ilmu hukum disebut dengan ajaran kausalitas.[7]
Ajaran kausalitas dipergunakan dalam rangka mengetahui perbuatan (perbuatan-perbuatan) apa saja yang menjadi penyebab kematian. Dengan kata lain, ajaran kausalitas berfungsi sebagai filter atau penyaring atas perbuatan-perbuatan yang relevan sebagai penyebab. Oleh karena itu menjadi penting untuk melihat sejauh mana causal verband dipergunakan dalam mendapatkan kebenaran materiil. Berikut ini dipaparkan dua kasus yang mengakibatkan matinya seseorang sebagai bukti pentingnya dipergunakan ajaran kausalitas.[8]
Kembali lagi kepada kasus yang disebutkan di atas, yaitu matinya Munir. Berdasarkan visum et repertum yang diterbitkan oleh Rumah Sakit di Belanda, penyebab kematian Munir adalah adanya kandungan arsenic di dalam tubuh Munir. Kasus ini terbilang rumit, karena perbuatan memasukan racun ke dalam minuman Munir tidak bisa dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum di pengadilan. Pengadilan hanya melihat dari rantai perbuatan sebelum matinya Munir. Rantai itu dimulai dari pembuatan surat palsu oleh Terdakwa Pollycarpus, lalu dengan surat palsu itu terdakwa bisa berangkat dan satu pesawat dengan Munir. Selama di dalam pesawat Pollycarpus memberikan tempat duduknya kepada Munir, dan Pollycarpus terlihat mondar-mandir di sekitar pantry. Rantai perbuatan ini dinilai oleh Jaksa sebagai rangkaian perbuatan yang mendahului, sebelum Pollycarpus memasukkan arsenic ke dalam minuman Munir yang mengakibatkan kematian. Rantai perbuatan ini sedemikian panjang sebelum berakhir pada kematian. Rantai yang panjang ini, menimbulkan perbedaan pandangan dalam menentukan atribusi pertanggungjawaban pelaku. Perbedaan pandangan ini terlihat dari putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung bahkan muncul pandangan kedua dari Mahkamah Agung dalam bentuk putusan Peninjauan Kembali.[9]
Kasus tewasnya Mirna memiliki kemiripan dengan kasus Munir. Mirna meninggal setelah meminum kopi di salah satu mall di Jakarta pada Bulan Januari 2016. Meskipun sudah ditetapkan sebagai terpidana, seorang pakar hukum pidana menilai bahwa sebaiknya pengadilan menggunakan salah satu doktrin kausalitas dalam memecahkan masalah tersebut, kesalahan dalam menetapkan doktrin kausalitas akan menyebabkan ketidakrelevanan dalam menentukan perbuatan yang menjadi sebab kematian Mirna. Harus ditemukan satu perbuatan yang saling berhubungan dengan kematian Mirna, dan hal ini tidak mudah. Kesulitan terbesar kasus ini adalah belum ditemukannya perbuatan yang memasukkan sianida ke dalam minuman Mirna.[10]
Kasus lain yang dapat dijadikan argumentasi adalah kematian seorang penumpang angkutan umum menuju ke pasar. Penumpang tersebut minta diturunkan di pertigaan tidak jauh dari pasar. Kendaraan umum itu berhenti di pinggir jalan dan si penumpang turun. Setelah turun, tiba-tiba saja tanpa melihat kiri kanan, ia berlari dan menyeberangi jalan raya. Seorang pengendara motor yang melintas di jalan itu menabraknya dan mengakibatkan matinya penumpang tersebut. Jaksa menuntut pengendara motor karena kelalaiannya mengakibatkan kematian. Namun pengadilan punya pendapat lain, pengadilan membebaskan pengendara motor karena pengendara motor tersebut mengendarai kendaraannya dengan kecepatan yang normal, tidak ada unsur ketidakhati-hatian. Penumpanglah yang memberikan kontribusi atas akibat yang muncul tersebut. Dengan kata lain perbuatannya “menyeberang jalan” lalu tertabrak pengendara motor yang menimbulkan akibat kematian. Pengendara motor dibebaskan dari tuntutan karena tidak memenuhi unsur kesalahan, meskipun perbuatannya mengakibatkan kematian.[11]
Dimensi kasus yang disebutkan di atas merupakan dimensi perbuatan jamak, berserabut dan tidak mudah untuk menemukan perbuatan mana yang menyebabkan meninggalnya korban, karena itu dalam memutus perkara tersebut hakim mempergunakan ajaran kausalitas untuk menentukan perbuatan yang menjadi penyebab dan mengakibatkan meninggalnya korban. Tanpa menggunakan ajaran kausalitas maka tidak mungkin hakim dapat menentukan causal verband dari keempat kasus yang disebutkan di atas.
Di sinilah pentingnya ajaran kausalitas ini dipergunakan dalam menentukan perbuatan (perbuatan) menimbulkan kematian. Ajaran kausalitas ada di dalam doktrn dan tidak ditemukan di dalam KUHP atau hukum positif lainnya. Keahlian penggunaan ajaran kausalitas oleh polisi, jaksa dan hakim sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kesalahan dalam menentukan tersangka, terdakwa maupun terpidana. Namun sayangnya, ajaran ini tidak dimanfaatkan yang disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah karena sulitnya terbatasnya kemampuan penegak hukum dalam menggunakan ajaran ini sehingga tidak sering sekali gagal dalam menentukan causal verband. Jika ajaran kausalitas digunakan maka akan mampu menangkal bahkan membongkar adanya konspirasi (persekongkolan) atas terjadinya delik pembunuhan.
Sekalipun demikian, ada konteks yang membedakan antara ajaran kausalitas dengan teori konspirasi. Dalam teori konspirasi yang dicari adalah “persengkongkolan” antara dua pihak untuk membunuh seseorang. Persengkongkolan ini dalam konteks hukum pidana disebut dengan motif yang mendasari dibunuhnya seseorang oleh pelaku. Motif ini tidak perlu dibuktikan di pengadilan, karena motif merupakan alasan subjektif dari seseorang untuk membunuh. Motif berbeda dengan niat jahat atau kesengajaan atau perencanaan, namun motif memiliki hubungan dengan dua unsur tersebut. Oleh karena itu banyak ahli hukum pidana yang berpendapat bahwa motif tidak perlu dibuktikan dalam kasus-kasus pembunuhan termasuk pembunuhan berencana.[12] Dalam konteks ini yang perlu dibuktikan adalah adalah unsur “pembunuhan berencana”, ketika telah terbukti maka ancaman hukumannya menjadi lebih berat. Motif menjadi dasar untuk menentukan apakah pembunuhan tersebut masuk dalam kategori pembunuhan biasa, pembunuhan yang diawali dengan penganiayaan, pembunuhan karena membela diri atau pembunuhan yang direncanakan. Motif membunuh seperti yang dipaparkan dalam teori konspirasi belum mampu diungkap dan dijadikan dasar dalam menentukan seseorang dihukum atau tidak.
Kesimpulan
Sebagai akhir dari pidato ini, maka kesimpulan penting yang bisa ditarik adalah bahwa pembunuhan yang bermotif politik dan bisnis merupakan kejahatan yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Pembunuhan yang bermotif politik dan bisnis ini bukan sekedar menghilangkan nyawa seseorang tetapi lebih dari itu yaitu ada konspirasi dari aktor-aktor tertentu. Kejahatan tersebut punya tujuan untuk mematikan atau membunuh karakter seseorang atau membunuh bisnis seseorang. Dengan demikian korban kejahatan ini bukan saja ditujukan kepada diri orang tersebut, tetapi juga orang-orang yang ada di sekitarnya, keluarganya, koleganya atau orang-orang yang selama ini menjadi bagian dari korban tersebut. Pada kejahatan yang bermotif bisnis, pembunuhan juga ditujukan kepada kepentingan bisnis korban, dan korporasi yang dikelolanya. Dengan demikian kejahatan yang bermotif bisnis dan politik memiliki dampak yang sangat luas dan sistemik. Jika dikaitkan dengan teori kesalahan, maka perbuatan ini dilakukan dengan terencana dan terukur.
Hukum pidana sendiri dalam menentukan sebab kematian, tidak menelisik jauh kepada motif politik, bisnis dan motif-motif lainnya. Bagi hukum pidana, yang paling penting adalah menemukan perbuatan yang menjadi penyebab kematian. Setelah menemukan perbuatan yang menjadi sebab, selanjutnya menentukan pertanggungjwaban pidana pelaku. Dalam menentukan pertanggungjawaban pelaku, motif tidak dipertimbangkan dalam menentukan kadar berat maupun kadar ringan hukumannya.
Oleh karena itu dalam hukum pidana Indonesia masa depan, motif seharusnya dipertimbangkan dalam menentukan berat ringannya hukum atau bahkan motif bisa dijadikan pertimbangan untuk membebaskan pelaku, jika ternyata dalam konteks tindak pidana tersebut ada keterlibatan persengkongkolan aktor lain. Oleh karena itu, motif melakukan tindak pidana merupakan hal yang sangat esensial bagi penyusun undang-undang untuk mempertimbangkan kadar pertanggungjawaban pidana seseorang. (***)
Baca kelanjutan artikel ini pada:
REFERENSI:
[1] Tulisan ini adalah ringkasan dari orasi dies natalis Jurusan Hukum Bisnis Universitas Bina Nusantara, yang disampaikan pada tanggal 5 Juni 2017..
[2] Richard G. Singer dan John Q. La Fond, Criminal Law, fourt edition, (New York : Wolters Kluwer, 2007), hlm. 172
[3]Abdul Mun’in Idries merupakan pakar forensik terkemuka di Indonesia. Beliau banyak dilibatkan dalam melakukan bedah mayat atas kasus-kasus kematian
[4] Abdul Mun’in Idries, Indonesia X-Files, Mengungkap Fakta dari Kematian Bung Karno Sampai Kematian Munir, (Jakarta : Noura Books, 2013), hlm. 269. Secara medis ada tiga jenis kematian yaitu kematian somatis, kematian seluler dan kematian otak. Kematian somatis atau disebut juga dengan kematian klinis adalah ketika ketiga sistem yang disebutkan di atas tidak berfungsi sama sekali. Kematian seluler terjadi setelah kematian somatis dan tenggang waktu antara kematian somatis dan kematian seluler tidaklah sama, tergantung daya tahan dari setiap jaringan atau organ tubuh. Dalam kematian somatis beberapa jaringan organ tubuh masih belum “mati”, sehingga masih dimungkinkan untuk melakukan operasi pencangkokan organ tubuh atau trasplantasi. Kriteria kematian berikutnya adalah kematian pada otak seseorang. Saat kematian ditentukan ketika otaknya sudah tidak memperlihatkan aktivitas dalam jangka waktu tertentu. Terhentinya aktivitas otak berarti telah terjadi kematian dan dapat ditentukan dengan alat EEG (Electro Enchephatography).
[5] http://www.iberita.review/berita/usut-kasus-mirna-polisi-gunakan-teori-conditio-sine-qua-nonrasa-adequate/5359750 [diunduh tanggal 10 April 2017]
[6] Ahmad Sofian, Ajaran Kausalitas dalam Konteks Hukum Pidana (Studi Atas Tindak Pidana yang Mengakibatkan Kematian), disertasi, (Depok : FH-UI, 2016), hlm. 5
[7] David Ozonoff, “Legal Causation and Responsibility for Causing Harm”, American Journal of Public Health, Supplement 1, 2005, Vol 95 No. S1, hlm. 35
[8] Ahmad Sofian, op.cit
[9] Kejaksaan Negeri Jakarta Pusat : “Permohonan Peninjauan Kembali Putusan Mahkamah Agung yang telah Berkekuatan Hukum Tetap No. 1185/K/Pid/2006 tertanggal 3 Oktober 2006 atas nama Terpidana Pollycarpus Budihari Priyanto”, Jakarta, 26 Juli 2007
[10] Chairul Huda berpandangan bahwa sebaiknya polisi menggunakan doktrin adequate dalam memecahkan masalah ini, sehingga sebab-sebab kematian yang dicari dalam kasus ini tidak terlalu panjang ke belakang. Jika polisi menggunakan doktrin conditio sine qua non, maka penjual sianida, penjual kopi juga harus diminta pertanggungjawaban (http://www.iberita.review/berita/usut-kasus-mirna-polisi-gunakan-teori-conditio-sine-qua-nonrasa-adequate/5359750 ) [diunduh tanggal 10 April 2016]
[11] Wawancara dengan Adi Andojo Soetjipto (mantan Hakim Agung) tanggal 20 Desember 2015. Kasus di atas merupakan salah satu kasus kecelakaan lalu lintas yang pernah diputusnya di salah satu pengadilan negeri di lingkungan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta.
[12] Eddy O.S. Hiariej, http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt57e4aaf2730e6/pro-kontra-motif-dalam-kasus-pembunuhan-berencana [diunduh tanggal 20 Mei 2017].
Leave Your Footprint
-
LAGI, TENTANG MOTIF BISNIS DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN […] PEMBUNUHAN BERMOTIF BISNIS DARI PERSPEKTIF KRIMINOLOGI […]