LAGI, TENTANG MOTIF BISNIS DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN
Oleh AHMAD SOFIAN (Juni 2017)
Dalam tulisan sebelumnya (Juni 2017) disinggung tentang pembunuhan bermotif bisnis dan politik.
http://business-law.binus.ac.id/2017/06/30/pembunuhan-bermotif-bisnis-dari-perspektif-kriminologi/
Tulisan ini ingin melanjutkan uraian artikel di atas. Dalam konteks hukum pidana pembunuhan merupakan perbuatan menghilangkan nyawa orang lain yang dilakukan dengan berbagai bentuk. Dalam membuktikan adanya kematian pada jenis tindak pidana ini umumnya tidak sulit karena matinya seseorang bisa dibuktikan dari adanya keterangan medis yang menyatakan seseorang sudah mati. Dalam ilmu medis kematian diartikan ketika jantung berhenti bekerja, ada juga yang mengatakan ketika terjadi kematian pada batang otak atau ketika seseorang berhenti bernapas. Abdul Mun’in Idries mengemukakan bahwa dalam menentukan kematian (moment of death) indikator medis yang digunakan adalah sistem syaraf, sistem pernapasan dan sistem kardiovaskuler (jantung dan pembuluh darah). Ketika salah satu dari ketiga sistem tersebut mengalami gangguan sehingga tidak dapat berfungsi dengan baik, maka akan mengganggu kedua sistem yang lain karena ketiga sistem itu saling berhubungan satu dengan lainnya, dan jika sudah dalam keadaan demikian, kelangsungan hidup manusia tidak dapat dipertahankan lagi, ia sudah mati (Abdul Mun’in Idries, 2013).
Dalam kasus, ketika seorang pembunuh bayaran menembakkan pistolnya dan persis mengenai kepala korban, lalu korban mati, secara medis dapat dengan mudah dibuktikan matinya korban karena peluru yang bersarang di otaknya. Masuknya peluru sebagai akibat dari perbuatan pembunuh bayaran tersebut. Namun demikian, dalam banyak kasus matinya seseorang bisa disebabkan oleh beberapa faktor. Perbuatan yang mengakibatkan kematian ini harus ditemukan, apakah karena perbuatan fisik yang dilakukan oleh pelaku, atau ada sebab-sebab lain yang menimbulkan kematian pada korban. Dengan demikian menimbulkan suatu tantangan tersendiri dalam menemukan perbuatan yang mengakibatkan kematian itu.
Dalam tindak pidana pembunuhan, harus dapat dibuktikan antara perbuatan atau pembiaran seseorang dan timbulnya akibat kematian. Akibat tersebut dapat diawali dengan luka berat dan kemudian jantungnya berhenti bekerja. Tidak semua tindak pidana pembunuhan dapat dibuktikan dengan mudah, karena dalam beberapa kasus perbuatan yang menimbulkan kematian pada korban tidak muncul seketika, namun ada jeda, atau rantai yang menghubungkan antara satu perbuatan dengan perbuatan lain atau ada keadaan lain yang menimbulkan kematian.
Demikian halnya di Indonesia, banyak kasus-kasus pembunuhan yang menarik perhatian publik, dan kasus-kasus pembunuhan yang menimbulkan polemik berkepenjangan, sebut saja kasus matinya Munir tahun 2004 dan kasus tewasnya Nasruddin Zulkarnaen tahun 2009. Awal tahun 2016, mencuat lagi kasus meninggalnya Wayan Mirna Salihin yang diduga disebabkan oleh sianida yang ditemukan dalam minuman kopi. Kasus meninggalnya Munir dan Nasruddin Zulkarnaen serta Mirna menjadi menarik karena disebabkan oleh rangkaian beberapa perbuatan. Kasus-kasus yang digambarkan di atas merupakan kasus-kasus yang memiliki rantai yang tidak mudah menentukan perbuatan yang menjadi penyebab matinya korban. Dalam kasus-kasus yang memiliki rantai penyebab yang panjang, menimbulkan kesulitan dalam menentukan perbuatan yang mengakibatkan kematian dan oleh karena itu sulit juga dalam menentukan pertanggungjawaban pidana pelaku (Ahmad Sofian, 2016).
Ketika berhadapan dengan kematian yang dimensi perbuatannya jamak dibutuhkan sejumlah bukti untuk menentukan penyebab kematian tersebut. Adakalanya bukti yang disajikan di pengadilan tidak cukup untuk menentukan sebab kematian seseorang, artinya tidak semua bukti-bukti yang diajukan dapat menjawab penyebab kamatian. Dibutuhkan ilmu pengetahuan yang dapat menghubungkan fakta-fakta tersebut, yang dapat menganalisa rangkaian fakta tersebut serta mengambil kesimpulan atas sejumlah fakta tersebut. Ilmu pengetahuan yang dapat menghubungkan dan menganalisa berbagai faktor penyebab dan menghubungkannya dengan akibat adalah ilmu kausalitas yang kemudian dalam ilmu hukum disebut dengan ajaran kausalitas (David Ozonoff, 2005).
Ajaran kausalitas dipergunakan dalam rangka mengetahui perbuatan (perbuatan-perbuatan) apa saja yang menjadi penyebab kematian. Dengan kata lain, ajaran kausalitas berfungsi sebagai filter atau penyaring atas perbuatan-perbuatan yang relevan sebagai penyebab. Oleh karena itu menjadi penting untuk melihat sejauh mana causal verband dipergunakan dalam mendapatkan kebenaran materiil. Berikut ini dipaparkan dua kasus yang mengakibatkan matinya seseorang sebagai bukti pentingnya dipergunakan ajaran kausalitas.
Kembali lagi kepada kasus yang disebutkan di atas, yaitu matinya Munir. Berdasarkan visum et repertum yang diterbitkan oleh Rumah Sakit di Belanda, penyebab kematian Munir adalah adanya kandungan arsenic di dalam tubuh Munir. Kasus ini terbilang rumit, karena perbuatan memasukan racun ke dalam minuman Munir tidak bisa dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum di pengadilan. Pengadilan hanya melihat dari rantai perbuatan sebelum matinya Munir. Rantai itu dimulai dari pembuatan surat palsu oleh Terdakwa Pollycarpus, lalu dengan surat palsu itu terdakwa bisa berangkat dan satu pesawat dengan Munir. Selama di dalam pesawat Pollycarpus memberikan tempat duduknya kepada Munir, dan Pollycarpus terlihat mondar-mandir di sekitar pantry. Rantai perbuatan ini dinilai oleh Jaksa sebagai rangkaian perbuatan yang mendahului, sebelum Pollycarpus memasukkan arsenic ke dalam minuman Munir yang mengakibatkan kematian. Rantai perbuatan ini sedemikian panjang sebelum berakhir pada kematian. Rantai yang panjang ini, menimbulkan perbedaan pandangan dalam menentukan atribusi pertanggungjawaban pelaku. Perbedaan pandangan ini terlihat dari putusan Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi hingga Mahkamah Agung bahkan muncul pandangan kedua dari Mahkamah Agung dalam bentuk putusan Peninjauan Kembali.
Kasus tewasnya Mirna memiliki kemiripan dengan kasus Munir. Mirna meninggal setelah meminum kopi di salah satu mall di Jakarta pada Bulan Januari 2016. Meskipun sudah ditetapkan sebagai terpidana, seorang pakar hukum pidana menilai bahwa sebaiknya pengadilan menggunakan salah satu doktrin kausalitas dalam memecahkan masalah tersebut, kesalahan dalam menetapkan doktrin kausalitas akan menyebabkan ketidakrelevanan dalam menentukan perbuatan yang menjadi sebab kematian Mirna. Harus ditemukan satu perbuatan yang saling berhubungan dengan kematian Mirna, dan hal ini tidak mudah. Kesulitan terbesar kasus ini adalah belum ditemukannya perbuatan yang memasukkan sianida ke dalam minuman Mirna.
Kasus lain yang dapat dijadikan argumentasi adalah kematian seorang penumpang angkutan umum menuju ke pasar. Penumpang tersebut minta diturunkan di pertigaan tidak jauh dari pasar. Kendaraan umum itu berhenti di pinggir jalan dan si penumpang turun. Setelah turun, tiba-tiba saja tanpa melihat kiri kanan, ia berlari dan menyeberangi jalan raya. Seorang pengendara motor yang melintas di jalan itu menabraknya dan mengakibatkan matinya penumpang tersebut. Jaksa menuntut pengendara motor karena kelalaiannya mengakibatkan kematian. Namun pengadilan punya pendapat lain, pengadilan membebaskan pengendara motor karena pengendara motor tersebut mengendarai kendaraannya dengan kecepatan yang normal, tidak ada unsur ketidakhati-hatian. Penumpanglah yang memberikan kontribusi atas akibat yang muncul tersebut. Dengan kata lain perbuatannya “menyeberang jalan” lalu tertabrak pengendara motor yang menimbulkan akibat kematian. Pengendara motor dibebaskan dari tuntutan karena tidak memenuhi unsur kesalahan, meskipun perbuatannya mengakibatkan kematian.
Dimensi kasus yang disebutkan di atas merupakan dimensi perbuatan jamak, berserabut dan tidak mudah untuk menemukan perbuatan mana yang menyebabkan meninggalnya korban, karena itu dalam memutus perkara tersebut hakim mempergunakan ajaran kausalitas untuk menentukan perbuatan yang menjadi penyebab dan mengakibatkan meninggalnya korban. Tanpa menggunakan ajaran kausalitas maka tidak mungkin hakim dapat menentukan causal verband dari keempat kasus yang disebutkan di atas.
Di sinilah pentingnya ajaran kausalitas ini dipergunakan dalam menentukan perbuatan (perbuatan) menimbulkan kematian. Ajaran kausalitas ada di dalam doktrn dan tidak ditemukan di dalam KUHP atau hukum positif lainnya. Keahlian penggunaan ajaran kausalitas oleh polisi, jaksa dan hakim sangat dibutuhkan agar tidak terjadi kesalahan dalam menentukan tersangka, terdakwa maupun terpidana. Namun sayangnya, ajaran ini tidak dimanfaatkan yang disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya adalah karena sulitnya terbatasnya kemampuan penegak hukum dalam menggunakan ajaran ini sehingga tidak sering sekali gagal dalam menentukan causal verband. Jika ajaran kausalitas digunakan maka akan mampu menangkal bahkan membongkar adanya konspirasi (persekongkolan) atas terjadinya delik pembunuhan.
Namun demikian, ada konteks yang membedakan antara ajaran kausalitas dengan teori konspirasi. Dalam teori konspirasi yang dicari adalah “persengkongkolan” antara dua pihak untuk membunuh seseorang. Persengkongkolan ini dalam konteks hukum pidana disebut dengan motif yang mendasari dibunuhnya seseorang oleh pelaku. Motif ini tidak perlu dibuktikan di pengadilan, karena motif merupakan alasan subjektif dari seseorang untuk membunuh. Motif berbeda dengan niat jahat atau kesengajaan atau perencanaan, namun motif memiliki hubungan dengan dua unsur tersebut. Oleh karena itu banyak ahli hukum pidana yang berpendapat bahwa motif tidak perlu dibuktikan dalam kasus-kasus pembunuhan termasuk pembunuhan berencana. Dalam konteks ini yang perlu dibuktikan adalah adalah unsur “pembunuhan berencana”, ketika telah terbukti maka ancaman hukumannya menjadi lebih berat. Motif menjadi dasar untuk menentukan apakah pembunuhan tersebut masuk dalam kategori pembunuhan biasa, pembunuhan yang diawali dengan penganiayaan, pembunuhan karena membela diri atau pembunuhan yang direncanakan. Motif membunuh seperti yang dipaparkan dalam teori konspirasi belum mampu diungkap dan dijadikan dasar dalam menentukan seseorang dihukum atau tidak.
Kesimpulan
Kesimpulan penting yang bisa ditarik adalah bahwa pembunuhan yang bermotif politik dan bisnis merupakan kejahatan yang ditujukan untuk kepentingan-kepentingan tertentu. Pembunuhan yang bermotif politik dan bisnis ini bukan sekedar menghilangkan nyawa seseorang tetapi lebih dari itu yaitu ada konspirasi dari aktor-aktor tertentu. Kejahatan tersebut punya tujuan untuk mematikan atau membunuh karakter seseorang atau membunuh bisnis seseorang. Dengan demikian korban kejahatan ini bukan saja ditujukan kepada diri orang tersebut, tetapi juga orang-orang yang ada di sekitarnya, keluarganya, koleganya atau orang-orang yang selama ini menjadi bagian dari korban tersebut. Pada kejahatan yang bermotif bisnis, pembunuhan juga ditujukan kepada kepentingan bisnis korban, dan korporasi yang dikelolanya. Dengan demikian kejahatan yang bermotif bisnis dan politik memiliki dampak yang sangat luas dan sistemik. Jika dikaitkan dengan teori kesalahan, maka perbuatan ini dilakukan dengan terencana dan terukur.
Hukum pidana sendiri dalam menentukan sebab kematian, tidak menelisik jauh kepada motif politik, bisnis dan motif-motif lainnya. Bagi hukum pidana, yang paling penting adalah menemukan perbuatan yang menjadi penyebab kematian. Setelah menemukan perbuatan yang menjadi sebab, selanjutnya menentukan pertanggungjwaban pidana pelaku. Dalam menentukan pertanggungjawaban pelaku, motif tidak dipertimbangkan dalam menentukan kadar berat maupun kadar ringan hukumannya.
Oleh karena itu dalam hukum pidana Indonesia masa depan, motif seharusnya dipertimbangkan dalam menentukan berat ringannya hukum atau bahkan motif bisa dijadikan pertimbangan untuk membebaskan pelaku, jika ternyata dalam konteks tindak pidana tersebut ada keterlibatan persengkongkolan aktor lain. Oleh karena itu, motif melakukan tindak pidana merupakan hal yang sangat esensial bagi penyusun undang-undang untuk mempertimbangkan kadar pertanggungjawaban pidana seseorang. (***)
Leave Your Footprint
-
PEMBUNUHAN BERMOTIF BISNIS DARI PERSPEKTIF KRIMINOLOGI […] LAGI, TENTANG MOTIF BISNIS DALAM TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN […]