UPAYA SOSIAL PENYELESAIAN HUKUM KICAUAN DI MEDIA SOSIAL
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Juni 2017)
Indonesia merupakan negara pengguna sosial media aktif terbesar. Berdasarkan Laporan tahun 2016 ‘We Are Socio’, dari total 262 juta penduduk Indonesia, sebanyak 132,7 juta penduduk adalah pengguna internet dan dari angka tersebut 106 juta di antaranya merupakan pengguna sosial media aktif. Mayoritas pengguna media sosial tersebut mengakses media sosial melalui telepon pintar yang mereka miliki. Youtube menjadi media sosial yang paling banyak digunakan diikuti dengan Facebook, Instagram, Twitter dan Google +. Keberadaan media sosial di Indonesia menjadi alat baru untuk menyampaikan kebebasan berekspresi yang menjadi hak dasar dari warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
Hal yang menarik adalah tingginya angka pengguna media sosial di Indonesia diikuti dengan tingginya jumlah laporan polisi terkait dengan pelanggaran atas Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 (UU ITE). Berdasarkan data dari South East Asia Freedom of Expression Network (SAFENet) pada tahun 2014 tercatat sebanyak hanya 20 laporan dan tahun tahun 2015 mengalami peningkatan sebanyak 35 laporan, akan tetapi pada tahun 2016 terjadi lonjakan tajam sebanyak 177 laporan. Dari angka tersebut laporan atas pelanggaran Pasal 27 Ayat (3) UU ITE tentang pencemaran nama baik menempati urutan pertama dengan sebanyak 141 laporan diikuti dengan pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU ITE tentang ujaran kebencian sebanyak 23 laporan. Kemudian Media sosial Facebook mendominasi media paling tinggi yang digunakan sebagai tempat terjadinya pelanggaran sebanyak 56,5% dan diikuti dengan twitter sebanyak 12,4%. Laporan atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 (2) UU ITE tersebut terkait dengan pelanggaran kebebasan berekspresi.
Terkait dengan maraknya laporan polisi tersebut, dalam konsep negara demokrasi seperti Indonesia sensor atas kebebasan berekspresi merupakan hal yang dilarang. Batasan kebebasan berekspresi adalah melalui undang-undang terutama dalam hukum perdata maupun dalam hukum pidana. Dalam situasi masyarakat Indonesia sekarang ini, instumen hukum pidana lebih diutamakan oleh “korban” meskipun sifat dari hukum pidana adalah ultimum remidium. Tidak mengherankan apabila seseorang atau kelompok masyarakar tidak senang dengan pernyataan pihak lain yang disampaikan dalam media sosial, maka melaporkan ke polisi menjadi hal yang lazim dilakukan untuk “menghukum” pernyataan pihak lain tersebut. Banyak laporan yang sebenarnya tidak layak untuk menjadi perkara pidana kemudian diteruskan prosesnya sampai ke pengadilan dan divonis bersalah. Memang jika dianalisis lebih lanjut laporan polisi banyak perkataan dari pengguna media sosial yang dilaporan ke polisi karena pendapat yang merupakan offensive speech yang kemudian dipandang sebagai suatu penghinaan ataupun ujaran kebencian. Akibatnya sebagaimana dikemukan oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) terjadi ketidakcermatan hakim dalam memutus perkara tindak pidana atas dugaan pelanggaran Pasal 27 ayat (3) dan Pasal 28 (2) UU ITE.
Dalam perkembangannya penerapan hukum pidana dirasa kurang efektif untuk menyelesaikan masalah kicauan di media sosial. Cara preventif diperlukan untuk mengatasi masalah ini dan pihak Kepolisian telah menyadari hal tersebut. Dalam Surat Edaran Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. SE/6/X/2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (Hate Speech) tanggal 8 Oktober 2015 (SE Kapolri No. SE/6/X/2015), pihak kepolisian harus mengutamakan cara preventif terlebih dahulu untuk mengatasi permasalahan kicauan yang dipandang sebagai ujaran kebencian sebelum upaya represive dilakukan dengan memproses dalam sistem peradilan pidana.
Perkembangannya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa No. 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah Melalui Media Sosial. Meskipun bukan suatu produk peraturan perundang-undangan dalam hukum positif Indonesi, Fatwa MUI ini bertujuan agar umat muslim dapat lebih bijak dalam menggunakan sosial media sebagai alat berkomunikasi. akan tetapi sebagai suatu norma agama yang pada akhirnya dapat menjadi salah satu solusi untuk mengatasi masalah penggunaan sosial media di Indonesia.
Memang masalah kicauan di sosial media bukan hanya masalah hukum tetapi harus dipandang sebagai suatu masalah sosial sehingga penyelesaiannya pun harus ditinjau dari berbagai aspek sosial. Hasil penelitian di bidang ilmu psikologi menunjukan bahwa kehadiran media sosial telah merubah model komunikasi dan interaksi sosial para penggunanya. Lebih lanjut perilaku pengguna media sosial yang didominasi oleh para generasi yang lebih muda menunjukan bahwa kebutuhan psikologis para penggunanya yang hendak menunjukan kebutuhan atas perhatian dan pengakuan dari orang lain yang diekspresikan melalui media sosial. Oleh karenanya untuk menyelesaikan permasalahan kicauan di media sosial hendaknya juga harus melihat aspek pengguna sosial media. Kajian dari berbagai ilmu sosial diperlukan untuk mendukung penyelesaian masalah ini serta sebagai upaya penanggulangan non-penal dan masukan untuk menyusun penanggulangan melalui sarana penal. (***)