MENGAPA ‘TRANSAKSI BENTURAN KEPENTINGAN’ HARUS DIATUR?
Oleh AGUS RIYANTO (Juni 2017)
Di industri Pasar Modal, benturan kepentingan tidaklah dilarang, tetapi diatur. Diatur melalui Pasal 82 ayat (2) Undang-undang No. 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (“UUPM”) dan dielaborasi Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-412/BL/2009, Peraturan No. IX.E.1. tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu tanggal 25 Nopember 2009 (Peraturan No. IX.E.1). Yang sebelumnya ketentuan tersebut telah berubah beberapa kali di antaranya : Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-04/PM/1994, Peraturan No. IX.D.1. tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu tanggal 7 Januari 1994, Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-84/PM/1996, Peraturan No. IX.E.1. tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu tanggal 24 Januari 1996, Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-12/PM/1997, Peraturan No. IX.E.1. tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu tanggal 30 April 1997, Keputusan Ketua Bapepam No. Kep-32/PM/2000, Peraturan No. IX.E.1. tentang Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu tanggal 22 Agustus 2000, Keputusan Ketua Bapepam No.Kep-521/PM/2008, Peraturan No. IX.E.1. tentang Transaksi Afiliasi dan Benturan Kepentingan Transaksi Tertentu tanggal 12 Desember 2008. Namun yang menjadi pertanyaan di balik kedua ketentuan itu adalah penyebabnya apa, mengapa harus diatur, dan tujuan diatur itu untuk apa?
Secara historis dan sosiologis masalah tersebut di atas, hulunya berakar kepada karakteristik perusahaan di Indonesia, yang memiliki kesamaan dengan perusahaan di negara-negara Asia pada umumnya, bahwa meskipun telah tumbuh dan berubah menjadi perusahaan terbuka, tetapi kontrol tetaplah dipegang dan dikuasai oleh keluarga tertentu. Dapat dijelaskan bahwa sangat sedikit ditemukan perusahaan publik yang tidak dikontrol oleh keluarga. Sebuah studi menunjukkan bahwa 67.3% dari perusahaan publik adalah dikontrol oleh keluarga sedangkan hanya 6,6% sisanya yang dikontrol secara luas. Konsekuensi kondisi demikian, maka banyak perusahaan swasta nasional yang melalukan go public (penawaran umum) tidak lebih dari 15% dari jumlah total sahamnya. Hal tersebut dapat dimengerti bahwa perusahaan-perusahaan berasal dari perusahaan keluarga. Terjadinya keenganan menjual sebagian besar sahamnya itu, karena hambatan psikologis untuk menawarkan sahamnya di dalam jumlah besar kepada publik dikhawatirkan akan mengurangi kontrol pemilik awal perusahaan tersebut. Dengan hal ini, maka tidaklah berlebihan apabila para pengamat Pasar Modal, mengilustrasikan bahwa perusahaan terbuka yang ada selama ini adalah masih tanggung atau malu-malu dan bahkan ada yang berpendapat setengah hati.
Dengan keterbatasan kontrol dan kepemilikan publik yang tidak signifikan, maka pemegang saham yang mayoritas, melalui direksi dan komisarisnya, dalam transaksi tertentu cenderung terjadi conflict of interest. Hal itu dimungkinkan, karena ketiadaan transparansi pengelolaan perusahaan sehingga kontrol publik menjadi lemah dan terkonsentarsinya pemegang saham pengendali pada beberapa keluarga, di dalam praktik, membuka campur tangan pemegang saham pengendali kepada manajemen perusahaan dan berpotensi besar terjadinya konflik kepentingan. Konflik demikian ini jelas menguntungkan pemegang saham pengendali dengan keuntungan pribadi terhadap transaksi perusahaan tersebut. Dirugikannya pemegang saham publik berangkat lemahnya posisi kepemilikan sahamnya dibandingkan dengan kepemilikan pemegang saham mayoritas yang tersentralistik. Untuk mendudukkan titik keseimbangan di dalam konstelasi yang tidak sama kekuatan kepemilikannya, maka haruslah diatur ketetuan yang menjadikan pemegang saham publik itu penting dan ikut menentukan terhadap rencana transaksi perusahaan publik tertentu. Salah satunya adalah transaksi yang terdapat benturan kepentingan, dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), dipersyaratkan mendapatkan persetujuan pemegang saham independen (pemegang saham publik). Persetujuan ini mutlak untuk dapat terlaksananya kehendak (kepentingan) perusahaan publik, dimana di dalamnya terdapat pemegang saham mayoritas dan pengendali, dan dengan ketentuan ini juga, maka hak dan kedudukannya pemegang saham publik menjadi lebih terlindungi.
Dasar dari kerangka diaturnya ketentuan transaksi benturan kepentingan ini adalah untuk mencegah terjadinya kolaborasi keputusan dalam RUPS. Keputusan RUPS yang mendasarkan kepada jumlah kepemilikan saham berpotensi merugikan pemegang saham minoritas. Hal ini dapat diketahui dengan jumlah kepemilikannya dan untuk itulah pemegang saham mayoritas dan pengendali dilarang ikut serta memutuskan, khusus, di dalam RUPS tersebut. Di samping itu juga ketentuan benturan kepentingan ini terkandung tiga makna substantial tujuan utama yang hendak dicapainya. Pertama, melindungi kepentingan pemegang saham independen yang umumnya merupakan pemegang saham minoritas dari perbuatan yang melampaui kewenang direksi dan komisaris serta pemegang saham utama dalam melakukan transaksi benturan kepentingan tertentu. Kedua, mengurangi terjadinya kemungkinan potensi adanya penyalahgunaan kekuasaan oleh organ direksi, komisaris atau pemegang saham utama untuk dapat melakukan transaksi yang mengandung unsur benturan kepentingan tertentu. Ketiga, melaksanakan prinsip keterbukaan dan penghormatan terhadap hak pemegang saham yang berdasarkan kepada asas kesetaraan. Dengan memperhatikan ketiga tujuan utama diaturnya ketentuan itu, maka konsep dasar di dalamnya bermaksud mengakhiri ketidakdilan prosedur pengambilan keputusan RUPS dengan mendudukkan dan memperkuat kedudukan pemegang saham publik menghadapi dominasi pemegang saham pengendali atau mayoritas di RUPS. Hal ini, karena jantung obyektivitas dalam keputusan perusahaan berada pada terdapat dan tidaknya demokratisasi keputusan para pemegang saham di dalam RUPS. Untuk itulah, harus ada hukum yang mengatur dan menjaga ketiga tujuan tersebut di atas dan penegakannya harus juga dijalankan dengan jujur, benar dan demi kepentingan semua pemegang saham dan tidaklah adil melakukan transaksi yang hanya akan menguntungkan pihak-pihak tertentu. (***)
REFERENSI:
- Adrian Sutedi, Good Corporate Governance, Sinar Grafika, Jakarta, 2012.
- Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Penerapan Good Corporate Governance (GCG) : Mengesampingkan Hak-hak Istimewa Demi Kelangsungan Usaha, Kencana, Jakarta, 2006
- Irsan Nasrudin, Indra Surya dan Ivan Yustiavandana, Aspek Hukum Pasar Modal Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008.