ILMU HUKUM DI TENGAH ARUS PERUBAHAN
Peresensi oleh: ERNA RATNANINGSIH (Juni 2017)
Penulis buku ini adalah Profesor Satjipto Rahardjo, S.H., yang semasa hidupnya pernah menjabat sebagai dosen berbagai perguruan tinggi dan Dekan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (UNDIP) Semarang. Prof. Satjipto dikenal sebagai penulis buku-buku bertemakan sosiologi hukum. Beberapa karya tulisnya kemudian dikompilasi, disunting, dan diterbitkan kembali, di antaranya berjudul: “Membedah Hukum Progresif” pada tahun 2006 dan “Penegakan Hukum Progresif “ pada tahun 2010. Termasuk juga buku berjudul “Ilmu Hukum di Tengah Arus Perubahan” yang sedang dibahas dalam tulisan ini.
Buku tersebut diedit oleh Rachmat Safa’at (saat ini menjabat sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya). Buku ini lahir dari hubungan antara penulis dan editor sebagai dosen dan mahasiswa pada Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Universitas Diponegoro pada tahun 2007. Seluruh materi perkuliahan dan teori hukum serta bahan bacaan yang diberikan kepada mahasiswa PDIH ini oleh editor dideskripsikan intisari pemikiran sang dosen yang telah disampaikan dalam perkuliahan agar bahan bacaan ini tidak hanya menjadi konsumsi mahasiswa PDIH namun lebih luas lagi bagi kalangan ilmu hukum, akademis, para ahli hukum, pembuat kebijakan, aparat penegak hukum dan masyarakat.
Gambaran Umum Isi Buku
Buku ini pada intinya menelaah keterkaitan perkembangan studi ilmu hukum dengan perkembangan hukum di masyarakat yang berubah sangat cepat sesuai dengan perkembangan zaman. Judul dan isi buku telah tepat menguraikan apa yang akan dibahas dimana pembahasan pertama adalah tentang ilmu hukum yang akan memaparkan perkembangan studi tentang ilmu hukum. Ilmu hukum yang dikenal dan dipelajari sejak zaman Romawi dimana ilmu hukum menjadi “highly artificial system of doctrines” yang melahirkan definisi-definisi yang akurat terhadap peristilahan hukum. Terjadi konseptualisasi, sistematisasi dan strukturasi maka bahasa hukum muncul menjadi bahasa yang khas (private language) yang tidak dimengerti oleh rakyat biasa yang tidak belajar hukum. Cara berpikir seperti ini dikenal sebagai analytical jurisprudence atau rechtsdogmatieck sehingga terjebak ke dalam paham “manusia adalah untuk hukum”. Tradisi para ahli hukum yang menghendaki hukum memiliki kepastian yang tinggi mendapatkan legitimasi dari aliran positivisme hukum. Ilmu hukum tradisional membicarakan hukum semata-mata dalam konteks hukum. Sedangkan ilmu hukum yang baru tidak berhenti hanya pada membicangkan hukum, melainkan dikaitkan dengan habitat sosial di tempat hukum berada. Ilmu hukum dan masyarakat melihat hukum yang dilepaskan dari konteks sosialnya sebagai suatu ilmu hukum yang kering dan tidak utuh. Ilmu hukum menjadi ilmu tentang skema-skema atau skeleton saja. Dengan demikian menjadi tugas ilmu hukum untuk menyatukan kembali skleton tersebut dengan “darah dan dagingnya” sehingga gambar tentang hukum menjadi utuh (kembali). Prof Satjipto berpendapat bahwa masyarakat merupakan rujukan yang utama (the primacy) bukan konsep, doktrin, sistem rasional dari ilmu hukum karena ilmu hukum mengikuti masyarakat. Tidak ada pengilmiahan hukum yang otonom dan mutlak melainkan selalu terbuka dan diuji oleh masyarakat dalam hal kemanfaatannya. Studi sosial terhadap hukum merupakan pintu pembuka bagi pendalaman studi tentang hukum, studi tersebut menggunakan nama “socio legal approach”, “law and society”, “the sociological movement in law” dan lain-lain.
Kedua, yang dimaksud dengan “arus perubahan” adalah menggambarkan perubahan panorama yang sangat berbeda daripada masyarakat dunia dari abad ke-19 ke abad 21 sehingga seluruh perlengkapan sosial yang digunakan, asumsi-asumsi yang dipakai, idiom-idiom yang ada menjadi tertinggal oleh perubahan termasuk ilmu hukum. Ilmu hukum tidak dikecualikan karena juga berada ditengah-tengah dan turut menerima imbas dari hiruk pikuk perubahan dunia tersebut. Prof. Satjipto hendak menyampaikan bahwa ilmu hukum memikul tugas untuk memberikan pencerahan. Pada waktu hukum, dalam hal ini nomenklatur hukum, kosa kata konsep dan doktrin hukum dihadapkan pada perubahan-perubahan sosial besar dalam masyarakat. Dengan keadaan tersebut mulailah terjadi kesulitan-kesulitan dalam penegakan hukum. Ditengah-tengah perubahan besar dunia sekarang sebaiknya kita belajar membedakan antara “menyelesaikan problem hukum” dan “menyelesaikan problem sosial”. Apabila kita tidak peka terhadap perbedaan antara keduanya maka hukum akan banyak gagal dalam turut menyelesaikan problem sosial. Pekerjaan untuk mengubah sistem, konsep, doktrin, nomenklatur hukum yang sudah digunakan selama ratusan tahun memang tidak mudah. Kehidupan sosial kita sudah terlalu dalam tertanam dalam sistem hukum yang ada. Hal yang perlu selalu kita pegang adalah kesadaran bahwa kita sama sekali tidak boleh meninggalkan fungsi utama hukum yaitu untuk melayani manusia. Setiap kali fungsi itu terusik maka kita perlu melakukan sesuatu yang kreatif untuk mengatasinya. Penulis berharap bahwa komunitas pembelajaran hukum pada program doktor menjadi tempat persemaian bagi pemikiran-pemikiran kreatif yang ingin mendudukkan hukum sebagai instutut yang mengabdi pada manusia dan kemanusiaan.
Kelebihan dan Kekuatan Subtansi Buku
Materi buku ini dibagi dalam dua bagian yaitu bagian pertama tentang dinamika studi hukum dalam arus perubahan. Di dalam bagian pertama ini dibagi dalam 5 bab yang berisi tentang : Ilmu hukum di tengah arus perubahan (bab 1); berpikir hukum secara sosial (bab 2); kemajemukan sebagai konsep hukum (bab 3); filsafat penelitian hukum secara sosial (bab 4), hukum di luar hukum negara (‘keboromo’,’Comas’ dan ‘pasargada’) bab 5. Bagian kedua tentang lapisan-lapisan dalam studi hukum dibagi dalam 5 bab yang terdiri dari lapisan-lapisan dalam studi hukum (bab 1), berpikir dalam hukum (bab 2), hukum di mata bukan ahli hukum (bab 3), memunculkan kekuatan hukum (bab 4) dan perjalanan panjang “rule of law” (bab 5).
Hal yang menarik dan menjadi kekuatan dari buku ini adalah pembaca “seolah-olah” berada dalam ruang dan waktu yang sama sebagai mahasiswa PDIH dan sedang berdialog serta mencoba menyelami pemikiran-pemikiran Sang Profesor tentang hukum dan masyarakat. Selain memberikan pengajaran hukum Prof. Satjipto juga memberikan pedoman (guidance) bagaimana seharusnya para ahli hukum khususnya calon doktor bersikap ditengah arus modernisasi masyarakat sebagai berikut:
- Sebagai seorang calon doktor, para mahasiswa dituntut untuk memahami hukum lebih daripada seorang yang belajar untuk menjadi ahli hukum profesional (profesional lawyer). Pemahaman seorang calon doktor tidak boleh dangkal atau melihat hukum dari permukaannya saja (prima facie) melainkan harus menukik ke dalam untuk mencari kebenaran tentang hukum. (hlm 3).
- Satjipto mengajak para ahli hukum untuk berpikir yang tidak termasuk dalam arus utama (positivisme) tetapi berpikir hukum secara sosial. (hlm 19).
- Pada program doktor ilmu hukum inilah yang dapat dijadikan laboratorium dan bengkel kerja yang sangat bagus untuk mengelaborasi gagasan berhukum dan berpikir secara sosial. (hlm. 28)
- Sekarang sudah menjadi perubahan penting dalam pemahaman hukum yaitu dari konsep tunggal menuju majemuk. Sejak program doktor itu sangat kuat berurusan dengan konsep-konsep, maka sudah sepantasnyalah apabila perubahan tersebut diikuti dengan seksama oleh komunitas para calon doktor. (hlm. 31).
- Dewasa ini sudah lazim dikalangan para calon doktor hukum untuk mencantumkan istilah “socio legal” sebagai salah satu tipe penelitian yang mereka gunakan. (hlm.41)
- Hukum itu memang ibarat air, selalu mengalir untuk menemukan jalannya sendiri menuju laut. Risalah ini ingin mengantarkan calon doktor untuk melihat dan memahami betapa kompleks cara orang hidup dalam dunia hukum itu (hlm. 55).
Selain Prof. Satjipto Rahardjo terdapat satu tokoh terkemuka lainnya yang mengkaji perkembangan hukum dalam konteks kehidupan bermasyarakat, yaitu Prof Soetandyo Wignjosoebroto. Dalam bukunya yang berjudul “Hukum dalam Masyarakat” edisi 2, 2013 dinyatakan bahwa istilah hukum dan masyarakat telah salah kaprah diistilahi sosiologi hukum. Seharusnya, kajian hukum dalam masyarakat ini hendak berfokus pada masalah otoritas dan kontrol yang memungkinkan kehidupan kolektif manusia itu selalu berada dalam keadaan relatif dan keteraturan. Kekuatan kontrol dan otoritas Pemerintah sebagai pengemban kekuasaan negara yang mendasari kontrol itulah yang terbentuk dalam suatu sistem aturan disebut ‘hukum’. (hlm.1). Dari definisi ini hukum diuji, apakah hukum yang ada dalam masyarakat itu efektif ataukah hukum tidak efektif dalam implentasinya dalam masyarakat. Sehingga yang ditekankan oleh Prof. Soetandyo adalah bagaimana mengupayakan kepatuhan warga kepada hukum undang-undang yang berlaku. Namun, perkembangan dan perubahan yang terjadi dalam era globalisasi akan mengakhiri berbagai cita-cita unifikasi hukum dikarenakan adanya realitas pluralisme diberbagai bidang kehidupan manusia. Berdasarkan hal tersebut diatas maka kelebihan buku Prof. Satjipto Rahrdjo dibandingkan dengan buku hukum dan masyarakat Prof Soetandyo Wignjosoebroto adalah lebih mengkritisi hukum yang tidak statis, tetapi dinamis sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dengan kata lain ilmu hukum mengikuti masyarakat bukan masyarakat yang mengikuti hukum. Dari sisi pembuatan buku antara Prof Satjipto dan Prof Soetandyo adalah sama merupakan bahan mata kuliah yang telah disampaikan kepada mahasiswa. Sedangkan prosesnya berbeda di mana buku Prof Soetandyo ditulis dan disunting sendiri olehnya, sedangkan Prof. Satjipto ditulis sendiri namun disunting oleh mahasiswanya. (***)