TAFSIR DELIK MAKAR
Oleh Ahmad Sofian (Mei 2017)
Andi Hamzah mengatakan bahwa “makar” merupakan terjemahan dari Bahasa Belanda “aanslag” yang terdapat dalam pasal 104 KUHP yang merupakan salinan dari Pasal 92 KUHP Belanda. Pasal 92 KUHP Belanda sendiri dalam versi terjemahan Inggrisnya berada dalam judul “Serious Offenses Against the Security of the State”, yang ketentuan lengkapnya adalah:
Article 92
“An attempt made with the object of taking the life or liberty of the King, the reigning Queen or the Regent, or with the object of rendering any of them incapable of reigning, is punished by life imprisonment or a term of imprisonment or not more than twenty years or a fine of the fifth category.”
Dari pasal 92 di atas jelas terlihat bahwa aanslag, diterjemahkan menjadi attempt atau lazim disebut dengan percobaan. Pertanyaannya, mengapa aanslag diterjemahkan dengan attempt, apakah sulit menemukan padanan kata yang tepat dalam Bahasa Inggris untuk menterjemahkan aanslag, atau apakah karena dalam tradisi common law tidak mengenal perbuatan aanslag? Terkait masalah ini, Andi Hamzah mengatakan terjemahan aanslag dalam Bahasa Inggris sering menggunakan istilah “attempt on man’s life”.
Sementara itu, jika merujuk pada Pasal 104 KUHP, ketentuannya adalah sebagai berikut:
“Makar (aanslag) yang dilakukan dengan niat hendak membunuh Presiden atau wakil Presiden atau dengan maksud hendak merampas kemerdekaanya atau hendak menjadikan mereka itu tiada cakap memerintah, dihukum mati atau penjara seumur hidup atau penjara sementara selama-lamanya dua puluh tahun”.
Dari ketentuan pasal di atas, ada dua kelompok yang memberikan tafsir atas pasal-pasal makar yang ada di dalam KUHP, yaitu: kelompok ilmuwan yang menafsirkannya sebagai delik serangan, tindak kekerasan, dan kelompok yang menafsirkannya sebagai delik percobaan yang tidak lengkap.
Serangan dan Tindak Kekerasan
Soesilo menjelaskan makna aanslag sama dengan penyerangan yang hendak membunuh, merampas kemerdekaan atau menjadikan presiden tidak cakap memerintah. Aanslag dilakukan dengan perbuatan kekerasan dan dimulai dengan perbuatan pelaksanaan (uitvoeringshandelingen). Sementara itu, yang dimaksud dengan perbuatan kekerasan dimaknainya sebagai mempergunakan tenaga atau kekuatan jasmani tidak kecil secara dan secara tidak sah, misalnya memukul dengan tangan atau dengan segala macam senjata, menyepak atau menendang dan sebagainya. Kekerasan juga dimaknai dengan membuat orang pingsan atau tidak berdaya. Pingsan sendiri diartikannya “tidak ingat atau tidak sadar akan dirinya”. Tidak berdaya artinya tidak mempunyai kekuatan atau tenaga sama sekali sehingga tidak dapat mengadakan perlawanan sedikitpun, misalnya mengikat dengan tali kaki atau tangannya, mengurung dalam kamar, memberikan suntikan sehingga itu lumpuh.
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa KUHP dan undang-undang pidana lainnya tidak memberikan makna terhadap aanslag atau makar. P.A.F. Lamintang menafsirkan bahwa kata aanslag berasal dari aanval (serangan) atau dengan tafsir keduanya yaitu misdadige aanrading (penyerangan dengan maksud tidak baik). P.A.F Lamintang sebenarnya masih ragu juga apakah benar aanslag berasal dari kata aanval atau misdadige aanrading, dan apakah keduanya memang memiliki keterkaitan atau sama sekali dua kata yang berbeda.
Tafsir dari Prof. Noyon dan Prof. Langemeijer, mengartikan makar sebagai tindak kekerasan atau setidak-tidaknya merupakan percobaan-percobaan untuk melakukan tindak kekerasan. Namun demikian menurut keduanya, tidak setiap aanslag selalu harus diartikan sebagai tindak kekerasan karena dalam praktik dapat dijumpai beberapa aanslag yang dilakukan tanpa didahulahui dengan kekerasan. Alasan Noyon dan Langemeijer ini diperkuat dengan contoh perbuatan yang ingin mengganti haluan negara tanpa didahului dengan kekerasan.
Prof. Simons menyatakan bahwa Aanslag ialah setiap tindakan yang dilakukan dengan maksud seperti yang dimaksudkan dalam pasal 104 KUHP, jika tindakan-tindakan yang terlarang menurut pasal 104 KUHP, jika tindakan-tindakan tersebut telah melampaui atas dari suatu tindakan persiapan dan telah dapat dianggap sebagai permulaan dari suatu tindakan pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam pasal 87 KUHP.
Percobaan yang Tidak Lengkap
Sebagian ilmuwan hukum pidana lainnya memberikan tafsir lain atas aanslag sebagai delik percobaan yang diamputasi, yaitu hilangnya unsur “berhentinya perbuatan bukan atas kehendak si pelaku”. Menurut (Moeljatno, 1982:13) delik makar merupakan turunan dari dari delik percobaan, hanya saja jika dalam delik percobaan memiliki tiga unsur yaitu “niat”, “permulaan pelaksanaan”, “berhentinya permulaan pelaksanan bukan dari keinginan pelaku”.
Ketentuan makar yang ada pada pasal 87 berada di dalam buku I KUHP, Buku Satu merupakan penjelasan umum atau memberikan makna atas beberapa istilah yang ada di Buku Kedua dan Buku Ketiga. Namun penjelasan yang terdapat dapatl Pasal 87 ini masih kurang memuaskan. Pertanyaannya: kenapa penyusun KUHP mengkaitkannya dengan Pasal 53 KUHP?
Mengacu pada Pasal 87, unsur utama dalam makar adalah (1) niat dan (2) permulaan pelaksaan. Kedua unsur itu sudah banyak ditafsirkan dalam doktrin. Oleh sebab itu, dapat merujuk pada doktrin-doktrin yang ada. Dengan adanya kemiripan delik antara makar dan percobaan, maka tafsir atas permulaan pelaksanaan yang ada pada makar dapat juga menggunakan tafsir yang sama dalam delik percobaan.
Menurut Moeljatno (1985), delik makar termasuk dalam kategori delik percobaan dengan persyaratan, yaitu: (1) tujuan terdakwa telah tercapai seluruhnya (2) Jika pun terdakwa mengundurkan diri secara sukarela maka terdakwa masih dimungkinkan untuk dipidana.
Mencoba melakukan kejahatan dipidana jika ada niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu bukan semata-mata disebabkan oleh kehendaknya sendiri
Niat ditafsirkannya berbeda dengan kesengajaan, namun niat berpotensi berubah menjadi kesengajaan jika sudah ditunaikan menjadi perbuatan yang dituju. Tetapi jika belum semua ditunaikan menjadi perbuatan pidana, maka niat masih ada dan merupakan sifat batin yang memberi arah kepada perbuatan. Oleh karena itu, niat tidak sama dan tidak bisa disamakan dengan kesengajaan.
Permulaan pelaksaan sendiri memiliki tiga syarat :
- Secara objektif apa yang dilakukan terdakwa harus mendekati kepada delik yang dituju, atau dengan kata lain, harus mengandung potensi untuk mewujudkan delik tersebut.
- Secara subjektif, dipandang dari sudut niat, harus tidak ada keraguan lagi, bahwa yang telah dilakukan oleh terdakwa ditujukan atau diarahka pada delik yang tertentu tadi.
- Bahwa apa yang dilakukan oleh terdakwa merupakan yang bersifat melawan hukum. (Moeljatno, 1985)
Permulaan pelaksanaan dalam pasal di atas ditafsirkan sebagai permulaan melakukan kejahatan dan tidak selesai. Wirjono Prodjodikoro memiliki pandangan yang hampir mirip dengan Moeljatno, bahwa aanslag atau makar tersebut merupakan delik percobaan namun ditujukan kepada Presiden atau Wakil Presiden dengan syarat telah ada niat dan telah adanya perbuatan pelaksanaan.
Sejalan dengan pandangan di atas, Eddy O.S. Hiariej yang mengutip dari Kamus Bahasa Belanda-Inggris yang ditulis oleh A. Boers, makar yang diterjemahahkan dari asal katanya aanslag. Ketika diterjemahkan ke Bahasa Inggris menjadi attempt. Attempt sendiri diartikan sebagai percobaan. Dengan mengacu pada terjemahan ini menurut Eddy menyatakan bahwa tidak tepat menterjemahkan aanslag dengan makar, yang seharusnya diterjemahkan dengan “tindakan awal suatu perbuatan”. Selanjutnya dinyatakan bahwa delik makar harus mempertimbangkan adagium felonia implicatur in quolibet proditione yang artinya: perbuatan makar termasuk tindak pidana yang tergolong berat. Oleh karena itu, makar bukanlah delik percobaan yang dirumuskan sebagai delik selesai atau delik berdiri sendiri, melainkan delik makar dirumuskan demikian karena bertalian dengan keamanan negara yang menyangkut keselamatan Presiden dan Wakil Presiden, merongrong terhadap pemerintahan yang syah dan kedaulatan negara.
Perbuatan permulaan pelaksanaan menurut Memorie van Toelichting harus dibedakan dengan perbuatan persiapan dan perbuatan pelaksanaan. Meski demikian, tidak mudah membedakan antara keduanya dan oleh karena itu diserahkan pada pertimbangan hakim. Dalam konteks ini, Moeljatno menyatakan bahwa perbuatan persiapan merupakan mengumpulkan kekuatan, sedangkan perbuatan pelaksanaan melepaskan kekuatan yang telah dikumpulkan.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, kontruksi hukum yang dibangun tentang makar saat ini sifatnya begitu luas dan lentur. Oleh karena itu, makar harus dikembalikan ke dalam bentuk hukum aslinya yaitu delik “percobaan” dengan menghilangkan unsur ke-3. Dengan demikian unsur-unsur makar hanya terdiri atas: (1) niat, (2) perbuatan permulaan pelaksanaan (3) ditujukan untuk menghilangkan nyawa Presiden/Wakil Presiden atau menghilangkan kemerdekaan atau membuat mereka tidak cakap memerintah. Sebagai catatan bahwa perbuatan permulaan pelaksanaan harus mengandung elemen kekerasan atau tindakan yang membuat Presiden tidak berdaya. Argumentasi ini dimaksudkan agar makar tidak memiliki pemaknaan yang terlalu luas. Jika makar ditafsirkan sebagai “penyerangan”, maka ketiga unsur ini harus ada.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa aanslag (makar) merupakan delik yang didalamnya hanya ada dua unsur yaitu niat dan permulaan pelaksaan. Sedangan percobaan sebagaiamana diatur dalam pasal 53 KUHP memiliki tiga unsur yaitu niat, permulaan perlaksanan, permulaan pelaksanaan itu terhenti bukan karena keinginan pelaku semata. Mengacu pada tafsir makar sebagaimana diatur dalam Pasal 87 KUHP, meskipun tafsir ini kurang memuaskan, setidaknya bisa dijadikan sebagai dasar yuridis. Pasal 87 KUHP berada di dalam buku kesatu. Buku kesatu merupakan Aturan Umum yang meletakkan dasar-dasar atau asas dari norma, sehingga dalam Buku Kesatu tidak diatur mengenai delik yang diancam pidana tetapi berisi penjelasan atas beberapa delik. (***)