PENTINGNYA NEGARA MELAKUKAN PENAGIHAN PAJAK
Oleh BATARA MULIA HASIBUAN (Mei 2017)
Pajak merupakaan perikatan yang lahir dari undang-undang yang mewajibkan seseorang yang telah memenuhi syarat yang ditentukan dalam undang-undang untuk membayar suatu jumlah tertentu kepada negara yang dapat dipaksakan, dengan tiada mendapat imbalan yang secara langsung dapat ditunjuk, yang berguna untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran negara. Oleh karena itu, pajak merupakan sebuah perikatan, maka mengikat dan menimbulkan hak dan kewajiban tertentu kepada para pihaknya (dalam hal ini, antara negara dan rakyat atau penanggung pajak).[1] Jika dikemudian hari ternyata rakyat atau penanggung pajak tidak memenuhi kewajiban (membayar pajak) yang telah disetujui tersebut, maka dalam hal seperti ini dapat dilakukan upaya penagihan (penagihan pajak), yang tentunya menjadi hal yang sangat penting.
Dalam hukum pajak, terdapat ketentuan yang menempatkan negara dalam kedudukan istimewa yang terkait dengan penagihan pajak. Kedudukan istimewa yang dimiliki oleh negara adalah hak mendahulu (preferensi) terhadap penagihan utang pajak dibandingkan dengan utang biasa (utang perdata) karena proses timbulnya utang pajak berbeda dengan utang biasa. Utang pajak timbuk karena proses yang terkait dengan hukum publik, sebaliknya utang biasa timbul karena berada dalam proses hukum privat.[2] Dengan demikian negara mempunyai hak untuk melakukan penagihan utang pajak dan penagihan ini menjadi penting, karena menyangkut pembiayaan penyelenggaran negara.
Penagihan pajak merupakan serangkaian tindakan agar penanggung pajak melunasi utang pajak dan biaya penagihan pajak dengan menegur atau memperingatkan, melaksanakan penagihan seketika dan sekaligus, memberitahukan surat paksa, mengusulkan pencegahan, melaksanakan penyitaan, melaksanakan penyanderaan, menjual barang yang telah disita.[3] Dalam hal ini yang dimaksud dengan penangung pajak adalah orang pribadi atau badan hukum yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak, termasuk wakil yang menjalankan hak dan memenuhi Wajib Pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.[4]
Untuk melaksanakan penagihan pajak ini tentunya diperlukan suatu lembaga penagihan, yang menjadi bagian yang terpenting dalam memasukkan uang pajak ke kas negara.[5] Aktivitas pengawasan dan pembayaran pajak ini dimonitor melalui kohir yang disimpan dalam arsip Kantor Inspeksi Pajak. Jika ternyata pajak tidak tibayar pada waktu yang ditentukan, hal ini dapat terlihat pada kohir, maka berdasarkan berdasarkan hal itu, akan dikirimkan surat peringatan atau surat teguran kepada wajib pajak atau penanggung pajak. Jika dari pihak wajibpajak masih juga tidak ada reaksi dan pula tidak dilakukan pembayaran, maka akan dikeluarkan surat paksa, yang pada waktunya akan diikuti sita, lelang, atau sandera. Surat Pakas ini merupakan pelaksanaan dari parate executie atau eksekusi langsung[6], artinya surat paksa dapat langsung dikeluarkan oleh Kepala Inspeksi Pajak yang diberi wewenang oleh undang-undang untuk melakukan pembuatan surat paksa dan eksekusi langsung tersebut.
Setelah melihat adanya lembaga penagihan pajak, dilanjutkan melihat bagaimana cara melakukan penagihan pajak. Secara umum penagihan pajak dapat dibedakan menjadi dua cara, yakni penagihan pajak secara pasif dan penagihan pajak secara aktif. [7] penagihan pajak secara pasif, serangkaian upaya yang dilakukan tidak semata-mata untuk menagih pajak, sebagai contoh : diadakanya penyuluhan, workshop, pameran, pelatihan, pemasangan spanduk, dan sebagainya, dengan aktivitas tersebut, dapat menyebabkan penanggung pajak yang lupa menjadi ingat akan kewajiban pajaknya, yang belum tahu menjadi tahu dan kemudian menjadi sadar untuk memenuhi kewajibannya membayar utang pajak. Hal ini berbeda dengan penagihan pajak secara aktif yang memang dimaksudkan untuk menagih pajak yang seharusnya dipenuhi oleh wajib pajak atau penanggung pajak.
Selanjutnya penagihan pajak secara aktif ini, dapat dibagi lagi ke dalam dua cara, yaitu pertama, penagihan secara biasa adalah tindakan pejabat pajak yang bertugas mengelola pajak baik di pusat maupun di daerah, kepada wajib pajak karena tidak membayar lunas pajaknya yang terutang tanpa paksaan secara nyata[8] dan kedua, penagihan secara paksa[9], wajib pajak atau penanggung pajak yang tidak membayar lunas utang pajaknya (utang pajak meliputi pula sanksi administrasi berupa bunga, denda, atau kenaikan dan tambahan biaya penagihan pajak), walaupun telah diberikan surat teguran dan telah dilakukan penagihan seketika dan sekaligus dapat dilakukan penagihan secara paksa.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dilihat pentingnya negara melakukan penagihan pajak terhadap penanggung pajak yang mempunyai utang pajak, karena pajak yang belum dibayarkan akan sangat berpengaruh pada pemasukan negara dan kepentingan pembiayaan pengeluaran-pengeluaran negara. (***)
REFERENSI:
[1] Y. Sri Pudyatmoko, Pengantar Hukum Pajak, Penerbit Andi, Yogyakarta, 2009, hlm. 181.
[2] M. Djafar Saidi, Pembaruan Hukum Pajak, Rajawali Pers, Jakarta, 2011, hlm. 229.
[3] Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2000 Tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa
[4] Pasal 1 angka 28 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
[5] Rochmat Soemitro dan Dewi KaniaSugiharti, Asas dan Dasar Perpajakan 1, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm. 149.
[6] Ibid.
[7] Y. Sri Pudyatmoko, Op.Cit., hlm. 183.
[8] M. Djafar Saidi, Op.Cit., hlm. 237.
[9] Ibid., hlm. 259.