MENARUH HARAPAN PADA BADAN SIBER NASIONAL
Oleh Bambang Pratama (Mei 2017)
Akhirnya, presiden mensahkan badan siber nasional dengan melebur badan sandi nasional dan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kementerian Informasi dan Informatika Republik Indonesia (Aptika Kominfo). Dengan disahkannya Perpres No. 53 Tahun 2007 tentang Badan Siber Nasional dan Sandi Negara, maka landasan hukum kelembagaan badan siber telah resmi dibentuk secara yuridis. Tugas berat menanti para personel Badan Siber Nasional dan Sandi Negara (BSSN) dalam mengatasi permasalahan siber di Indonesia, karena selama ini banyak terjadi berbagai kasus hukum. Sejatinya, sebagai lembaga baru dan mendapat atensi positif dari publik, maka BSSN harus membuat target kerja quick win. Jika BSSN terlalu kaku menerapkan aturan di ruang siber, tentunya akan mendapat resistensi yang tinggi dari masyarakat. Tetapi di sisi lain, tuntutan akan penegakan hukum di ruang siber menuntut perhatian yang tinggi. Oleh sebab itu, ketepatan strategi menjadi penting untuk diperhatikan, tanpa mengesampingkan penegakkan hukum.
Saat ini, belum ada roadmap pemanfaatan siber yang terpadu, selain roadmap e-commerce yang baru dibuat pemerintah pada tahun 2016. E-commerce lebih menitikberatkan pada aspek ekonomi saja, bukan aspek budaya, politik, sosial dan sebagainya. Selain kebutuhan akan peta jalan, maraknya kasus-kasus siber yang terjadi saat ini akibat hoax juga menyita perhatian nasional. Pasalnya, ekses dari hoax ini menimbulkan berbagai masalah baru, misalnya seperti disintegrasi dan masalah persekusi. Berangkat dari kebutuhan pengaturan yang derajat urgensinya tinggi, maka ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari BSSN.
Pertama; urgensi mengendalikan arus bebas informasi. Hal ini menjadi penting untuk menjaga keutuhan bangsa. Isu hoax perlu mendapat perhatian serius karena jika tidak ditangani dengan segera maka sangat rentan terjadi perpecahan di masyarakat. Masalah akan ancaman disintegrasi akibat peredaran hoax ini perlu diwaspadai, karena tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di Amerika Serikat saat ini, yang mana kondisinya memuncak ketika pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016. Mengacu pada kondisi Indonesia, dengan akan dilangsungkannya pemilihan presiden pada tahun 2019 maka potensi munculnya hoax dapat diprediksi memuncak pada tahun 2018. Prediksi ini didasarkan pada dua alasan, pertama; ketika terjadi pemilihan presiden di Amerika Serikat tahun 2016 dan kedua, ketika terjadi pemilihan presiden Indonesia tahun 2014 dan pemilihan gubernur DKI Jakarta pada tahun 2016. Oleh sebab itu, BSSN tentunya harus mempersiapkan diri berhadap-hadapan dengan arus bebas informasi yang beredar bagai bola api yang liar.
Kedua; BSSN tidak boleh lengah dengan isu-isu global di ruang siber, seperti keamanan data, serangan cyber terorism, money laundering, dan sebagainya. Hal ini didasarkan pada argumentasi bahwa isu-isu yang terjadi di ruang siber tidak menandang suatu negara itu maju atau tidak. Selama suatu negara terhubung oleh jaringan Internet, maka isu-isu siber yang harus dihadapi sama dengan isu-isu siber dengan yang dihadapi oleh negara-negara maju. Ruang siber tidak melihat kemajuan suatu negara karena ruang siber adalah ruang yang sama-sama baru untuk dimasuki oleh para netizen (pengguna Internet). Dengan demikian, adagium act locally, think globally sudah seharusnya menjadi nafas dari BSSN.
ketiga; pendekatan hukum tidak bisa diterapkan secara leterlijke untuk mengatur ruang siber. Oleh sebab itu BSSN dituntut untuk kreatif dan inovatif dalam meningkatkan efektivitas hukum, sehingga aturan-aturan yang dibuat oleh BSSN tidak heavy-regulated. Perubahan paradigma hukum di BSSN menjadi penting, karena pada umumnya terjadi pemikiran yang linier untuk mencapai efektivitas hukum, yaitu dengan mempercayakan proses hukum kepada para penegak hukum. Masalahnya, pemikiran tersebut di atas tidak sepenuhnya bisa diberlakukan di ruang siber. Pasalnya, ruang siber adalah ruang yang unik sehingga untuk membuat aturan hukum di dalamnya tentunya memerlukan keunikan juga.
Menurut teori yang dikemukakan oleh (Lessig, 1999) ada 4 aspek yang perlu diperhatikan dalam mengatur ruang siber, yaitu: norma atau nilai-nilai yang berlaku di masyarakat, hukum atau aturan hukum, market, dan arsitektur sistem. Dalam kaitannya pengaturan di ruang siber dalam berinformasi, selama ini tata caranya ditentukan oleh market atau pelaku usaha. Kemudian, kebiasaan tersebut di atas diterjemahkan ke dalam serangkaian arsitektur sistem komputer, sehingga inilah yang pada akhirnya menjadikan market sebagai penentu kebiasaan di masyarakat.
Belajar dari keberhasilan market membentuk kebiasaan di masyarakat melalui arsitektur sistem informasi maka pendekatan arsitektur sistem informasi seharusnya diadopsi oleh BSSN untuk mengatur ruang siber. Artinya, berbagai penanganan atau tujuan yang ingin dicapai oleh BSSN harus ditunjang dengan arsitektur sistem, sehingga pendekatan ruled–based tidak menjadi tumpuan utama. Jika mengacu pada amanat Kepres, tugas BSSN adalah tugas berat, karena menjalankan tugas dari dua lembaga negara, yaitu: Lembaga Sandi Negara, dan Direktorat Jenderal Aplikasi Informatika Kominfo. Di sisi lain, tuntutan dari sisi eksternal juga demikian tinggi, seperti berbagai masalah-masalah hukum di ruang siber. Oleh sebab itu, paradigma arsitektur sistem harus menjadi opsi utama BSSN. Tanpa paradigma arsitektur, maka dikhawatirkan keberadaan BSSN hanya menjadi lembaga negara konvensional. Padahal dari sisi kebutuhan, keberadaan BSSN seharusnya bisa menjadi penjaga kedamaian di ruang siber.
Penutup
Melihat kondisi nasional dan kondisi global atas isu siber yang berkembang, maka tugas yang diemban BSSN adalah tugas yang berat. Bercampurnya isu global dan isu nasional di ruang siber merupakan tantangan yang harus dihadapi secara simultan oleh BSSN. Isu hoax, cyber terorism, money loundering, keamanan data dan berbagai isu hukum siber lainnya tidak mudah untuk diantisipasi. Oleh sebab itu strategi dan program kerja yang tepat sasaran harus disusun oleh BSSN. Dari sisi penerapan aturan hukum, BSSN juga dituntut untuk tidak mengandalkan pendekatan aturan hukum, tetapi menggunakan pendekatan prinsip (principle-based) dengan cara membangun sistem informasi. Dengan demikian maka kita berharap BSSN dibangun dan dioperasikan oleh putra-putri bangsa yang benar-benar memiliki kemampuan act locally and think globally sehingga ruang siber bisa dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat Indonesia dengan dikawal oleh BSSN. (***)