MAKAR DALAM HUKUM POSITIF INDONESIA
Oleh Ahmad Sofian (Mei 2017)
Di Indonesia muncul perdebatan tentang tafsir terhadap tindak pidana makar yang diatur dalam beberapa pasal dalam KUHP. Perdebatan tentang penafsiran tindak pidana makar tidak hanya berlangsung di dunia akademik, tetapi juga di kalangan penegak hukum, dan di kalangan organisasi masyarakat sipil yang aktif menyuarakan Hak Asasi Manusia. Acapkali delik makar disalahgunakan untuk membungkam lawan-lawan politik yang berseberangan dengan rezim yang berkuasa. Selain itu, delik makar juga digunakan untuk memukul gerakan “saparatis” yang ingin memisahkan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Makar merupakan delik “karet” karena bisa ditafsirkan secara beragam oleh penegak hukum. Makar memiliki kemiripan dengan delik-delik subversi yang pernah diatur dalam Undang-Undang No. 11/PNPS/1963. Undang-undang ini digolongkan sebagai undang-undang yang dapat mengkriminalkan semua kelompok yang berseberangan dengan penguasa, sehingga acap kali pelanggaran Hak Asasi Manusia lazim terjadi dalam mengimplementasikan undang-undang ini. Undang-undang terkait makar memiliki multi purpose act dan tidak memiliki lex scripta (kejelasan dalam rumusan delik). Semangat yang ada di dalam undang-undang ini kembali dihidupkan dalam pasal-pasal yang ada di delik makar sebagaimana diatur dalam beberapa pasal di KUHP.
Dalam beberapa kasus makar yang diputus oleh pengadilan, pasal-pasal makar yang digunakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam menuntut terdakwa ternyata menimbulkan tafsir yang beragam dikalangan hakim. Ada beberapa putusan pengadilan negeri yang menghukum terdakwa dengan pasal makar, namun kemudian Mahkamah Agung mengkoreksinya bukan sebagai delik makar. Konstruksi hukum lain yang dibangun adalah ketika JPU menuntut terdakwa dengan delik makar, namun majelis hakim di Pengadilan Negeri membebaskan terdakwa dan tidak terbukti sebagai delik makar.
Menurut catatan sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat, Aliansi Nasional Reformasi KUHP pada masa Presiden Soesilo Bambang Yudoyono, ditemukan putusan pengadilan yang dinilai tidak proporsional dalam menggunakan delik makar. Kasus yang dituduhkan adalah sejumlah penari Cakalele tiba-tiba ingin mengibarkan bendera Republik Maluku Selatan (RMS) dihadapan Presiden. Perbuatan para penari dikualifisir sebagai delik makar dan telah diputus oleh pengadilan. Kasus yang hampir sama terjadi juga di Maluku, yaitu ketika sejumlah penduduk mengibarkan bendera RMS di lokasi tambang emas di Pulau Buru Maluku, yang mana mereka juga dihukum dengan tuduhan melakukan makar (Aliansi Nasional Reformasi KUHP, 2016).
Tindak pidana makar diatur dalam Buku II dan Bab 1 KUHP mengenai kejahatan terhadap negara. Ditempatkannya kejahatan terhadap negara di Bab 1 KUHP menunjukkan bahwa kejahatan ini dinilai sebagai kejahatan yang paling serius. Meskipun kejahatan ini digolongkan sebagai kejahatan serius, namun deliknya masih multi tafsir di kalangan ilmuwan hukum pidana. Selain tafsir terhadap makar yang beragam, elemen delik dari makar pun dimaknai berbeda oleh para ilmuwan sehingga menjadi penting Mahkamah Konstitusi untuk memberikan makna atas delik ini.
Aturan Makar
Delik makar diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu dalam pasal 87, 104, 106, 107, 108, 110, 140. Keenam pasal tersebut di atas berada pada dua buku yang berbeda. Pasal 87 terletak di dalam Buku I KUHP yang merupakan ketentuan atau aturan umum, sementara itu Pasal 104, 105, 106, 107, 108, 110 dan 140 terletak di Buku Kedua yang merupakan delik Kejahatan. Penempatan delik makar dalam dua buku yang berbeda menunjukkan bahwa KUHP berusaha untuk memberikan pemaknaan terhadap unsur-unsur dari makar tersebut sebagaimana tercantum dalam pasal 87 (Buku I KUHP). Meskipun sudah berusaha memberikan tafsir, namun unsur-unsur makar sebagaimana diatur dalam pasal 87 masih dinilai belum memuaskan sehingga muncul tafsir-tafsir dari berbagai doktrin yang dikembangkan oleh ilmuwan hukum pidana. Berikut ini ketentuan lengkap dari pasal 87 KUHP:
Dikatakan ada makar untuk mekakukan suatu perbuatan, apabila niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan seperti dimaksud dalam Pasal 53
Menurut Andi Hamzah, Belanda merupakan satu-satunya negara Eropa yang pada waktu itu yang memiliki pasal makar (aanslag). KUHP negara lain umumnya mencantumkan delik attempt yang berarti percobaan (membunuh raja/presiden). Munculnya delik aanslag dalam KUHP Belanda diawali dengan Peristiwa revolusi komunis di Rusia tahun 1918. Tzar Nicolas II yang seluruh keluarganya dibantai oleh komunis. Tzar Nicolas II masih memiliki hubungan darah dengan raja Inggris dan Raja Inggris ini juga masih memiliki hubungan kekeluargaan dengan raja Belanda. Oleh karena hampir seluruh Eropa masih berbentuk kerajaan, maka revolusi komunis yang terjadi di Rusia membuat para raja yang berkuasa di Eropa menjadi sangat khawatir termasuk di Belanda. Namun ketakutan yang terjadi di Belanda melebihi ketakutan yang ada di negara-negara lainnya dan segera membuat Undang-Undang Anti Revolusi (Anti Revolutie Wet). Kemudian pada tanggal 28 Juli 1920 melalui stbl No. 619 aanslag yang ada di KUHP Belanda dimunculkan, yang mana sebelumnya KUHP Belanda tidak mengenal istilah aanslag. Perlu diketahui bahwa aanslag digunakan untuk membedakannya dengan poging (percobaan). Pada poging ada tiga unsur yaitu niat, permulaan perlaksanaan dan tidak selesainya permulaan pelaksanaan tidak semata-mata karena kehendaknya sendiri.
Belajar dari pengalaman di negeri Belanda tentang aanslag, kemudian di Indonesia Pasal-pasal aanslag dimasukkan dalam Wetbook van Strafrecht (WvS) voor Nedterlands Indie pada tahun 1930. Dimasukkan aanslag ke dalam WvS dikarenakan pada tahun 1926 terjadi pemberontakan PKI yang dipimpin oleh Muso . Dengan demikian sebelum Tahun 1930, delik makar tidak pernah ada di dalam WvS. Pasal yang ada adalah percobaan (poging). (***)