DAMPAK PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. No. 69/PUU/XII/2015 TERHADAP HUKUM PERKAWINAN DAN HAK KEBENDAAN DI INDONESIA
Oleh NIRMALA (Mei 2017)
Disadari atau tidak, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 69/PUU/XII/2015 berdampak besar terhadap perkembangan hukum di Indonesia, terutama terkait dengan hukum perkawinan dan kepemilikan hak kebendaan di Indonesia.
Pada awal ketika Ike Farida, seorang pelaku kawin campur mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi, mungkin kita berfikir bahwa jika gugatan tersebut dikabulkan, maka putusannya akan berdampak pada status Warga Negara Indonesia (WNI) pelaku kawin campur atas hak kebendaan atau kepemilikan property semata. Kita tidak menyadari bahwa putusan yang mengabulkan sebagian gugatan tersebut telah mengakibatkan perubahan terhadap hukum perkawinan Indonesia.
Hukum Perkawinan di Indonesia diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 (UU Perkawinan). Khusus terkait perjanjian perkawinan, diatur dalam bab tersendiri, yaitu Bab V tentang perjanjian perkawinan. Pasal 29 ayat (1) menegaskan bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dibuat sebelum atau pada saat perkawinan dilangsungkan. Perjanjian perkawinan ini dikenal sebagai pre-nuptial agreement atau pre-marital agreement (dikenal singkat sebagai pre-nupt).
Selanjutnya, di dalam ayat (2) Pasal tersebut dipersyaratkan bahwa perjanjian tersebut tidak boleh melanggar batas-batas hukum, hukum, agama dan kesusilaan. Kemudian, ayat (3) Pasal tersebut menyatakan perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Dan terakhir, ayat (4) nya mengatur bahwa selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga.
Berbeda dengan beberapa negara tetangga di ASEAN lainnya, seperti Singapura dan Malaysia bahkan negara lain di dunia, Indonesia tidak mengenal adanya perjanjian perkawinan yang dibuat setelah perkawinan dilangsungkan atau post nuptial agreement atau post-marital agreement, dikenal sebagai post nupt.
Gugatan di MK yang awalnya hanya menuntut hak WNI pelaku kawin campur untuk dapat memiliki hak kebendaan atau properti sama seperti Warga Negara Indonesia yang lain, juga ternyata menyebabkan Indonesia mengakui perjanjian perkawinan setelah dilangsungkannya perkawinan (post-nupt).
Dengan Putusan MK, Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan dimaknai “Pada waktu, sebelum dilangsungkan atau selama dalam ikatan perkawinan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.
Ada lima unsur penting dalam makna Pasal 29 ayat (1) tersebut, yaitu: (1) perjanjian dibuat selama masa perkawinan; (2) persetujuan bersama; (3) dibuat secara tertulis; (4) disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris; dan (5) berlaku terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut.
Apakah semenjak keluarnya Putusan MK tersebut, secara otomatis dapat dilakukan perjanjian setelah perkawinan? Kenyataannya di dalam praktek, banyak notaris yang menolak untuk dibuatkan perjanjian perkawinan disebabkan ketidaktahuan notaris bahwa sekarang hal tersebut diperbolehkan serta belum adanya peraturan pelaksananya. Bahkan, meski setelah berhasil membuat perjanjian perkawinan, ketika akan melaporkan/mencatatkan perjanjian tersebut di Catatan Sipil atau KUA, kenyataannya masih banyak yang ditolak.
Sejauh ini, jika pasangan suami-istri akan membuat perjanjian perkawinan, pasangan dapat meminta penasehat hukum atau advokat atau lawyer untuk memberikan pertimbangan dalam bentuk legal opinion atau pendapat hukum. Advokat dapat membuat draft perjanjian tersebut untuk kemudian dibuatkan perjanjian perkawinan dalam bentuk akta notaris. Setelah akta notaris dibuat, maka perjanjian perkawinan tersebut wajib dicatatkan oleh pegawai pencatat perkawinan.
Sepanjang Perjanjian perkawinan tersebut tidak dicatatkan atau didaftarkan, maka Perjanjian Perkawinan tersebut tidak dianggap sah. Ynag menjadi pertanyaan selanjutnya adalah, dimana perjanjian perkawinan tersebut harus dicatatkan? Ternyata, dalam prakteknya, ada beberapa notaris yang mencatatkan perjanjian tersebut di Pengadilan Negeri tempat pasangan suami-isteri tersebut berdomisili.
Hal tersebut tidaklah tepat, karena secara tegas disebutkan di pegawai pencatat perkawinan, bukan pengadilan negeri. Untuk perkawinan yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam, maka perjanjian perkawinannya dicatatkan dan didaftarkan di KUA. Sedangkan untuk perkawinan beragama selain Islam atau perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, maka pencatatannya di Kantor Kependudukan dan Catatan Sipil setempat. Khusus untuk perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, hanya terhadap perkawinan yang telah dilaporkan/dicatatkan di Catatan Sipil saja yang dapat mencatatkan perjanjian perkawinan. Tanpa adanya Tanda Bukti Pelaporan Perkawinan WNI di luar negeri yang dikeluarkan oleh Kantor kependudukan dan Catatan Sipil, maka perjanjian tersebut juga tidak dapat didaftarkan/dilaporkan.
Khusus terkait pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan di Catatan Sipil, telah dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil Departemen Dalam Negeri Nomor 472.2/5876/DUKCAPIL tanggal 19 Mei 2017 yang ditujukan kepada semua kepala dinas kependudukan dan catatan sipil (Dukcapil) Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia, yang mengatur bahwa Dukcapil sebagai instansi pelaksana atau Unit Pelaksana Teknis (UPT) dimana akan dibuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan, sedangkan atas akta perkawinan yang diterbitkan oleh Negara lain namun perjanjian perkawinannya dibuat di Indonesia, pelaporannya dibuat dalam bentuk surat keterangan.
Hal ini berlaku bukan saja pada pembuatan perjanjian perkawinan, namun juga atas perubahan dan pencabutan perjanjian perkawinan.
Kesimpulan
Dengan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, hukum perkawinan di Indonesia mengalami perkembangan signifikan, yang mulanya perjanjian perkawinan hanya dilakukan sebelum atau pada saat perkawinan, namun kini dapat dilakukan selama masa perkawinan, dan berlaku sejak perkawinan diselenggarakan serta perjanjian perkawinan tersebut juga dapat dirubah/diperbarui selama masa perkawinan. Ketentuan ini bukan berlaku secara khusus bagi pelaku pkawin campur, namun kepada semua perkawinan secara umum. (***)