ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DALAM PERSPEKTIF REGULASI
Oleh SITI YUNIARTI (Mei 2017)
Alternative dispute resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian sengketa (APS) merupakan istilah yang pertama kali dimunculkan di Amerika Serikat. Konsep ini merupakan jawaban atas ketidakpuasan yang muncul di masyarakat Amerikat Serikat terhadap sistem pengadilan mereka. Ketidakpuasan tersebut bersumber pada persoalan waktu yang sangat lama dan biaya mahal, serta diragukan kemampuannya menyelesaikan secara memuaskan. Pada intinya ADR/APS dikembangkan oleh praktisi hukum maupun pada akademisi sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih memiliki akses keadilan.[1]
Black’s Law memberikan definisi ADR/APS sebagai “a procedure for settling a dispute by means other than litigation, such as arbitration and mediation”.[2] Stanford M. Altschul memberikan pengertian ADR/APS sebagai “a trial of case before a private tribunal agreed to by the parties so as to save legal costs, avoid publicity, and avoid lengthy trial delays”.[3] Philip D.Bostwick mengatakan bahwa ADR adalah a set of practices and legal technique that aim:[4]
- To permit legal disputes to be resolved outside the courts for the benefits of all disputants;
- To reduce the costs of conventional litigation and the delay to which it is ordinarily subjected.
- To prevent legal disputes that would otherwise likely be brought to the courts.
Berdasarkan pengertian-pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa ADR/APS merupakan penyelesaian sengketa di luar pengadilan atau dikenal sebagai non-litigasi yang merupakan argumentum contrario dari litigasi.
Di Indonesia, ADR/APS sebenarnya bukan merupakan suatu hal yang baru karena dalam budaya Indonesia telah dikenal penyelesaian perselisihan secara musyawarah mufakat. Dalam ketentuan hukum Indonesia, landasan hukum arbitrase bertitik tolak dari Pasal 377 Herzien Inlandsch Reglement (HIR) atau Pasal 705 Rechtsreglement Buitengewesten (RBg), yang berbunyi:
Jika orang Indonesia dan orang Timur Asing menghendaki perselisihan mereka diputuskan oleh juru pisah, maka mereka wajib menuruti peraturan pengadilan perkara yang berlaku bagi bangsa Eropa.
Namun dalam Pasal 377 HIR/Pasal 705 RBg tidak mengatur lebih lanjut mengenai arbitrase, sehingga selanjutnya menggunakan Pasal 615 sampai dengan Pasal 651 Reglement od de Burgerlijke Rechtvordering (Rv) sebagai berikut:
- Bagian pertama (615-623 Rv): Persetujuan arbitrase dan pengangkatan arbitrase;
- Bagian kedua (624-630 Rv): Pemeriksaan di muka badan arbitrase;
- Bagian ketiga (631-640 Rv): Putusan arbitrase;
- Bagian keempat (641-647 Rv): Upaya-upaya terhadap putusan arbitrase;
- Bagian kelima (647-651 Rv): Berakhirnya acara-acara arbitrase.
Selanjutnya, dalam penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang No.40 Tahun 1997 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui arbitrase tetap diperbolehkan, akan tetapi putusan arbiter hanya mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk dieksekusi dari pengadilan.
Dikarenakan ketentuan-ketentuan perihal arbitrase sudah tidak lagi dapat mengakomodir kebutuhan perdagangan dan kebutuhan hukum yang ada, terutama perdagangan internasional, selanjutnya disahkan Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagai landasan pengaturan arbitrase di Indonesia.
Lebih lanjut, ADR/APS sering diartikan sebagai alternative to litigation dan alternative to adjudication. Pemilihan terhadap salah satu dari dua pengertian tersebut memuat pengertian yang berbeda. Apabila pengertian pertama menjadi acuan (alternative to litigation), seluruh mekanisme penyelesaian sengketa diluar pengadilan, termasuk arbitrase merupakan ADR; sedangkan pengertian ADR sebagai alternative to adjudication, berarti mekanisme penyelesaian sengketa yang bersifat konsesus atau kooperatif, seperti halnya negosiasi, mediasi dan konsiliasi (Suyud Margono,2000:36). Dalam alternative to adjudication¸ arbitrase tidak termasuk dalam ADR.[5]
Indonesia, melalui UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa mengeluarkan arbitrase dari lingkup ADR. ADR diartikan sebagai lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau penilaian ahli. Sedangkan pengertian arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa. (***)
REFERENSI:
[1] Mas Ahmad Santosa,” Alternative Dispute Resolution (ADR) di Bidang Lingkungan Hidup”. Makalah disampaikan dalam acara Forum Dialog tentang Alternative Dispute Resolution (ADR) yang diselenggarakan oleh Tim Hukum Departmen Kehakiman dan The Asia Foundation, Jakarta,1995, hlm. 1 sebagaimana dikutip oleh Muryati, Dewi Tuti, dan B. Rini Heryanti. “Pengaturan dan Mekanisme Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi di Bidang Perdagangan” Jurnal Dinamika Sosbud 3, No. 1 (2011).
[2] Black’s Law Dictionary, Eight Edition, West Publishing Co., 2004,hlm.86.
[3] Alstchul, Stanford M., The Most Important Legal Terms You’ll Ever Need to Know sebagaimana dikutip oleh Frans Hendra Winarta, “Hukum Penyelesain Sengketa Arbitrase Nasional Indonesia & Internasional (Jakarta:Sinar Grafika,2011),hlm.13.
[4] Celina Tri Siwi Kristiyanti, Hukum Perlindungan Konsumen, Cet.3 (Jakarta: Sinar Grafika, Jakarta, 2011), hlm.185.
[5] Kapindha, Ros Angesti Anas, Salvatia Dwi M, dan Winda Rizky Febrina. “Efektivitas dan Efisiensi Alternative Dispute Resolution (ADR) Sebagai Salah Satu Penyelesaian Sengketa Bisnis Di Indonesia”, Privat Law 1 2.4 (2014),hlm.6.
Published at :