KETIKA HUKUM PIDANA JADI ALAT UNTUK MENGHUKUM MORAL
Oleh VIDYA PRAHASSACITTA (Mei 2017)
Beberapa hari pemberitaan baik di media konvensional maupun media sosial diisi dengan perkara tindak pidana “Balada Cinta Rizieq”. Perkara yang bermula dari beredarnya di dunia siber pecakapan yang diduga mengandung muatan pornografi antara Habib Rizieq Shihab dengan Firza Husain. Perkembangan terbaru Firza Husain telah ditetapkan sebagai tersangka dengan dugaan melanggar Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (UU Pornografi) dan/atau Pasal 6 Jo. Pasal 32 UU Pornografi atau Pasal 8 Jo. Pasal 34 UU Pornografi, sedangkan Habib Rizieq Shibab memilih untuk tidak memenuhi panggilan pihak penyidik dengan pergi ke luar negeri dengan alasan bahwa penyidik mengkriminalisasi perkara ini untuk menjatuhkan dirinya.
Perkara tersebut kemudian mengingatkan kita pada perkara serupa yaitu perkara menyebarnya dua video hubungan seksual antara Narzil Ilham atau yang lebih popular dengan nama Ariel Peterpan dengan Luna Maya dan Cut Tari. Dalam perkara tersebut Ariel Peterpen telah dipidana dengan Pasal 4 ayat (1) jo. Pasal 29 Undang-Undang No. 44 Tahun 2008 UU Pornografi. Selain Ariel, Reza Rizaldi Alias Joy bin Dody Imam Santosa, pelaku yang menyebarkan video tersebut juga telah dipidana dengan Pasal 30 ayat (2) jo Pasal 46 ayat (2) Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), sedangkan Cut Tari tidak ditetapkan sebagai tersangka dan Luna Maya meskipun telah ditetapkan sebagai tersangka namun perkaranya tidak pernah diajukan ke pengadilan dan tidak diketahui status perkaranya hingga saat ini.
Kedua perkara ini bermula dari urusan perbuatan yang lingkupnya merupakan perbuatan pribadi masing-masing pelaku. Bahwa urusan “kasur” merupakan urusan pribadi masing-masing warga negera yang tidak boleh dicampuri oleh negara. Begitu pula dengan kebebasan berekspresi warga negara untuk membuat foto maupun video dirinya dan menyerahkannya kepada orang lain. Hukum pidana sebagai hukum publik tidak boleh menjangkaunya. Akan tetapi dalam perkembangannya prinsip tersebut telah dilanggar baik oleh pembuat undang-undang dan aparat penegak hukum.
Dalam pembentukan hukum pidana di Indonesia, terdapat keinginan untuk menempatkan delik-delik yang merupakan perbuatan yang dipandang sebagai perbuatan yang tercela dalam agama maupun masyarakat ke dalam hukum pidana. Akibatnya kriminalisasi tersebut menyentuh ruang pribadi warga negara yang seharusnya dilindungi negara, seperti UU Pornografi. Demikian pula dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang mengatur pasal perzinahan dimana hendak memidana perbuatan zina yang dilakukan oleh sepasang manusia yang sama-saam tidak terikat dalam pernikahan, bandingkan dengan rumusan pasal yang sama dalam KUHP yang jelas hendak melindungi lembaga penikahan.
Demikian pula dalam penegakan hukum, aparat penegak hukum kerap menggunakan pasal-pasal tersebut untuk memidana perbuatan yang masih dalam ruang privat warga negara. Memang kadang kala tindakan aparat penegak hukum tersebut dipicu oleh adanya tekanan masa, seperti yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) yang melakukan pengerahan masa untuk menuntut Ariel Peterpen, Luna Maya dan Cut Tari untuk dipidana sejak tahap penyidikian sampai dengan sidang di pengadilan. Hal ini menunjukkan bahwa dalam pikiran masyarakat tersebut hukum pidana diterapkan untuk menghukum moral seseorang.
Pada akhirnya memang harus ada kesadaran dari para legislator dan aparat penegak hukum mengenai batasan kriminalisasi dalam hukum pidana. Bahwa hukum pidana bukan lah alat untuk menghukum moral seseorang yang dilakukan secara terbuka. (***)
Published at :